Seabad ”Si Binatang Jalang” Melintasi Zaman
Meskipun mati pada usia muda, nama Chairil Anwar selalu dikenang melintasi zaman. Puisi-puisi penyair berjuluk ”Si Binatang Jalang” itu tetap abadi lewat ketajaman kata-katanya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F28%2F636c62c5-89ad-4992-9895-34677c1ef64f_jpg.jpg)
Suasana pameran arsip penyair Chairil Anwar berjudul Aku Berkisar Antara Mereka di Galeri Salihara, Jakarta, Jumat (28/10/2022).
Penyair Chairil Anwar meninggal sebelum mencapai usia 27 tahun. Meskipun mati muda, namanya selalu dikenang melintasi zaman. ”Si Binatang Jalang” tetap abadi lewat kekuatan kata-kata dalam setiap karya sastranya.
Puisi-puisi Chairil bertaburan di Galeri Salihara, Jakarta, Jumat (29/10/2022) malam. Sajaknya yang kaya kiasan-kiasan tajam menempel di tembok, lantai, dan digantung dalam Pameran Arsip Seratus Tahun Chairil Anwar: ”Aku Berkisar Antara Mereka”.
Pameran mengulik perjalanan hidup dan karya penyair pelopor Angkatan 1945 itu mulai dari kelahirannya seabad lalu. Chairil lahir dari pasangan Toeloes Manan dan Saleha di Medan, Sumatera Utara, pada 26 Juli 1922.
Baca juga: Setelah 100 Tahun Chairil Anwar
”Perayaan 100 tahun ini untuk memaknai ulang kontribusi penyair pada sastra Indonesia serta mendekonstruksi mitos-mitos seputar karyanya,” ujar ko-kurator pameran itu, Laksmi Pamuntjak.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F29%2F0d2dc8f7-af15-43fe-897e-6293060bba61_jpg.jpg)
Ko-kurator Pameran Arsip Seratus Tahun Chairil Anwar: Aku Berkisar Antara Mereka, Laksmi Pamuntjak, di Salihara Arts Center, Jakarta, Jumat (29/10/2022). Pameran berlangsung hingga 4 Desember 2022.
Menggelar pameran arsip sastra tidak mudah. Cenderung monoton dan melelahkan karena dijejali lembaran-lembaran arsip. Belum lagi jika huruf dalam tulisan buram atau tidak bisa dibaca dengan jelas karena resolusi dokumennya kecil.
Namun, pameran itu tak sebatas pajangan kata-kata. Foto-foto Chairil serta orang-orang dan beberapa tempat dalam perjalanan hidupnya juga ditampilkan. Suasana pameran pun lebih hidup.
Sebagian arsip itu merupakan koleksi Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Ada juga beberapa majalah, koran, dan buku yang memuat karya-karya Chairil.
Laksmi mengatakan, selama empat bulan menyiapkan pameran, tak banyak foto Chairil ditemukan. Namun, ada beberapa lukisan dan ilustrasi tentangnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F29%2Fe2a15465-ddfd-4ed2-9713-fafaba9e5e68_jpg.jpg)
Mural Chairil Anwar di Salihara Arts Center, Jakarta, Jumat (29/10/2022) malam.
”Tampaknya takdir Chairil Anwar untuk hidup dengan kekuatan kata-katanya. Dia tidak perlu embel-embel apa pun,” katanya.
Salah satu pemandu pengunjung dalam pameran itu adalah penanda waktu di antara arsip-arsip, mulai dari 1922 hingga 1949. Dengan begitu, pengunjung seperti diajak menjelajahi lorong waktu kehidupan penyair yang sering menulis sajak bertema kematian dan pemberontakan tersebut.
Pada 1942, misalnya, Chairil berkunjung ke rumah keluarga dari pihak ayahnya di Nagari Taeh Baruah, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Di sanalah ia menulis sajak pertamanya berjudul ”Nisan”. Puisi yang terdiri dari satu bait itu mengisahkan kesedihannya tentang kematian neneknya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F29%2F3fbcbb12-1d0c-4e49-ab41-1acd222fee46_jpg.jpg)
Puisi Chairil Anwar berjudul "Nisan" dipajang pada Pameran Arsip Seratus Tahun Chairil Anwar: Aku Berkisar Antara Mereka di Galeri Salihara, Jakarta, Jumat (29/10/2022) malam.
Di tahun yang sama, Chairil menumpang di rumah Sutan Sjahrir, paman dari ibunya, di Jakarta. Ia tinggal bersama ibunya, penulis Des Alwi, dan anak-anak angkat Sjahrir dari Banda, Maluku.
Sepanjang 1943, sang penyair menulis 33 sajak, termasuk puisi legendaris berjudul ”Aku”. Puisi ini membuatnya dikenal dengan julukan ”Si Binatang Jalang” yang ada dalam sajak tersebut.
Baca juga: Chairil Anwar sebagai Kurir Sastra Dunia
Tiga tahun berselang, Chairil menikah dengan Hapsah Wiriaredja. Mereka dikaruniai seorang anak bernama Evawani Alissa. Namun, pasangan ini bercerai pada awal 1949.
Pada April 1949, Chairil mengalami sakit keras dan dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ia meninggal pada 28 April 1949 setelah tujuh hari dirawat.
