Topik soal KDRT dalam beberapa pekan terakhir banyak diangkat dalam berbagai diskusi pasca-laporan artis Lesti Kejora kepada kepolisian. Ia mengalami KDRT dari suaminya, Rizky Billar. Setelah kepolisian menetapkan suaminya sebagai tersangka, Lesti Kejora, Jumat (14/10/2022), mencabut laporannya. Ia beralasan hal itu dilakukan demi anaknya dan karena suaminya—yang adalah bapak dari anaknya—mengakui perbuatannya. Lesti juga menegaskan, Billar merupakan sebagai ayah terbaik untuk anak mereka.
Dalam siklus kekerasan, korban dan pelaku akan terus berputar dari kondisi tanpa kekerasan-kondisi ketegangan yang ditandai dengan perselisihan-kondisi ledakan kekerasan-kondisi rekonsiliasi atau ”masa bulan madu” di mana situasi menenang setelah adanya permintaan maaf.
Diskusi Publik ”Seleb Saja Bisa Kena, Bagaimana dengan Kamu?" juga mengingatkan masyarakat bahwa KDRT bisa terjadi pada semua orang, bahkan termasuk para selebritas. Perkawinan yang sejatinya dibangun atas dasar rasa cinta, impian, dan harapan bisa berubah ketika KDRT terjadi.

Vitria mengingatkan, KDRT adalah sesuatu yang serius. KDRT tidak bisa disamakan dengan konflik rumah tangga biasa. Ini karena KDRT ada siklusnya yang membuat korban sulit keluar dari lingkaran tersebut. Awalnya fase bulan madu, tenang, lalu ada ketegangan, terjadi konflik, dan muncul kekerasan. Pelaku kemudian meminta maaf kepada korban, lalu kembali lagi ke fase awal.
”Terus berputar. Pada kasus KDRT, makin lama putarannya makin cepat, dan kekerasan makin lama makin meningkat. Awalnya psikis, lama-lama menjadi fisik dan berat sekali. Ini yang terjadi pada korban KDRT,” kata Vitria.
Siklus kekerasan yang dialami korban KDRT bisa memengaruhi sikap korban dalam memersepsikan peristiwa yang dialaminya. Ketika korban dalam kebingungan, itu akan memengaruhi keputusannya. Tak heran, sejumlah laporan KDRT di kepolisian sering dicabut oleh korban, padahal kasus baru saja dilaporkan.
Baca juga : Siklus Kekerasan
”Dan itu dalam bagian siklusnya korban. Kenapa? Karena ada cinta, harapan, tapi ada juga rasa takut sehingga korban mengalami kebingungan untuk memutuskan. Jangankan memutuskan, sehari-hari korban berarti dalam keadaan survival mood, bagaimana melewati hari itu tanpa mengalami kekerasan dari pasangannnya, itu yang dia (korban) alami,” tutur Vitria, yang akrab disapa Lia.

Ketika korban kebingungan dalam merespons peristiwa yang dialaminya, hal ini berdampak pada fisik dan psikis. Korban akan dikuasai emosi negatif, merasa diri kurang, kecewa, marah, dan sebagainya. Apalagi jika semakin banyak tekanan dan stigma dari luar, maka akan terjadi perubahan perilaku dari korban itu sendiri.
Ketika yang dialami seseorang sangat berat, kondisinya akan semakin sulit. Karena dia akan bingung dan jika bercerita kepada orang lain belum tentu mereka percaya. Dan, kalaupun ada komentar empati, paling-paling kata-kata seperti: ”Coba kamu sabar dulu”.
”Tidak mudah bagi korban cerita. Ketika korban datang untuk cerita, artinya dia sudah mempertaruhkan harga dirinya, bahwa bisa jadi dia dipersalahkan orang lain ketika bercerita,” papar Vitria.
Baca juga : KDRT Masih Menjadi Ancaman bagi Perempuan
Karena itulah, sangat penting mendampingi korban KDRT, menunjukkan simpati, mendengarkan, serta melihat apa yang menjadi kebutuhannya. Selain itu, ketika korban berani membuka apa yang dialaminya, korban harus mendapat informasi bahwa yang dia alami adalah kekerasan, yakni KDRT, dan ada undang-undang yang bisa melindunginya serta ada tempat untuk melaporkan.
Dalam beberapa kasus, tidak mudah bagi korban KDRT untuk meninggalkan pelaku. Karena itulah, pendampingan pada korban sangat penting. Korban harus diberi bekal informasi yang memadai sehingga, jika terjadi lagi KDRT, dia sudah punya cara melindungi diri.
”Jangan lupa, ketika seseorang masuk dalam lingkaran kekerasan, dia kehilangan kemampuan untuk mengambil keputusan. Konseling bisa membantu korban untuk mengambil alternatif keputusan,” kata Vitria.

