Perempuan Lansia Rentan Jadi Korban Kekerasan Seksual
Warga lanjut usia di Indonesia terus meningkat. Perhatian dan perlindungan lansia dari berbagai kekerasan mesti jadi perhatian semua pihak.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pedagang sayur yang sebagian merupakan perempuan lansia menaiki mobil bak terbuka di Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (19/8/2019). Kaum lansia di pedesaan masih kerap mengerjakan berbagai pekerjaan fisik yang berat demi membantu perekonomian keluarga.
JAKARTA, KOMPAS – Warga lanjut usia rentan mengalami berbagai kekerasan fisik, mulai dari kekerasan psikis, seksual, ekonomi, penelantaran, eksploitasi finansial, dan perampasan aset atau properti. Bahkan, perempuan lanjut usia sangat rentan mengalami kekerasan berbasis jender, terutama kekerasan seksual.
Oleh karena itu, bertepatan dengan Hari Lanjut Usia (Lansia) Internasional yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merekomendasikan agar negara dan masyarakat memberikan perhatian khusus kepada perempuan lansia agar bebas dari diskriminasi dan kekerasan berbasis jender.
“Mitos bahwa perempuan menopause, termasuk lansia, tidak menjadi sasaran kekerasan seksual, mengakibatkan korban perempuan lansia dalam hal ini, tidak mendapatkan perhatian khusus. Pemantauan media massa pada tahun 2020 memberitakan 10 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan lansia, dengan usia tertinggi adalah 76 tahun,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Rainy M Hutabarat dalam keterangan pers, Senin (3/10/2022).
Rainy bersama komisioner Komnas Perempuan lainnya, Retty Ratnawati, Siti Aminah Tardi, dan Mariana Amiruddin menyatakan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Komnas Perempuan, Badan Pusat Statistik (BPS), dan lembaga layanan masyarakat, perlu melakukan pendokumentasian kekerasan berbasis jender terhadap perempuan lansia untuk menemukenali pola, pelaku, dan bentuk kekerasannya.
Menurut catatan Komnas Perempuan, pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan lansia adalah cucu, tetangga, orang asing dan suami dalam bentuk pemerkosaan dan penyebaran konten intim tanpa persetujuan.
Kemunduran kemampuan fisik dan psikis menyebabkan lansia tergantung terhadap keluarga untuk merawatnya. Kondisi ini berkelindan dengan bentuk diskriminasi lainnya seperti diskriminasi jender dan kondisi disabilitas. Perempuan lansia penyandang disabilitas menjadi kelompok yang paling rentan mendapatkan kekerasan.
Dalam konteks kekerasan di ranah negara, lansia rentan mengalami diskriminasi dalam akses pelayanan dan hambatan administrasi sistem digital. Mereka juga mengalami hambatan dalam pendataan lansia pada sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Pada ranah negara, digitalisasi administrasi belum berperspektif lansia dan jender. Perempuan, terutama kelas ekonomi bawah umumnya belum melek teknologi digital karena beban kerja berlapis dalam rumah tangga.
“Masih terdapat perempuan lansia pensiunan yang terhambat dalam mengakses hak atas keuangan dan hak atas kesehatan karena kebijakan pemblokiran bila dalam waktu tiga bulan berturut-turut ia tidak melakukan transaksi pada rekening banknya atau tidak melakukan otentifikasi,” papar Siti Aminah.
Karena itulah, Retty menambahkan, untuk mempermudah perempuan lansia mengakses layanan kesehatan, BPJS perlu mengintegrasikan data pilah berperspektif lansia dan jender. Sebab, dari catatan Komnas Perempuan, masih terdapat perempuan lansia peserta BPJS Kesehatan dengan penyakit kronis (hipertensi) yang datanya “sempat tidak ditemukan” padahal ia telah membayar rutin iuran BPJS.
Upaya pemenuhan hak-hak lansia sebagaimana dimandatkan UU Kesejahteraan Lanjut Usia dapat memperkuat daya lenting mereka untuk dapat hidup mandiri, serta mewujudkan potensi-potensi pribadinya, bermartabat, dan memastikan hidup bebas dari diskriminasi dan kekerasan.
Komnas Perempuan, tambah Mariana, juga meminta pemerintah memberikan perhatian khusus, pada perempuan-perempuan korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah lansia dan ada yang menjadi disabilitas, di antaranya korban Tragedi 1965.
Kemunduran kemampuan fisik dan psikis menyebabkan lansia tergantung terhadap keluarga untuk merawatnya.
Selain pendokumentasian kekerasan berbasis jender terhadap perempuan lansia, pemerintah juga diharapkan membangun sistem administrasi khusus yang mudah diakses dan dipergunakan oleh lansia agar lansia tidak kehilangan hak-haknya karena digitalisasi administrasi.
Berdasarkan Proyeksi Penduduk hasil Survei Penduduk Antar Sensus 2015 (BPS) pada 2020, jumlah lansia di Indonesia sebesar 10,65 persen dari jumlah penduduk atau sekitar 28 juta orang. Adapun persentase lansia perempuan lebih besar dibandingkan laki-laki, yaitu perempuan sebesar 52,34 persen dan laki-laki sebesar 47,66 persen.
Proyeksi BPS ini juga menggambarkan persentase penduduk lansia terus meningkat sampai dengan tahun 2045, yaitu dari 9 persen pada tahun 2015 menjadi hampir 20 persen pada tahun 2045.
Pemilih lansiamenunjukan jari yang telah dicelupkan ke dalam tinta saat simulasi Pemilu 2019 di Jakarta, Sabtu (6/4/2019).
Pendataan masih minim
Pakar lansia yang juga Rektor Universitas Respati Indonesia (Urindo) Prof Tri Budi W. Rahardjo, menyatakan, hingga kini pendataan kekerasan berbasis jender yang dialami perempuan lansia masih minim.
“Kalau saya ditanya data saya enggak punya. Tetapi kalau secara umum tidak hanya perempuan, lansia yang mendapat kekerasan itu sekitar tiga persen dari sekitar 27 juta lansia,” ujar Tri.
Menurut Tri, jumlah sekitar 3 persen tersebut belum terpilah secara khusus berapa laki-laki dan perempuan. Untuk mendapatkan berapa angka yang pasti, siapa pelakunya, bentuk kekerasan yang dialaminya seperti apa, fisik atau psikis, hingga kini belum ada penelitiannya.
Lansia di Indonesia rentan mengalami kekerasan, karena umumnya mereka tinggal bersama keluarga. Ketika lansia mengalami disabilitas, akan sangat bergantung pada pihak yang merawatnya, sehingga rentan mengalami kekerasan (tidak selalu fisik) apabila keluarga yang merawat merasa kewalahan atau kelelahan merawatnya.
“Kekerasan tidak selalu bentuk fisik, misalnya membentak saja itu sudah kekerasan. Kemudian menyalahkan orangtua, itu sudah kekerasan. Jadi kekerasan itu, spektrumnya luas,” tegas Tri.
Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam berbagai kesempatan mengingatkan pentingnya perlindungan terhadap perempuan lansia dari berbagai kekerasan, serta mendorong upaya pemberdayaan dalam menciptakan lansia yang produktif dan mandiri, salah satunya melalui tradisi menganyam.