Monogami Itu Tidak Alamiah
Monogami bukan sifat asli manusia. Nenek moyang manusia adalah spesies yang punya banyak pasangan kawin. Meski penyebab pasti manusia jadi monogami belum jelas, struktur sosial bisa mengubah manusia jadi monogami.
Perselingkuhan, pengkhianatan atas komitmen, hingga perebutan pasangan menjadi isu yang tak pernah selesai. Meski sudah terikat dalam hubungan kawin yang sah, perburuan patner kawin seolah tak memiliki ujung. Tak jarang, persaingan dalam mendapatkan pasangan kawin itu berakhir dengan konflik, pembunuhan, penyebaran penyakit, bahkan peperangan.
Manusia termasuk makhluk yang sulit untuk setia pada satu pasangan seumur hidupnya. Pasangan yang bisa memegang teguh janji sucinya untuk seumur hidup adalah fenomena yang tidak biasa. Pola pencarian banyak pasangan kawin manusia itu adalah sifat yang diturunkan dari spesies pendahulunya selama evolusi berlangsung.
Ya, hanya 3 persen sampai 5 persen dari sekitar 5.000 mamalia yang membentuk ikatan monogami seumur hidup. Mereka yang tergolong makhluk supersetia dengan pasangannya antara lain adalah berang-berang, serigala, rubah, beberapa jenis kelelawar, dan sejumlah hewan berkuku. Manusia tidak ada dalam kelompok supersetia itu.
"Budaya monogami modern baru ada sekitar 1.000 tahun yang lalu," kata antropolog evolusioner dari University College London, Inggris, Kit Opie, kepada CNN, 18 Mei 2016.
Primata paling awal, sekitar 75 juta tahun yang lalu, adalah makhluk penyendiri dan lebih suka hidup mengisolasi. Primata dewasa hanya bertemu saat musim kawin tiba. Sekitar 16 juta tahun lalu, semua primata menjadi lebih sosial dan berevolusi hingga hidup bersama dalam kelompok. Disinilah, perkawinan dengan banyak individu pada primata mulai terjadi.
Namun, evolusi manusia dibandingkan hewan-hewan lain bergerak ke arah berbeda, yaitu monogami. "Spesies manusia berevolusi membangun hubungan berkomitmen antara laki-laki dan perempuan guna membesarkan anak bersama dalam berbagai bentuk ikatan pernikahan, baik poligini, orangtua tunggal, ataupun monogami," kata antropolog evolusioner Universitas New Mexico, Amerika Serikat, Jane Lancaster kepada Livescience, 6 September 2012.
Meski demikian, yang disebut monogami pada fauna itu, termasuk manusia, bukan berarti benar-benar hanya memiliki satu pasangan kawin seumur hidupnya. Monogami manusia adalah monogami sosial, yaitu hubungan antarindividu pasangan kawin yang berkomitmen membesarkan anak bersama, tetapi masih berhubungan seksual dengan individu lain.
Baca juga : Monogami Seksual ala Penguin
Penggunaan istilah monogami sosial ini juga tidak disepakati semua ilmuwan. Psikolog sosial dan evolusioner dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Michigan AS, Daniel Kruger lebih suka menyebutnya sebagai 'poligini ringan', yaitu laki-laki yang kawin dengan lebih dari satu perempuan dalam satu waktu sekaligus.
Dalam monogami juga ada beberapa istilah. Selain monogami sosial, ada monogami seksual yaitu hanya memiliki satu pasangan kawin selama musim kawin tertentu. Ada pula monogami serial yaitu hanya kawin dengan satu pasangan sampai pasangannya meninggal dan individu yang masih hidup pun kemudian kawin lagi. Juga monogami genetik yaitu jika anak dari individu betina teruji secara genetik berasal dari satu pejantan.
Spesies manusia berevolusi membangun hubungan berkomitmen antara laki-laki dan perempuan guna membesarkan anak bersama dalam berbagai bentuk ikatan pernikahan, baik poligini, orangtua tunggal, atau monogami.
"Untuk urusan investasi paternal (ayah mengurus anak), manusia memang istimewa (berbeda dengan mamalia lain). Namun saat bersamaan, manusia adalah spesies poligini seperti kebanyakan mamalia," tambahnya.
Investasi reproduksi
Proses evolusi membuat laki-laki lebih banyak beraktivitas di luar rumah. Konsekuensinya, laki-laki lebih berpeluang melakukan seks dengan orang yang bukan pasangan berkomitmennya. Mereka masih gemar melirik kiri-kanan, 'jajan', atau mampir ke tempat selingkuhan demi kenikmatan sesaat. Namun saat kembali ke rumah, dia tetap menjadi bapak bagi anak-anaknya.
