Ancaman keracunan, dari bahan kimia ataupun dari aneka binatang berbisa sangat besar. Karena itu, Indonesia seharusnya memiliki pusat kontrol racun yang melakukan pengawasan, deteksi, dan respons cepat.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Besarnya kasus dan korban jiwa akibat gangguan ginjal akut pada anak-anak menunjukkan ketidaksiapan menghadapi masalah keracunan. Mengingat besarnya ancaman keracunan, baik dari bahan kimia maupun dari aneka binatang berbisa, Indonesia seharusnya memiliki pusat kontrol racun yang melakukan pengawasan, deteksi, dan respons cepat.
”Kasus keracunan trennya meningkat dan korbannya sangat banyak, baik meninggal maupun memicu kecacatan. Namun keracunan masih menjadi sumber masalah kesehatan yang neglected (diabaikan) di Indonesia,” kata Tri Maharani, dokter spesialis emergensi yang juga Presiden Toxynologi Indonesia, di Jakarta, Senin (31/10/2022).
Menurut Tri, keterlambatan respons kasus toksin pada obat sirop yang memicu gangguan ginjal akut di Indonesia kali ini juga menunjukkan ketidaksiapan dalam memitigasi keracunan. Selain terlambat mendeteksi, untuk menanganinya pun Indonesia harus tergantung pada antidotum dari luar negeri.
Kasus keracunan trennya meningkat dan korbannya sangat banyak, baik meninggal maupun memicu kecacatan. Namun keracunan masih menjadi sumber masalah kesehatan yang neglected (diabaikan) di Indonesia.
”Fomepizole merupakan antidotum keracunan etilen glikol dan dietilen glikol dan ini bisa menjadi pertolongan agar tidak terjadi kerusakan. Seharusnya diberikan sedini mungkin,” ujarnya.
Sebagai dokter spesialis emergensi, Tri mengatakan, kalau tanda keracunan ini lebih awal ditemukan, sebenarnya beberapa obat lain yang bisa diberikan untuk mencegah keparahan. ”Bahkan seharusnya obat-obatan ini ada di puskesmas. Namun, puluhan tahun sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, soal antisipasi keracunan ini cenderung diabaikan,” katanya.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, dalam diskusi daring pada Minggu (30/10/2022), mengatakan, untuk antidotum atau penawar racun etilen glikol dan dietilen glikol yang memicu gangguan ginjal akut pada anak ini, Indonesia harus mendatangkan 20 vial Fomepizole dari Singapura pekan lalu. Namun, karena stok di Singapura terbatas, belakangan obat ini didatangkan dari negara lain, di antaranya dari Jepang sebanyak 200 vial.
Kejadian berulang
Tri mengatakan, risiko keracunan saat ini semakin banyak dan telah berulang terjadi. ”Keracunan dari penyalahgunaan etanol, misalnya, sudah berkali-kali memicu korban jiwa. Padahal, dulu di BPOM pernah ada SIKer (Sistem Informasi Keracunan), tetapi sejak tahun 2018 sepertinya sudah diganti,” ujarnya.
Selain bisa bersumber dari obat-obatan, menurut Tri, keracunan juga bisa dari makanan, kosmetik, selain dari berbagai ragam binatang berbisa yang ada di Indonesia. Bahkan, dalam kasus gigitan ular, jumlah korbannya cenderung meningkat. Dari 627 kasus gigitan ular di Indonesia pada tahun 2020 yang dilaporkan, 62 orang di antaranya meninggal atau sekitar 10 persen. Padahal, tingkat kematian karena gigitan ular berbisa secara global rata-rata 2 persen.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga telah menyatakan, keracunan sebagai salah satu masalah kesehatan masyarakat global yang signifikan. Pada tahun 2016 saja, keracunan yang tidak disengaja menyebabkan 106.683 kematian dan hilangnya 6,3 juta tahun hidup sehat.
Menurut Tri, dengan besarnya risiko keracunan ini, Indonesia seharusnya memiliki poison center (pusat kontrol racun), termasuk di dalamnya venom center atau pusat kontrol bisa. ”Banyak negara memiliki poison center, termasuk negara-negara di ASEAN. Bahkan, Malaysia punya empat pusat ini, tiga di antaranya dikelola universitas,” katanya.
Tri menambahkan, mengacu pada WHO, pusat kontrol racun perlu dibangun sebagai sumber keahlian khusus untuk mengatasi fakta bahwa profesional kesehatan tidak dapat diharapkan bisa mengetahui tentang toksisitas setiap zat dan produk kimia dan juga untuk memberikan fokus pada penelitian toksikologi. ”Untuk mengatasi keracunan ini perlu keahlian khusus dan tidak semua tenaga kesehatan mengetahuinya,” ujarnya.
Pusat kontrol racun ini juga memiliki peran penting dalam penerapan Peraturan Kesehatan Internasional (2005) yang disusun WHO. Regulasi tersebut mengharuskan negara-negara memiliki kapasitas untuk pengawasan, deteksi, dan respons terhadap kejadian kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh bahan kimia.