Serangan jantung harus ditangani dengan cepat. Periode emas untuk menangani pasien serangan jantung hanya 12 jam. Segera bawa ke rumah sakit jika dicurigai adanya tanda dan gejala yang muncul.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Indonesia berduka dengan berpulangnya Ketua Dewan Pers yang juga mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra. Tokoh bangsa tersebut diketahui meninggal di usia ke-67 karena serangan jantung akut yang terjadi akibat sumbatan pada pembuluh darah bagian bawah atau dalam istilah medis disebut acute inferior myocardial infarction.
Serangan jantung menjadi momok bagi masyarakat. Penyakit ini terjadi secara mendadak dan berisiko fatal, tetapi gejalanya tidak khas sehingga sering tidak dihiraukan. Padahal, jika tidak segera mendapatkan penanganan dapat menyebabkan kerusakan pada otot jantung hingga kematian.
”Pertolongan harus diberikan dalam jangka waktu kurang dari 12 jam pada pasien serangan jantung. Tentu lebih cepat lebih baik. Dalam serangan jantung, waktu adalah otot. Artinya, semakin banyak waktu yang terlewatkan, kerusakan otot jantung yang terjadi semakin luas,” ujar Staf Medik Rawat Intensif dan Kegawatan Kardiovaskular Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Jantung Nasional Harapan Kita Siska Suridanda Danny, di Jakarta, Senin (19/9/2022).
Ia mengatakan, 12 jam periode emas dalam penanganan serangan jantung harus bisa dimanfaatkan secara optimal. Deteksi dini sangat penting agar penanganan lebih lanjut bisa segera diberikan.
Dalam waktu 12 jam itu pula, tindakan untuk menangani serangan jantung sudah harus dilakukan. Serangan jantung umumnya disebabkan oleh adanya sumbatan pada pembuluh darah koroner atau pembuluh darah ke jantung. Karena itu, penanganan dilakukan untuk mengatasi penyumbatan yang terjadi. Sumbatan ini terjadi karena penyempitan akibat adanya plak di dinding pembuluh darah.
Siska mengatakan, terdapat dua intervensi yang bisa dilakukan untuk membuka sumbatan pada pembuluh darah, yakni dengan pemberian obat pengencer darah atau melalui intervensi koroner.
Pada dasarnya, penyumbatan pembuluh darah terjadi karena adanya gumpalan darah pada pembuluh darah koroner. Dengan pemberian obat pengencer diharapkan gumpalan darah dapat larut dan hancur sehingga aliran darah bisa kembali normal.
Pertolongan harus diberikan dalam jangka waktu kurang dari 12 jam pada pasien serangan jantung. Tentu lebih cepat lebih baik. Dalam serangan jantung, waktu adalah otot. Artinya, semakin banyak waktu yang terlewatkan, kerusakan otot jantung yang terjadi semakin luas. ( Siska Suridanda Danny)
Sementara, pada intervensi koroner bisa dilakukan dengan pemasangan balon atau pemasangan stent (pemasangan cincin jantung). Cara ini dilakukan untuk memperlancar aliran darah.
“Dua tindakan ini harus dikerjakan dalam waktu 12 jam sejak serangan muncul. Jika lewat dari itu, pemulihan akan kurang optimal. Risiko perburukan dan kematian juga bisa dicegah,” kata Siska.
Oleh sebab itu, kesadaran dalam deteksi dini amat diperlukan. Apabila ada kecurigaan terkait serangan jantung, sebaiknya segera memeriksakan diri ke rumah sakit. Sebagian besar pasien serangan jantung akan merasakan nyeri dada hebat. Biasanya, rasa nyeri ini akan menjalar ke bagian tubuh lain, seperti punggung, leher, dan rahang. Sekitar 80-90 persen tanda ini dialami oleh pasien serangan jantung.
Pada kasus lain, tanda dari serangan jantung adalah keluarnya keringat dingin, sesak napas, dan pingsan. Tanda-tanda tersebut bisa juga menjadi tanda dari penyakit lain, seperti penyakit asam lambung. Namun, kecurigaan pada serangan jantung sebaiknya tetap diperlukan agar tidak terlambat mendapatkan penanganan.
Untuk mendiagnosis serangan jantung, sejumlah cara perlu dilakukan. Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) atau rekam jantung dapat dijalankan untuk mengetahui penyebab dari nyeri jantung yang dialami oleh pasien.
Jika hasil yang dikeluarkan masih diragukan, pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan enzim jantung bisa dilakukan. Umumnya, kadar enzim pada jantung pada orang normal akan rendah. Namun, pada pasien dengan serangan jantung, kadar enzim akan meningkat secara signifikan.
Faktor risiko
Siska menuturkan, sumbatan pada pembuluh darah koroner bisa disebabkan karena terjadinya penumpukan lemak yang terjadi secara menahun. Itu akan membuat pembuluh darah tersumbat sehingga aliran darah menyempit. Apabila terdapat faktor pencetus, pembuluh darah akan tersumbat secara total sehingga tidak ada aliran darah ke otot jantung.
Pada kondisi penyempitan pembuluh darah akibat penumpukan lemak, pasien biasanya tidak mengalami gejala. Karena itu, setiap orang disarankan untuk melakukan pemeriksaan risiko serangan jantung secara rutin. Setidaknya pada masyarakat usia di atas 40 tahun, pemeriksaan bisa dilakukan satu kali dalam setahun. Itu terutama pada seseorang dengan faktor risiko.
Adapun faktor risiko dari serangan jantung, antara lain, merokok, hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi, serta memiliki riwayat keluarga dengan serangan jantung. Risiko perburukan hingga kematian semakin tinggi pada orang yang memiliki faktor risiko tersebut.
“Risiko serangan jantung juga akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia, terutama pada usia 40 tahun ke atas. Di Indonesia, rata-rata usia terjadi serangan jantung pada 55-65 tahun. Ini lebih muda dibanding dengan Amerika yakni sekitar 60-65 tahun dan Jepang 65-70 tahun,” kata Siska.
Wakil Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) Ade Meidian Ambari menambahkan, risiko serangan jantung saat ini semakin muda. Bahkan, ditemukan pasien serangan jantung pada usia 23 tahun.
“Gaya hidup yang paling berpengaruh pada tingginya risiko serangan jantung di masyarakat. Jika memang memiliki faktor genetik, risiko serangan jantung bisa jauh lebih rendah apabila menghindari rokok, mematikan tidak memiliki hipertensi dan diabetes, serta menghindari junk food,” ucapnya.
Ade mengatakan, semakin banyak masyarakat yang menjalankan gaya hidup yang tidak sehat turut meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular, termasuk jantung. Dari data Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi penyakit jantung koroner meningkat 1,5 persen dari 2013.