Selain itu, tambah Lancaster, laki-laki memiliki lebih sedikit kerugian dibanding perempuan untuk melakukan seks bebas sehingga lebih mudah bagi laki-laki untuk melakukannya.
Namun bagi perempuan, seks di luar ikatan berarti kehilangan sumber daya 'ayah' dalam membesarkan anak-anaknya dan itu kerugian bukan hanya untuk ibu, tetapi juga anak. "Bagi perempuan, kesejahteraan anak tidak meningkat dengan seks diluar nikah," katanya.
Pejantan atau laki-laki, seperti dikutip dari Livescience, 20 November 2006, memiliki banyak pasangan kawin karena dorongan genetik untuk menyebarkan gen atau sperma mereka. Namun, betina atau perempuan punya kuasa untuk memilih pejantan terbaik atau berkualitas bagi anak-anaknya kelak.
Monogami adalah investasi mahal. Monogami mengharuskan binatang menempatkan seluruh investasi reproduksinya hanya pada satu individu, apapun kondisinya. Situasi ini memberi tekanan besar karena jumlah individu berkualitas terbatas sehingga persaingan pun ketat.
Karena itu, monogami menjadi pola relasi berisiko. Jika pasangan kawinnya ternyata tidak berkualitas, misal tidak bisa memberikan keturunan yang baik, maka mereka telah kehilangan waktu kawinya. Padahal, semua spesies memiliki kondisi dan rentang waktu terbaik untuk kawin dan bereproduksi sepanjang hidupnya serta tidak bisa diulang.
Bernard Chapais dari Universitas Montreal, Kanada seperti dikutip The New York Times, 2 Agustus 2013, menyebut hanya 17 persen budaya manusia yang benar-benar monogami. Sebagian besar budaya manusia menganut campuran jenis pernikahan, yaitu monogami dan poligami, baik poligini maupun poliandri (satu perempuan kawin dengan beberapa laki-laki secara bersamaan) yang lebih jarang.
Menjaga anak
Meski demikian, nyatanya monogami tetap menjadi pilihan manusia. Walau sejumlah budaya menerima poligini, masyarakatnya tetap menjadikan monogami sebagai pilihan pola pernikahan terbanyak. Lantas, mengapa manusia memilih monogami?
Berbagai teori dikembangkan ilmuwan evolusi untuk menjelaskan mengapa manusia cenderung memilih monogami. Salah satu teori dasarnya adalah kebutuhan atas peran pengasuhan ayah. Studi Opie menemukan, saat primata berkembang menjadi lebih sosial, ukuran otaknya membesar untuk mengakomodasi berkembangnya kompleksitas perkawinan.
Konsekuensinya, otak bayi yang baru lahir akan lebih besar dibanding bayi di masa sebelumnya sehingga membutuhkan lebih banyak perhatian ibu, khususnya untuk pemberian susu, dan ayah untuk menjaga anak mereka.
Baca juga : ”Saiyo Sakato” dan Imbas Kebohongan Poligami
Pada primata, pejantan lain pada dasarnya menunggu kawin dengan betina tertentu di kelompoknya. Pejantan lain akan berusaha membunuh bayi sang betina agar dia bisa segera mengawini betina tersebut.
Pada mamalia, hewan betina umumnya tidak hamil saat menyusui hingga mengurangi potensi kawin hewan jantan. Karena itu, ayah dibutuhkan untuk menjaga anaknya tetap hidup dari serangan pejantan lain, sedang hubungan ayah dengan ibu anak-anaknya hanya seperlunya saja.
"Spesies monogami sosial lebih mungkin untuk memiliki tingkat pembunuhan bayi yang rendah," kata Opie. Meski ide ini mungkin membuat tidak nyaman, pembunuhan bayi untuk mempercepat proses kawin telah menekan nenek moyang kita untuk tinggal dengan pasangan kawinnya lebih lama.
Kesadaran membesarkan anak dengan pasangan itu mendorong manusia maupun sejumlah hewan bermonogami sosial. Menurut Emma Marks, peneliti perilaku ekologis dari Universitas Auckland, Selandia Baru, monogami sosial adalah prasyarat karena membesarkan anak butuh banyak koordinasi dengan pasangan. Jika gagal, sia-sia proses kawin yang dijalani.
Ahli lain tak sepakat dengan teori itu. Alasan monogami untuk membesarkan anak bersama hanya masuk akal bagi spesies burung yang induknya mengerami telur dan menyediakan makan untuk anaknya. Sejumlah spesies, nyatanya bisa tumbuh tanpa bantuan orangtua atau induknya, seperti anak penyu yang baru menetas bisa menemukan jalan sendiri ke laut.
