Obat Penawar untuk Pasien Gangguan Ginjal Disiapkan
Obat penawar atau antidotum untuk pasien dengan gangguan ginjal akut telah disiapkan oleh pemerintah. Diharapkan ini dapat menurunkan tingkat fatalitas dari pasien. Pencegahan dengan pelarangan obat pun masih berlaku.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah menyiapkan obat penawar atau antidotum yang dapat diberikan kepada anak-anak yang dirawat dengan gangguan ginjal akut progresif atipikal. Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan pada sejumlah anak yang mendapatkan obat tersebut, kondisi kesehatan yang dilaporkan cenderung membaik.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengatakan, sebelumnya obat penawar atau antidotum untuk pasien gangguan ginjal akut didatangkan dari Singapura dalam jumlah yang terbatas. Obat tersebut baru didistribusikan ke sejumlah rumah sakit dengan jumlah pasien yang tinggi, seperti RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta, RSUP Dr Sardjito DI Yogyakarta, dan RSUP Prof Ngoerah Bali.
”Kita saat ini sedang negosiasi karena ketersediaan di Singapura juga hanya tinggal 10 vial lagi. Jadi kita perlu datangkan dari sumber lain. Kita rencananya akan datangkan dari Australia dan juga dengan bantuan dari Unicef,” ujarnya sesuai acara pengukuhan guru besarnya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jakarta, Sabtu (22/10/2022).
Antidotum yang dimaksud tersebut adalah fomepizole. Obat ini digunakan sebagai penawar racun dari senyawa etilen glikol. Obat ini dapat digunakan bersamaan dengan tata laksana dialisis (cuci darah) untuk mengeluarkan racun di dalam tubuh. Menurut Dante, pemberian dari obat ini sebanyak 0,6 miligram per kilogram berat badan per hari.
Sekretaris Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia Eka Laksmi Hidayati secara terpisah menyampaikan, obat penawar tersebut diberikan secara intravena. Pemberiannya mengikuti panduan dari kepustakaan sebelumnya.
”Obat ini bukan obat baru yang baru diteliti. Sudah banyak referensi terkait pemberian obat tersebut. Dalam referensi yang ada disebutkan bawa semakin dini kita memberikannya, akan semakin baik,” ucapnya.
Oleh sebab itu, pemberian obat penawar tersebut lebih efektif diberikan pada orang yang baru saja menelan zat berbahaya, seperti etilen glikol. Meski demikian, pada kondisi saat ini, semua pasien yang berada di RSUPN Cipto Mangunkusumo mendapatkan obat tersebut sekalipun sudah dirawat selama satu bulan.
”Kami sudah amati dalam 48 jam. Dari pasien yang mendapatkan obat tersebut sudah menunjukkan perbaikan. Namun memang, perbaikannya belum pulih total atau belum ada perbaikan bermakna. Meski begitu, itu sudah membuat kami optimistis karena sedikit perbaikan ini merupakan harapan baik,” katanya.
Dari pasien yang mendapatkan obat tersebut sudah menunjukkan perbaikan. Namun memang, perbaikannya belum pulih total atau belum ada perbaikan bermakna. Meski begitu, itu sudah membuat kami optimistis karena sedikit perbaikan ini merupakan harapan baik. (Eka Laksmi Hidayati)
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (21/10/2022), mengatakan, pemerintah telah berupaya untuk bisa mendatangkan setidaknya 200 vial fomepizole. Obat ini nanti direncanakan akan didistribusikan ke sejumlah rumah sakit yang merawat pasien gangguan ginjal akut. Adapun setiap satu vial dari obat ini diperkirakan senilai Rp 16 juta. Penggunaannya pun nantinya akan menyesuaikan kebutuhan.
”Pemerintah akan mendatangkan lebih banyak lagi supaya pasien-pasien ini bisa diobati. Mudah-mudahan ini bisa menurunkan fatality rate (tingkat kematian). Karena kita tahu, tingkat kematian dari penyakit ini sangat tinggi,” tuturnya.
Sebanyak 241 kasus
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per 21 Oktober 2022, jumlah anak dengan gangguan ginjal akut yang dilaporkan di Indonesia mencapai 241 kasus yang tersebar di 22 provinsi. Di antaranya terdapat 133 kasus kematian atau 55,1 persen dari total kasus. Laporan kasus gangguan ginjal akut tertinggi berada di DKI Jakarta (57 kasus), Jawa Barat (33 kasus), Aceh (31 kasus), dan Jawa Timur (30 kasus).
Budi menuturkan, koordinasi dengan pemerintah daerah pun dilakukan untuk memperkuat fasilitas pelayanan kesehatan untuk penanganan gangguan ginjal akut. Saat ini, merujuk pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Nomor 3461 Tahun 2022, hanya ada 14 rumah sakit rujukan dialisis anak untuk penanganan gangguan ginjal akut.
”Kita harapkan tentu tren kasus akan menurun dengan adanya obat (penawar) serta langkah konservatif untuk menghentikan penggunaan obat yang diduga tercemar. Namun, kita sudah identifikasi juga rumah sakit lain yang akan kita tingkatkan kapasitasnya dan kita tambahkan jika memang dibutuhkan,” katanya.
Dalam siaran pers, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengimbau fasilitas pelayanan kesehatan di tingkat terkecil di masyarakat, yakni di tingkat desa dan kelurahan, dapat proaktif untuk melakukan penyisiran kasus. Tenaga kesehatan dan kader kesehatan di masyarakat perlu mendata riwayat kesehatan dan obat yang dikonsumsi oleh anak-anak di wilayahnya.
Berdasarkan penelitian dan penyelidikan sementara yang dilakukan Kementerian Kesehatan, dugaan penyebab gangguan ginjal akut progresif atipikal yang dialami sebagian anak-anak di Indonesia semakin menguat akibat paparan zat pelarut pada obat sediaan sirop atau cair. Badan Pengawas Obat dan Makanan pun telah merilis lima jenis obat yang terbukti mengandung etilen glikol (EG) yang melebihi ambang aman.
”Kasus ini harus dicegah jangan sampai ketika parah baru kemudian ditangani yang kemudian bisa menyebabkan fatalitas. Tidak boleh dari pihak pelayanan kesehatan menunggu mereka datang diobati. Kalau ada kemungkinan dikhawatirkan dia mengalami kasus serupa itu bisa dicegah sejauhnya,” ujar Muhadjir.
Dante menuturkan, penelitian dan penyelidikan masih dilakukan untuk membuktikan jenis obat-obatan yang mengandung cemaran dari etilen glikol. Dari hasil penelusuran, menurut dia, memungkinkan jika cemaran ini terjadi akibat adanya perubahan bahan baku yang digunakan pada pembuatan obat.
”Etilen glikol ini sebenarnya aman jika digunakan dalam batas aman. Namun jika kualitasnya tidak bagus atau kadar yang digunakan terlalu tinggi, ini yang bisa menjadi berbahaya. Sebagai langkah konservatif, kita minta masyarakat untuk tidak gunakan obat bentuk cair atau sirop sambil menunggu klarifikasi dari Badan POM,” ucapnya.