Jangan Beri Anak Sirop Obat Sebelum Konsultasi ke Dokter
Orangtua agar untuk sementara waktu tidak memberikan sirop obat kepada anak. Hal ini untuk mencegah kasus gangguan ginjal akut pada anak.
Oleh
RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kesehatan meminta kepada orangtua untuk sementara tidak memberikan sirop obat kepada anak. Hal ini dilakukan sebagai pencegahan terkait sirop obat yang diduga menyebabkan gangguan ginjal akut pada anak.
Selain itu, saat ini pemerintah juga telah memberhentikan sementara pemberian resep obat cair/sirop di fasilitas pelayanan kesehatan. Seluruh apotek juga diinstruksikan untuk sementara tidak menjual obat bebas dan/atau bebas terbatas dalam bentuk cair/sirop. Hingga saat ini, penelitian masih dilakukan untuk mengonfirmasi penyebab pasti penyakit tersebut.
”Kami mengimbau kepada masyarakat untuk sementara waktu tidak memberikan obat dalam bentuk cair/sirop kepada anak sebelum berkonsultasi dengan tenaga kesehatan,” kata juru bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Mohammad Syahril, pada konferensi pers daring, Rabu (19/10/2022).
Nia (26), ibu dengan anak berusia lima tahun yang tinggal di Minahasa, Sulawesi Utara, merasa risau dengan informasi yang tersebar tentang penyakit gagal ginjal misterius pada anak. Ia merasa berita-berita yang ia baca masih simpang siur sehingga membuatnya tidak tahu kebenaran informasi yang pasti. Sebelumnya, ia sudah mengetahui informasi ini dari pemberitahuan beberapa hari yang lalu. Setelah itu, ia semakin waspada memperhatikan jumlah urine anaknya.
”Untungnya saya belum pernah memberikan obat sirop kepada anak saya. Saya hanya memberi obat kapsul dan pil sesuai dengan arahan bidan,” ujarnya.
Marselino (25), bapak dengan anak berumur dua tahun yang tinggal di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, sebelumnya sering memberikan sirop obat kepada anak untuk segera meredakan penyakit anaknya. Karena khawatir anaknya sakit berkepanjangan, ia berpikir, dengan memberikan sirop obat dapat mempercepat pemulihan.
Gangguan ginjal akut pada anak ini perlu disebut sebagai KLB karena memiliki tingkat kematian yang tinggi.
Selain itu, sirop obat juga lebih disenangi anaknya daripada pil atau kapsul. Ia tak sangka, sirop obat diduga sebagai salah satu kemungkinan penyebab gangguan ginjal akut pada anak. Sekarang, ia memutuskan tidak lagi memberikan sirop obat sampai ada informasi lebih lanjut.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso mengatakan, dugaan sirop obat sebagai penyebab gagal ginjal akut masih diteliti oleh IDAI dan Kemenkes. Ia menjelaskan, pemerintah bersama IDAI dan Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo telah membentuk tim khusus untuk meneliti dugaan sirop obat tersebut.
Meski begitu, Piprim mengimbau kepada orangtua tetap mewaspadai sirop obat yang tidak memiliki label izin yang jelas. Menurut dia, meski sirop obat belum menjadi penyebab yang pasti, orangtua perlu mengambil langkah preventif dengan tidak memberikan anak asupan obat yang tidak sesuai anjuran dokter.
Selain itu, orangtua juga perlu waspada mengawasi volume atau frekuensi urine anak saat buang air kecil (BAK) dengan atau tanpa disertai gejala demam. Apabila anak hanya mengalami demam, perawatan dilakukan di rumah dengan lebih mengedepankan tata laksana non-farmakologis, seperti mencukupi kebutuhan cairan, kompres air hangat, dan menggunakan pakaian tipis. Jika selama dua minggu demam belum turun dengan atau tanpa gejala penurunan volume urine, segera bawa anak ke fasilitas kesehatan terdekat.
Epidemolog Dicky Budiman, Rabu (19/10/2022), di Jakarta, mengatakan, gangguan ginjal akut pada anak memenuhi kriteria outbreak atau kejadian luar biasa (KLB). Menurut dia, KLB adalah suatu kasus penyakit yang sebelumnya tidak diketahui pasti serta ketersebarannya meningkat secara konsisten dan signifikan.
Maka dari itu, gangguan ginjal pada anak memenuhi kriteria itu dan dapat disebut sebagai KLB. ”Kasus gangguan ginjal akut pada anak (yang terjadi belakangan ini) adalah penyakit yang tiba-tiba ada. Selain itu, kasus ini juga mengalami peningkatan. Itu sudah jelas (masuk kriteria) KLB,” ujarnya.
Dicky menjelaskan, gangguan ginjal akut pada anak ini perlu disebut sebagai KLB karena memiliki tingkat kematian yang tinggi. Di beberapa tempat sudah ada tingkat kematian yang mencapai 50 persen. Menurut dia, hal ini disebabkan kurangnya deteksi dan penanganan dini, baik karena orangtua tidak membawa anak secepatnya ke fasilitas kesehatan maupun karena keterbatasan sarana dan prasarana di fasilitas kesehatan.
Sebagai informasi, laporan kasus gangguan ginjal akut pada anak terus meningkat setiap hari. Menurut laporan Kemenkes pada Rabu, 19 Oktober 2022, laporan telah mencapai 206 kasus yang tersebar di 20 provinsi. Jumlah kasus itu meningkat dari laporan IDAI pada Selasa, 18 Oktober 2022, yakni 192 kasus. Hingga kini, setidaknya 99 kasus kematian dilaporkan terkait dengan penyakit tersebut.