Kekuatan sajak-sajak Chairil Anwar juga terletak pada bunyinya. Bunyi sajaknya bukan sebatas rima pada kata terakhir, tetapi juga pengaturan komposisi vokal dan konsonan.
Dalam bukunya, Chairil Anwar: Pelopor Angkatan ’45, HB Jassin menyebutkan, Chairil membuat 85 sajak, 72 di antaranya sajak asli (satu berbahasa Belanda), ditambah dua saduran dan 11 terjemahan. Sajak-sajak itu dibuat dalam 6,5 tahun pada 1942-1949.
Pameran yang digelar hingga 4 Desember 2022 itu juga mengulas beberapa sosok dalam kehidupan sang penyair, mulai dari Sutan Sjahrir, jurnalis Aboe Bakar Loebis dan Rosihan Anwar, sastrawan Usmar Ismail, Sutan Takdir Alisjahbana, Sitor Situmorang, dan Amir Hamzah, serta pelukis Nashar, Tino Sidin, dan Sam Suharto.
Tidak sendiri
Laksmi mengatakan, penyair tidak berdiri sendiri karena mempunyai pengalaman dan wawasan saat berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Begitu juga dengan kekhususan Chairil yang membuat puisi-puisi karyanya melampaui zamannya.
”Ia membangun kontinuitas bukan saja antara dirinya dengan Amir Hamzah, tetapi juga memberi landasan bagi tumbuhnya para penyair di kemudian hari,” jelasnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F29%2F0919974d-c98b-4b68-90b5-59462dcb113b_jpg.jpg)
Sastrawan yang juga pendiri Komunitas Salihara, Goenawan Mohamad, di Salihara Arts Center, Jakarta, Jumat (29/10/2022) malam.
Sastrawan yang juga pendiri Komunitas Salihara, Goenawan Mohamad, menuturkan, kekuatan sajak-sajak Chairil Anwar juga terletak pada bunyinya. Menurut dia, bunyi sajaknya bukan sebatas rima pada kata terakhir, tetapi juga pengaturan komposisi vokal dan konsonan.
”Susunan konsonan dan vokal dalam sajaknya tidak mudah ditebak dan selalu mengejutkan. Dia tetap pembaharu dalam dunia puisi,” katanya.
Penulis dan pemenang Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2021, Royyan Julian, mengatakan, tema spiritualitas dan kematian bertabur dalam puisi-puisi Chairil. Bahkan, tema itu telah menjadi inspirasinya pada puisi pertama berjudul ”Nisan”.
Menurut dia, tema itu merupakan konsep yang terus bergulir. ”Jika Chairil tidak mati semuda itu, mungkin akan muncul puisi-puisi yang membahas kondisi setelah kematian atau apakah akhirat itu ada atau tidak. Dia akan mengeksplorasi bentuk lebih kaya lagi,” ujarnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F28%2F3fb8788e-5bc6-4212-9e66-84944e2307bd_jpg.jpg)
Suasana pameran arsip penyair Chairil Anwar berjudul "Aku Berkisar Antara Mereka" di Galeri Salihara, Jakarta, Jumat (28/10/2022).
Julian menyebutkan, Chairil dianggap telah melewati masa-masa sehatnya sebagai anak muda dan seniman dalam modernisme total. Ia tak hanya mempunyai kedaulatan individu, tetapi juga mempraktikkan otonomi artistik.
”Selain itu, pandangan hidupnya yang modern diamalkan secara penuh seluruh,” katanya.
Plagiarisme
Tuduhan plagiarisme kerap menjadi pembahasan hangat pada beberapa karya Chairil. Hal ini juga ditampilkan dalam pameran itu dengan membuat segmen khusus berjudul ”Plagiarisme, Saduran, atau Pengaruh?”.
Sajak ”Datang Dara, Hilang Dara”, misalnya, merupakan terjemahan Chairil atas sajak Hsu Chih-Mo berjudul A Song of The Sea. Ia juga pernah dituduh menjiplak karya penyair T S Eliot dan Jan Jacob Slauerhoff yang kental pengaruhnya pada sajak ”Rumahku”.
Baca juga: Mengenang Seratus Tahun Chairil Anwar
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F28%2Ff112c0c9-eaaf-4efa-a0a3-8308fdb56ac7_jpg.jpg)
Pengunjung menyaksikan pameran arsip penyair Chairil Anwar berjudul "Aku Berkisar Antara Mereka" di Galeri Salihara, Jakarta, Jumat (28/10/2022).
Puisi ”Krawang-Bekasi” yang sangat terkenal pun diyakini sejumlah pihak merupakan jiplakan sajak Archibald MacLeish berjudul ”The Young Dead Soldiers”. Segmen ini pun menjadi salah satu daya tarik pengunjung selama menyaksikan pameran.
”Apakah kita harus menutup-nutupi plagiarisme demi menjaga nama baiknya? Apakah karena plagiarisme, sajak-sajak aslinya menjadi tidak bernilai?” ujar Laksmi.
Walaupun sudah lama berpulang, puisi-puisi Chairil masih membekas dan diminati lintas generasi karena kekuatan makna pada pilihan katanya. Seperti baris terakhir dalam puisi ”Aku” yang berbunyi, Aku Mau Hidup Seribu Tahun Lagi. Sang penyair bukan menolak kematian, tetapi ingin menjadikan setiap hari bermakna dengan sajak-sajaknya.