Faktor Makanan Memicu Gajah Berkeliaran di Luar Hutan Lindung
Gajah asia menghabiskan sebagian besar waktunya di luar kawasan lindung karena lebih menyukai makanan yang ditemukan di sana. Hal ini rentan meningkatkan risiko konflik dengan manusia yang sudah sering terjadi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Kawanan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) melintasi semak belukar di Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi, Senin (14/12/2020). Kawanan gajah itu kian terdesak oleh berbagai aktivitas manusia dalam hutan. Upaya konservasi mendesak dilakukan demi menghindari kepunahan satwa dilindungi tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Menyusutnya ketersediaan makanan turut memicu gajah asia (Elephas maximus) berkeliaran di luar kawasan hutan lindung. Kondisi ini meningkatkan risiko konflik gajah dengan manusia yang selama ini sudah sering terjadi sehingga mengancam populasi satwa tersebut.
Gajah asia menghabiskan sebagian besar waktunya di luar kawasan lindung karena lebih menyukai makanan yang ditemukan di sana. Perubahan perilaku itu membahayakan kehidupan hewan herbivora tersebut dan manusia karena rentan menyebabkan konflik.
Kondisi ini mengingatkan pentingnya memperhatikan ketersediaan makanan di hutan lindung sebagai landasan strategi konservasi global untuk melindungi spesies yang terancam. Gajah asia memiliki tiga subspesies, yaitu gajah sri lanka (Elephas maximus maximus), gajah india (Elephas maximus indicus), dan gajah sumatera (Elephas maximussumatranus).
DOKUMENTASI BKSDA ACEH
Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) bernama Sisca usia 36 tahun melahirkan satu bayi gajah berjenis kelamin betina, Kamis (16/3/2017) pukul 00.30, di Conservation Response Unit, Trumon, Aceh Selatan, Aceh.
”Jika kawasan lindung tidak memiliki habitat yang disukai hewan, gajah akan berkeliaran (di luar kawasan lindung),” ujar Ahimsa Campos-Arceiz, peneliti gajah asia di Kebun Raya Tropis Xishuangbanna, Akademi Ilmu Pengetahuan China, dilansir dari Nature.com, Rabu (19/10/2022).
Konflik manusia dengan gajah merupakan ancaman terbesar bagi gajah asia. Selama beberapa dekade terakhir, hewan di kawasan lindung semakin sering berkeliaran di desa-desa.
Imbasnya, tanaman warga dan sejumlah infrastruktur rusak. Bahkan, dalam beberapa kejadian, melukai hingga menyebabkan sejumlah orang meninggal akibat konflik dengan gajah.
Untuk mengetahui seberapa efektif kawasan lindung melestarikan gajah, Campos-Arceiz dan timnya mengamati 102 gajah di semenanjung Malaysia dan Kalimantan. Mereka mengamati pergerakan gajah dengan merekam 600.000 lokasi sistem pemosisi global (GPS) dalam satu dekade.
Kondisi ini mengingatkan pentingnya memperhatikan ketersediaan makanan di hutan lindung sebagai landasan strategi konservasi global untuk melindungi spesies yang terancam.
Berdasarkan pengamatan itu, mayoritas gajah menghabiskan sebagian besar waktu di luar kawasan lindung. Temuan ini dipublikasikan dalam Journal of Applied Ecology pada 18 Oktober.
Para peneliti menduga gajah berani keluar kawasan lindung karena ketersediaan makanan yang mereka sukai, seperti rumput, bambu, dan palem, relatif langka. Kondisi ini mendorong gajah mencari lokasi lain untuk mendukung keberlangsungan hidupnya.
”Jadi, kondisi di kawasan lindung sangat penting untuk memberikan keamanan jangka panjang bagi hewan yang hidup di sana,” ucapnya.
Berkeliarannya gajah di luar kawasan lindung sudah berulang kali terjadi di negara-negara Asia. Tahun lalu, kawanan gajah keluar dari Cagar Alam Nasional Xishuangbanna dan berjalan sejauh ratusan kilometer sehingga menimbulkan kekacauan di jalanan.
Dua ekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) jinak di Suaka Margasatwa Padang Sugihan, Kabupaten Banyuasin, Sabtu (13/5/2022). Kedua gajah ini digunakan untuk menghalau gajah ketika terjadi konflik dengan warga.
Di Indonesia, konflik satwa liar seperti gajah dengan manusia tak jarang menyebabkan korban luka, bahkan meninggal. ”Mungkin lebih dari 70 persen spesies gajah, orangutan, harimau, dan badak berada di luar kawasan konservasi. Inilah tantangan utama,” ujar anggota Kelompok Kerja Kebijakan Konservasi, Jeri Imansyah (Kompas, 7/3/2022).
Ahli biologi di Colby College, Amerika Serikat, Philip Nyhus, menyebutkan, gajah asia umumnya hidup jauh di dalam hutan lebat sehingga lebih sulit dipelajari. Hal ini berbeda dengan gajah afrika yang berkeliaran di sabana terbuka.
”Penelitian ini memberikan bukti kuat tentang bagaimana mengatur kawasan lindung yang sesuai dapat mengurangi risiko gajah berkeliaran,” ujarnya.