Kendalikan Konsumsi Minuman Berpemanis dengan Cukai
Kelompok masyarakat mendorong pemerintah mengenakan cukai bagi minuman berpemanis dalam kemasan. Ini untuk mengendalikan konsumsi MBDK yang relatif tinggi dan mencegah timbulnya penyakit tidak menular.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK di Indonesia relatif tinggi, yakni 1-6 kali per minggu. Hal ini memicu timbulnya penyakit tidak menular di masyarakat. Pengendalian konsumsi MBDK melalui penerapan cukai pun terus didorong oleh sejumlah pihak.
Menurut penelitian Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), salah satu alasan tingginya konsumsi MBDK adalah karena harganya terjangkau. Alasan lainnya adalah karena MBDK mudah didapat di toko terdekat. Iklan MBDK pun marak. Anak-anak Indonesia setidaknya terpapar iklan MBDK di televisi setiap 4 menit sekali.
Di sisi lain, tidak semua orang memahami dampak konsumsi MBDK. Survei CISDI yang dilakukan terhadap 6.200 orang di Indonesia menunjukkan, 70 persen responden tidak tahu batas aman konsumsi gula harian. Menurut Kementerian Kesehatan, batas aman konsumsi gula adalah 50 gram per hari.
”Butuh kebijakan yang cukup radikal untuk menurunkan tingkat konsumsi MBDK secara cepat, begitu pula angka prevalensi penyakit (tidak menular yang ditimbulkan),” kata Direktur Kebijakan CISDI Olivia Herlinda, di Jakarta, Sabtu (17/9/2022).
Konsumsi MBDK meningkatkan risiko obesitas dan penyakit tidak menular, seperti diabetes, penyakit jantung, penyakit ginjal, stroke, dan kanker. Padahal, tujuh dari sepuluh penyebab kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit tidak menular. Jika penyakit tidak menular terus meningkat, negara berpotensi rugi 4,47 triliun dollar AS dalam 15 tahun ke depan.
”Butuh biaya yang tidak sedikit untuk menangani penyakit tidak menular. Satu penyakit saja bisa menghabiskan anggaran hingga Rp 7 triliun,” ucap Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti.
Dokter spesialis anak, Kurniawan Satria Denta, menambahkan, 42,6 persen anak balita terpapar MBDK. Adapun 61,3 persen penduduk Indonesia berusia di atas 3 tahun mengonsumsi setidaknya sebotol MBDK dalam sehari. Konsumsi MBDK marak karena gula dapat membuat kecanduan.
”Padahal, semakin dini seseorang terpapar minuman berpemanis, semakin tinggi pula kerentanannya terhadap risiko obesitas, gangguan perilaku, gangguan cemas, diabetes, stroke, demensia, kanker, dan sebagainya,” ujarnya.
Semakin dini seseorang terpapar minuman berpemanis, semakin tinggi pula kerentanannya terhadap risiko obesitas, gangguan perilaku, gangguan cemas, diabetes, stroke, demensia, kanker, dan sebagainya.
20 persen
MBDK pun diusulkan untuk menjadi barang kena cukai di Indonesia demi melindungi konsumen. Tarif cukai yang diusulkan adalah 20 persen. Hal ini mengikuti model cukai MBDK di kawasan Amerika Latin. Olivia mengatakan, cukai 20 persen dapat menurunkan konsumsi MBDK hingga 24 persen.
Sejumlah negara telah menerapkan cukai yang berdampak ke turunnya konsumsi MBDK. Meksiko, misalnya, menerapkan cukai 10 persen sehingga konsumsi MBDK turun 19 persen. Amerika Serikat menerapkan cukai 20 persen dan konsumsi MBDK turun 19 persen.
”Kami juga mendorong kebijakan yang komprehensif. Jadi, tidak hanya minuman manis dari gula yang diatur, tetapi juga non-gula untuk mengantisipasi bahan substitusi gula,” kata Olivia.
Wacana penerapan MBDK disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 2020. Namun, wacana itu belum terwujud hingga kini. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, penerapan cukai MBDK sudah masuk Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2023.
”Hingga kini masih dibahas soal teknis pemungutan, cakupan (pengenaan cukai), hingga seberapa besar tarif cukainya. Kami juga melihat respons produsen dan konsumen. Diskusi soal isu ini akan diintensifkan, begitu pula komunikasi ke publik agar kita punya pemahaman sama tentang cukai MBDK,” tutur Febrio.
Cukai juga diharapkan mendorong kebijakan yang komprehensif untuk mengatur promosi, pemasaran, hingga produksi MBDK. Produsen diharapkan merumuskan ulang formula minuman yang mereka produksi.
Anak muda menggugat
Ratusan anak muda pun mendorong pemerintah memberlakukan cukai MBDK. Perwakilan komunitas Simpul Remaja yang berbasis di Maluku, Desi Rahmawaty, mengatakan, tidak semua anak muda di Indonesia menerima edukasi kesehatan, termasuk batas konsumsi gula harian. Sementara itu, distribusi MBDK begitu gencar.
”MBDK sudah masuk sampai pelosok, padahal listrik saja belum. Kami akan mendukung (cukai MBDK) dari level akar rumput, tetapi kami juga perlu regulasi dari pemerintah,” ucap Desi.
Aspirasi Desi dan ratusan pemuda lain disampaikan di Forum Young Indonesians (FYI) di Jakarta. Mereka juga menandatangani petisi daring yang mendesak pemerintah memberlakukan cukai MBDK. Ada lebih dari 1.000 orang yang telah menandatangani petisi.