Putusan MA Terkait Izin PLTA Tampur-I agar Dijalankan
MA mengabulkan gugatan Walhi dan membatalkan izin pembangunan PLTA Tampur-I di Aceh. Sejumlah pihak meminta putusan tersebut dijalankan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mendesak agar putusan Mahkamah Agung yang telah membatalkan izin pinjam pakai kawasan hutan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I segera dijalankan. PLTA yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser itu dikhawatirkan dapat merusak lingkungan. Selain itu, lokasi PLTA juga ada di kawasan rawan bencana.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Ahmad Shalihin mengatakan, PLTA Tampur-I di Kabupaten Gayo Lues akan dibangun di lahan seluas 4.407 hektar (ha). Lahan ini terdiri dari hutan lindung seluas 1.729 ha, hutan produksi 2.401 ha, dan area penggunaan lain 277 ha.
”(Kawasan PLTA) Tampur itu hulu dari beberapa sungai besar di Aceh serta termasuk zona inti KEL (Kawasan Ekosistem Leuser). Kawasan itu juga koridor bagi satwa kunci Aceh, yakni harimau, badak, orangutan, dan gajah. PLTA akan mengganggu ekosistem, mengganggu biota air karena aliran air akan berubah, mengubah suhu air, serta menutup jalur biota air karena terputus oleh bendungan,” kata Ahmad, di Jakarta, Rabu (5/10/2022).
Sesar Sumatera bagian utara selama ini tidak menunjukkan aktivitas yang besar. Ini menandakan bahwa mereka menyimpan energi. Jika sesar terkunci, energi tersimpan dan suatu hari bisa melepaskan gempa besar.
Rencana pembangunan PLTA juga tidak sesuai Undang-Undang Pemerintahan Aceh Pasal 150 yang melarang pemerintah mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam KEL. UU itu mengamanatkan Pemerintah Aceh untuk melindungi, mengamankan, melestarikan, memulihkan fungsi kawasan, dan memanfaatkan kawasan secara lestari.
Alasan gugatan, antara lain, karena gubernur dinilai melampaui wewenang untuk mengeluarkan izin, lokasi PLTA ada di KEL, dan karena lokasi rawan bencana. PTUN Banda Aceh mengabulkan seluruh gugatan Walhi.
Proses hukum ini berlanjut hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA) yang juga menguatkan putusan tersebut. Ini berarti izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dinyatakan batal atau tidak sah. Rencana pembangunan PLTA pun tidak bisa dilanjutkan. Putusan MA itu bersifat inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
”Hingga September 2022, kami selaku penggugat belum melihat eksekusi putusan (MA) itu,” kata Ahmad. ”Kami justru mendapat kabar bahwa PT Kamirzu mengurus IPPKH baru di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” tambahnya.
Manajer Hukum dan Pembelaan Rakyat Walhi Ronald M Siahaan meminta agar semua pihak mematuhi putusan MA. Ia juga meminta agar kasus ini dilihat sebagai gugatan atas masalah lingkungan hidup, bukan masalah administrasi. Selain bisa berdampak ke keberlanjutan ekosistem, ada juga potensi bencana di lokasi PLTA.
Rawan bencana
Lokasi PLTA berada di zona gempa aktif Sumatera. Dosen Program Studi Magister Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Nazli Ismail mengatakan, ada sejumlah sesar lokal yang yang cukup aktif di lokasi PLTA.
Adapun PLTA berada di persimpangan Sesar Sumatera bagian utara. Sesar itu terbagi dalam beberapa segmen, antara lain segmen Pining, Lokok, dan Alas, yang berada di sekitar lokasi PLTA. Penelitian menunjukkan adanya aktivitas seismik di sana.
”Gempa kecil menunjukkan bahwa sesar ini aktif dan suatu saat bisa menghasilkan gempa besar. Sesar Sumatera bagian utara selama ini tidak menunjukkan aktivitas yang besar. Ini menandakan bahwa mereka menyimpan energi. Jika sesar terkunci, energi tersimpan dan suatu hari bisa melepaskan gempa besar,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Bendungan di PLTA dikhawatirkan jebol dan membanjiri desa sekitar jika strukturnya tidak mampu mengatasi gempa. Selain itu, air yang ditampung di bendungan pun dikhawatirkan memicu gempa.
”Penyerapan air ke tanah bisa memicu aktivitas seismik. Sebab, air menjadi semacam pelumas bagi blok batu untuk bergerak,” kata Nazli.