Waspada Gangguan Ginjal Akut, Obat Cair atau Sirop Jangan Digunakan Sementara
Masyarakat diimbau untuk tidak mengonsumsi obat dalam bentuk sediaan cair atau sirop. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kewaspadaan atas kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kesehatan mengimbau masyarakat agar tidak mengonsumsi obat dalam bentuk sediaan cair atau sirop untuk sementara waktu, tidak terkecuali pada obat parasetamol. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kewaspadaan akan gangguan ginjal akut progresif atipikal yang ditemukan pada sejumlah anak di Indonesia.
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, di Jakarta, Rabu (19/10/2022), mengatakan, seluruh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk sementara ini tidak meresepkan obat-obatan atau memberikan obat-obatan dalam bentuk sediaan cair atau sirop. Imbauan itu berlaku sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas dilakukan.
”Itu berlaku untuk semua obat sirop atau cair. Jadi bukan hanya parasetamol. Kementerian Kesehatan sudah mengambil langkah untuk menyelamatkan kasus yang lebih banyak atau kematian berikutnya. Jadi kita berhentikan sementara penggunaannya sampai penelitian dan penelusuran selesai dilakukan,” katanya.
Syahril menuturkan, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM), organisasi profesi kedokteran, ahli farmakologi, dan pusat laboratorium forensik kini tengah melakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan penyebab pasti dan faktor khusus yang menyebabkan gangguan ginjal akut pada anak. Dari sisa sampel obat yang dikonsumsi pasien telah ditemukan jejak senyawa yang berpotensi mengakibatkan gangguan ginjal akut progresif atipikal.
Oleh sebab itu, penelusuran dan penelitian dilakukan secara komprehensif untuk memastikan hal tersebut sekaligus mencari faktor risiko lain yang mungkin terkait dengan gangguan ginjal akut. Seluruh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan pun diminta untuk tidak meresepkan obat-obatan atau memberikan obat-obatan dalam bentuk sediaan cair atau sirop.
Apotek juga diharapkan tidak menjual obat bebas ataupun bebas terbatas dalam bentuk cair atau sirop pada masyarakat sampai hasil penelitian dan penelusuran tuntas. ”Seluruh masyarakat diimbau untuk melakukan pengobatan anak dengan tidak mengonsumsi obat dalam bentuk cair atau sirop tanpa berkonsultasi dengan tenaga kesehatan dan dokter. Sebagai alternatif bisa gunakan obat bentuk sediaan lain, seperti tablet, kapsul, supositoria (anal), atau lainnya,” ujar Syahril.
Ia menuturkan, kewaspadaan orangtua perlu ditingkatkan pada anak dengan gejala dan tanda dari gangguan ginjal akut progresif atipikal. Segera bawa ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat apabila anak mengalami gejala penurunan jumlah air kencing atau urine, baik disertai dengan demam, diare, batuk, pilek, maupun mual dan muntah.
Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), sekitar 45 persen dari pasien yang terkait dengan gagal ginjal akut misterius tersebut dilaporkan memiliki gejala awal demam dan 49 persen pasien dilaporkan memiliki gejala anuria (gangguan ginjal yang menyebabkan tidak dapat memproduksi urine). Gejala lainnya, antara lain, infeksi saluran cerna, ISPA, dan oliguria (penurunan volume urine).
Fatalitas
Syahril mengatakan, tingkat fatalitas atau kematian dari kasus gagal ginjal akut progresif atipikal cukup tinggi. Per 18 Oktober 2022, Kementerian Kesehatan telah melaporkan sebanyak 206 kasus gangguan ginjal akut yang tersebar di 20 provinsi. Dari jumlah itu, jumlah kematian yang dilaporkan 99 kasus atau sekitar 48 persen dari total kasus. Bahkan, kasus kematian dari pasien yang dirawat di RS Cipto Mangunkusumo mencapai 65 persen.
Ia menyampaikan, Kementerian Kesehatan melalui RS Cipto Mangunkusumo berupaya untuk menurunkan tingkat fatalitas dari gangguan ginjal akut dengan membeli antidotum atau penawar atau penangkal racun yang diberikan pada pasien yang masih menjalani perawatan. Antidotum tersebut didatangkan langsung dari luar negeri yang kemudian didistribusikan ke seluruh rumah sakit di Indonesia, terutama rumah sakit rujukan untuk penanganan gangguan ginjal akut.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, sesuai dengan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor SR.01.05/III/3461/2022 telah ditetapkan 14 rumah sakit rujukan dialisis anak dalam penanganan kasus suspek gangguan ginjal akut progresif atipikal. Meski setiap provinsi sudah memiliki layanan dialisis, baru 14 rumah sakit tersebut yang memiliki dokter spesialis ginjal anak.
Rumah sakit tersebut, antara lain, RS Cipto Mangunkusumo; RSUD Soetomo Surabaya, Jawa Timur; RSUP Kariadi, Semarang, Jawa Tengah; RSUP Sardjito, DI Yogyakarta; RSUP Adam Malik, Medan, Sumatera Utara; dan RSUP Kandou, Manado, Sulawesi Utara. Fasilitas pelayanan kesehatan yang melakukan penatalaksanaan awal gangguan ginjal akut pada anak setidaknya fasilitas ruangan intensif berupa High Care Unit (HCU) dan Pediatric Intensive Care Unit (PICU). Rujukan harus segera dilakukan apabila rumah sakit tidak memiliki fasilitas yang dimaksud.
Ketersediaan fasilitas dialisis anak penting dalam tata laksana gangguan ginjal akut pada anak karena semua kasus yang dilaporkan membutuhkan layanan dialisis. ”Semuanya. 100 persen kasus butuh tata laksana dialisis. Perburukan yang terjadi sangat cepat akibat kerusakan fungsi ginjal,” tutur Nadia.