Adaptasi Komunitas Tionghoa dengan Budaya Lokal Perkuat Persaudaraan
Orang-orang Tionghoa yang datang ke Nusantara sejak berabad-abad lalu beradaptasi dengan budaya lokal. Hal ini turut memperteguh persaudaraan di tengah kemajemukan bangsa.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Emigrasi orang-orang Tionghoa dari China daratan ke Nusantara sudah berlangsung sejak abad ke-16. Tidak hanya menetap, komunitas Tionghoa juga beradaptasi dengan budaya lokal yang memperkuat persaudaraan di tengah kemajemukan bangsa.
Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Herry Yogaswara mengatakan, perjumpaan budaya Tionghoa dengan budaya lokal di Tanah Air sudah sangat kuat. Wayang potehi yang berasal dari China, misalnya, menjadi seni pertunjukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
”Potehi merupakan wayang yang survive dari gempuran kebijakan Orde Baru. Sampai sekarang masih hidup (tradisinya). Ini salah satu obyek yang penting untuk diteliti,” ujarnya dalam bincang khazanah Komunitas Tionghoa di Nusantara: Sejarah, Agama, dan Adaptasi Kultural, Kamis (15/9/2022).
Komunitas Tionghoa mengalami diskriminasi pada masa Pemerintahan Orde Baru. Melalui Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, perayaan keagamaan dan adat Tionghoa tidak boleh dilakukan di muka umum.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Indonesia Tionghoa Candra Jap mengatakan, orang-orang Tionghoa yang datang ke Indonesia berasal dari beragam suku, di antaranya Hakka, Hainan, Hokkien, Hokchia, dan Tiochiu. Mereka umumnya terkonsentrasi di wilayah tenggara dan selatan China daratan.
”Ketika sampai di Indonesia, mereka beradaptasi dengan budaya dan tradisi lokal dan menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitar,” katanya.
Candra menuturkan, selama tidak ada tendensi untuk merendahkan, pihaknya tidak mempersoalkan penyebutan China atau Tionghoa. Sebab, komunitas Tionghoa sudah lama hidup rukun dengan warga lokal, bahkan sebelum Indonesia merdeka.
”Itulah seharusnya bagaimana kita di Indonesia menjalin dengan rasa cinta persaudaraan tanpa saling menyinggung atau menyakiti,” ucapnya.
Komunitas Tionghoa mengalami diskriminasi pada masa Pemerintahan Orde Baru. Melalui Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, perayaan keagamaan dan adat Tionghoa tidak boleh dilakukan di muka umum.
Adaptasi komunitas Tionghoa dengan budaya setempat memperkuat persaudaraan itu. Candra mencontohkan, komunitas Tionghoa di Jawa Barat sangat fasih berbahasa Sunda. Begitu juga yang tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur sangat lancar berbahasa Jawa.
”Sampai-sampai mereka lebih fasih berbahasa lokal daripada bahasa dan dialek Mandarin. Jadi, kami tetap orang Tionghoa, tetapi warga negara Indonesia,” ujarnya.
Relasi harmonis
Kepala Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban BRIN Wuri Handoko mengatakan, kedatangan orang-orang Tionghoa sejak berabad-abad lalu tidak terlepas dari aktivitas perdagangan. Apalagi, pada masa Dinasti Ming (1368-1644), perdagangan China mencapai puncak kejayaannya di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
”Berbicara Indonesia-Tionghoa sebenarnya membahas harmonisasi relasi sejarah peradaban yang multikultural. Orang-orang Tionghoa dari berbagai wilayah beradaptasi di Indonesia dan membentuk relasi,” ujarnya.
Wujud relasi itu tergambar dalam berbagai aspek, termasuk kebudayaan dan arsitektur. Wuri mencontohkan, sejumlah rumah ibadah di beberapa daerah menggunakan arsitektur Tionghoa.
Peneliti komunitas Tionghoa di Sulawesi Selatan, Risma Widiawati, mengatakan, kehidupan harmonis orang Tionghoa dengan masyarakat lokal di Kota Palopo, Sulsel, tidak terlepas dari mitologi I La Galigo. Dalam mitologi itu, putra raja, Sawerigading, menikahi perempuan dari China bernama We Cudai.
”Hal ini merekonstruksi cara-cara masyarakat Palopo tentang bagaimana mereka berelasi dengan orang Tionghoa,” katanya.