Pada mamalia, gagasan ini juga dianggap tidak cocok. Mamalia menumbuhkan anaknya dalam tubuh ibu. Karenanya, ibulah yang menyusui dan bisa memberi makan anaknya tanpa memerlukan bantuan ayah.
Baca juga : Bukan Cinta yang Melanggengkan Pernikahan
Selain karena pengasuhan, ide lain yang membawa manusia pada monogami adalah terbatasnya jumlah betina. Ryan Schacht dan Adrian V Bell di Scientific Reports, 7 September 2016 menulis lebih banyaknya jumlah pejantan dibanding betina justru meningkatkan komitmen pejantan terhadap betina lebih tinggi.
Dalam segi jumlah, penduduk laki-laki memang lebih banyak dari perempuan. Usia reproduksi laki-laki juga lebih panjang dari perempuan. Namun usia perempuan yang lebih panjang membuat jumlah perempuan lanjut usia lebih banyak dari laki-laki lanjut usia. Keterbatasan jumlah perempuan itu membuat nenek moyang kita mengubah strategi kawinnya, termasuk terlibat dalam pengasuhan anaknya.
Sementara pemodelan matematika yang dilakukan Chris Bauch dan rekan dari Universitas Waterloo, Kanada, menunjukkan monogami dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakin menular seksual (PMS). Saat populasi manusia membesar dan terjadi perubahan pola hidup dari pemburu-pengumpul menjadi petani, prevalensi PMS dalam populasi naik.
Situasi ini memberi tekanan sosial pada manusia untuk bermonogami, terlebih saat itu pengobatan untuk PMS belum tersedia. "Peristiwa di alam, seperti penyebaran penyakit menular, bisa memengaruhi perkembangan norma sosial," katanya.
Namun, Opie menilai perubahan manusia menjadi monogami di awal era pertanian adalah untuk mempertahankan kekayaan melalui pernikahan. "Monogami itu adalah sistem penikahan, bukan sekadar sistem perkawinan," tambahnya.
Ada pula pandangan Dieter Lukas dari departemen zoologi Universitas Cambridge, Inggirs, seperti dikutip CNN, 30 Juli 2013, yang memperkirakan monogami dipilih manusia karena laki-laki membutuhkan waktu tambahan untuk meningkatkan kebugaran mereka sebelum kawin dengan perempuan lain.
Baca juga : Relasi Perkawinan di Masa Pandemi
Kondisi itu terjadi saat mamalia betina mulai menemukan makanan berkualitas tinggi pada wilayah yang berjauhan hingga mereka harus mempertahankan wilayahnya secara agresif. "Saat betina sudah tersebar berjauhan, maka sang pejantan pun harus mengubah strategi kawinnya," tambah Lukas. Keterbatasan sumber daya itu mendorong manusia menjadi monogami, sedangkan spesies manusia yang memiliki kelimpahan pangan cenderung poligini.
Struktur sosial
Meski alasan pasti yang membawa manusia pada monogami belum disepakati, sejumlah ilmuwan menilai monogami terbentuk diakibatkan oleh struktur sosial. "Monogami diciptakan untuk ketertiban dan investasi, namun bukan berati itu harus kondisi alami," kata profesor sosiologi Universitas Washington, Seattle, AS, Peper Schwartz.
Walau monogami tidak alami bagi manusia, ahli biologi evolusi dari Universiras Washington, AS, David Barash yang dikutip di The Psychlogy Today, 20 Mei 2016, menyebut monogami bukanlah hal yang tidak mungkin atau tidak diinginkan. Pada dasarnya, manusia selalu menginginkan hal-hal terbaik meski tidak mudah baginya untuk mewujudkan.
Karena itu, kini monogami menjadi norma utama perkawinan di seluruh dunia saat ini. Manusia modern mungkin memimpikan kesenangan dengan memiliki banyak harem atau selir seperti raja-raja di masa lalu. Namun nyatanya, di masa lalu pun saat budaya poligini masih kuat, hanya orang-orang tertentu yang sanggup melakukannya, mereka yang memiliki sumber daya melimpah.
Monogami mungkin memang tidak alami bagi manusia, tetapi banyak manusia masih berpikir bahwa monogami adalah pilihan terbaik. Bukan sekedar untuk membantu pengasuhan anak, tetapi monogami juga membantu manusia berevolusi menjadi penakluk makhluk berotak besar seperti sekarang.