Perdagangan orang di Indonesia semakin hari semakin mengkhawatirkan. Bahkan, pada masa pandemi Covid-19 pun pengiriman pekerja migran nonprosedural terus berjalan. Aksi bersama menghentikan perdagangan orang dinantikan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
PANDU WIYOGA
Dua tersangka tindak pidana perdagangan orang dihadirkan di Markas Polda Kepulauan Riau, Senin (9/9/2019). Dalam operasi penangkapan itu, polisi menyelamatkan 31 perempuan korban perdagangan orang yang berasal dari enam provinsi di Sumatera dan Jawa.
JAKARTA, KOMPAS — Praktik perdagangan orang terjadi hampir di semua daerah Indonesia, dengan mayoritas korban perempuan dan anak-anak. Bahkan, di Nusa Tenggara Timur, setiap tahun lebih dari 100 pekerja migran dipulangkan dalam kondisi tidak bernyawa atau mengalami disabilitas.
Oleh karena itu, pemerintah dari pusat hingga ke daerah, juga jaringan masyarakat sipil dan lembaga keagamaan, hendaknya memberikan perhatian serius serta melakukan aksi bersama menghentikan praktik-praktik perdagangan orang. Semua pihak harus bergerak bersama, memastikan implementasi dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) benar-benar optimal.
Harapan ini disampaikan perwakilan Zero Human Trafficking Network (Z-HTN) ketika bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Senin (19/9/2022), di Kantor Kementerian Koordinator Polhukam, Jakarta. Menko Polhukam mewakili Presiden Joko Widodo untuk menerima rekomendasi dari jaringan masyarakat sipil tersebut.
”Kami mendorong kita semua untuk bekerja sama karena benar-benar Indonesia sudah darurat perdagangan orang,” ujar Pendeta Elga Sarapung, Direktur Institut Dialog Antar-Iman di Indonesia (DIAN/Interfidei) mewakili Z-HTN.
Elga hadir bersama beberapa perwakilan Z-HTN menyampaikan rekomendasi dari kegiatan lokakarya sosialiasi masalah perdagangan orang di Indonesia yang diselenggarakan DIAN/Interfidei dan Fahmina Institute pada akhir Juli 2022. Kegiatan tersebut diikuti pemimpin lembaga keagamaan dan penghayat kepercayaan, serta organisasi perempuan dan organisasi/lembaga kepemudaan dari lembaga agama dan penghayat kepercayaan.
Kegiatan itu juga menghadirkan perempuan penyintas perdagangan orang, mantan pekerja migran Indonesia (PMI), yang memberikan kesaksian atas kasus yang menimpanya. Dalam kesempatan tersebut, para relawan dari Nusa Tenggara Timur juga menyampaikan kesaksian saat beberapa tahun terakhir mengurus kargo jenazah PMI.
Selain optimalisasi UU TPPO, dalam rekomendasi yang dikirimkan kepada Presiden, masyarakat sipil juga meminta Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2021 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GTPP-TPPO) di daerah benar-benar dioptimalkan, dengan tindak lanjut peraturan gubernur/bupati/wali kota di daerah masing-masing.
”Kami meminta Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan presiden tentang justice collaborator untuk TPPO dan membentuk badan nasional penanggulangan TPPO,” kata Gabriel Goa dari Lembaga Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia.
Atas nama masyarakat sipil, Elga menyatakan persoalan perdagangan orang merupakan kejahatan kemanusiaan, tidak beradab, dan tidak manusiawi karena dilakukan secara sadar oleh sekelompok orang yang berada dalam jaringan mafia perdagangan orang. Karena itu, praktik perdagangan orang harus dihentikan dengan hukum yang adil, benar dan beradab, juga secara keamanan, politik, keadilan sosial, dan ekonomi, serta berbasis keadilan jender yang kuat.
Hampir setiap hari kami menerima jenazah dari Malaysia yang semua dokumennya, setelah kami telaah, ternyata nonprosedural.
Pendeta Emmy Sahertian, dari Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) mengungkapkan pengalamannya saat mengurus PMI asal NTT yang menjadi sebagian besar menjadi korban perdagangan orang yang pulang dalam peti jenazah.
”Mengapa kami mengangkat ini darurat perdagangan orang karena hampir tiap hari kami menerima jenazah dari Malaysia yang semua dokumennya, setelah kami telaah, ternyata nonprosedural. Bagi kami, ini ada kaitan dengan hak asasi manusia,” tutur Emmy menegaskan.
ABDULLAH FIKRI ASHRI
Carmi (kiri), mantan pekerja migran Indonesia, berfoto bersama keluarganya di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (5/2/2021). Carmi bekerja di Arab Saudi selama 31 tahun dan putus kontak dengan keluarga. Setelah kembali ke Cirebon, Carmi harus beradaptasi lagi.
Pemerintah beri perhatian
Menanggapi rekomendasi tersebut, Mahfud menegaskan pemerintah memberikan perhatian serius terhadap TPPO, bahkan dalam 10 hari terakhir berbagai kegiatan terkait TPPO dilakukan pemerintah.
Pada 9 September 2022, Presiden memimpin rapat terkait penanganan keimigrasian, salah satunya tentang TPPO. dilanjutkan pekan lalu, Rabu (14/9), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menggelar Rakornas GTTP-TPPO. Pada Kamis (15/9), Kementerian Luar Negeri kemudian menggelar rapat tentang TPPO dan Senin pagi Menko Polhukam mengundang pihak kepolisian untuk menindaklanjuti kasus-kasus yang dilaporkan.
Mahfud menegaskan, TPPO lebih berbahaya dari korupsi karena berkaitan dengan manusia. ”Data yang dimiliki oleh pemerintah justru jauh lebih banyak. Per 13 September 2022, data pekerja gelap yang diangkut ke luar negeri 4,5 juta orang,” ujar Mahfud seraya menyebutkan negara-negara yang menjadi tujuannya antara lain Italia, Saudi, Malaysia, Singapura, Turki, Hong Kong, Brunei Darussalam, dan Taiwan.
Dia mengakui ada persoalan dalam penanganan hukum terhadap mafia perdagangan orang dalam dan luar negeri karena sering tidak terpenuhinya unsur-unsur TPPO sehingga hanya dihukum beberapa bulan dan hartanya tidak disita. ”Ini masalah kemanusiaan. Memang sangat menyedihkan. Untuk itu, kami akan tindaklanjuti, dan itu perlu kerja sama dengan masyarakat,” katanya.
Selain bertemu Menko Polhukam, Elga dan perwakilan Z-HTN bertemu dengan Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati, bersama Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ratna Susianawati menyampaikan rekomendasi soal TPPO. Emmy Sahertian menjelaskan bahwa perempuan di NTT menjadi korban TPPO karena berbagai faktor.
”Kami berterima kasih atas informasi dan rekomendasi yang disampaikan. Pemerintah tidak bisa sendiri bekerja, mari kita bersama-sama mencegah dan menangani TPPO,” ujar Bintang Darmawati.