Salah seorang penyintas KDRT yang hadir dalam diskusi ”Seleb Saja Bisa Kena, Bagaimana dengan Kamu?” mengungkapkan, dibutuhkan keberanian dan tekad yang kuat untuk melepaskan diri dari KDRT. Dalam testimoninya, dia mengatakan awalnya tidak menyangka akan mengalami KDRT dari tunangannya yang kemudian menjadi suaminya. Apalagi, dia sangat mencintai suaminya.
Selain psikis, dia mengalami KDRT fisik saat dalam kondisi mengandung anaknya. Ia akhirnya memutuskan melapor kepada kepolisian, hingga akhirnya dia berhasil keluar dari lingkaran kekerasan.
Pastikan siklus berhenti
Kasus KDRT juga mendapat perhatian dari Komisi Nasional Antike Kerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Data yang dihimpun Komnas Perempuan setiap tahun melalui catatan tahunan menunjukkan bahwa pelaporan kasus KDRT terus meningkat.
Tahun 2021, misalnya, Komnas Perempuan menerima pengaduan langsung 771 kasus kekerasan terhadap istri (KTI) atau 31 persen dari laporan 2.527 kasus kekerasan di ranah rumah tangga/personal. Berdasarkan pengaduan dan pemantauan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, dampak KDRT terhadap korban beragam dan berlapis. Korban mengalami penderitaan luka-luka fisik, trauma, dan depresi, bahkan menjadi disabilitas ataupun kehilangan nyawa.
”Masih tingginya angka kasus KDRT di Indonesia perlu mendapatkan perhatian serius, baik dari segi penguatan korban untuk berani melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya maupun dari segi penanganannya,” ujar Siti Aminah Tardi, komisioner Komnas Perempuan, dalam keterangan pers, Senin (17/10/2022).
Baca juga : KDRT Menghancurkan Impian tentang Keluarga Bahagia
Pelaporan merupakan langkah awal bagi perempuan korban untuk mendapatkan perlindungan, keadilan, dan pemulihan. Sebab, Komnas Perempuan mencatat tidak semua korban KDRT, khususnya KTI, mau dan berani untuk berbicara, apalagi melaporkan kasusnya.
Istri tidak melaporkan kasusnya karena sejumlah pertimbangan terkait peran sosial perempuan, di antaranya demi menjaga nama baik keluarga, keutuhan keluarga, dan masa depan anak-anak. Pertimbangan lain adalah ketergantungan secara emosi, ekonomi, dan sosial.

Melihat tantangan yang dihadapi korban, Aminah bersama Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriani serta komisioner Veryanto Sitohang dan Bahrul Fuad mengapresiasi dan mendukung setiap perempuan korban untuk berani bicara dan melaporkan kasusnya ke kepolisian. Dalam kasus Lesti Kejora, Komnas Perempuan mendukung langkah kepolisian untuk tetap melanjutkan proses hukumnya dengan maksud untuk memastikan kejadian serupa tidak berulang di kemudian hari.
”Perlu dipahami bahwa pencabutan pelaporan tidak serta-merta menghentikan proses hukum. Dalam kasus ini, pihak pelaku KDRT ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Pasal 44 Ayat (1) UU PKDRT yang termasuk dalam kategori delik biasa, bukan delik aduan,” kata Aminah.
Komnas Perempuan menyerukan kepada kepolisian dan semua pihak agar waspada dengan potensi siklus kekerasan dalam penanganan kasus KDRT. Sebab, dalam siklus kekerasan, korban dan pelaku akan terus berputar dari kondisi tanpa kekerasan-kondisi ketegangan yang ditandai dengan perselisihan-kondisi ledakan kekerasan-kondisi rekonsiliasi atau ”masa bulan madu” di mana situasi menenang setelah adanya permintaan maaf.
Baca juga : Cabut Laporan KDRT, Polisi Tetap Pantau Kondisi Lesti
Namun, dari waktu ke waktu, ledakan kekerasan dapat menjadi lebih intensif dan sangat fatal dengan mengakibatkan luka yang serius hingga meninggal. Karena itulah, langkah kepolisian untuk melanjutkan proses hukum akan berkontribusi untuk mencegah preseden buruk dalam penanganan kasus KDRT, khususnya KTI. Pendekatan keadilan restoratif digunakan untuk membuka celah impunitas pelaku dan meneguhkan siklus KDRT.