Hasnan Singodimayan Berkarya untuk Budaya Osing hingga Akhir Hayat
Hasnan dikenal sebagai guru dengan ilmu tanpa dasar untuk budaya Osing. Ia menjadi rujukan para peneliti, wartawan, tokoh budaya, hingga mahasiswa yang ingin mengetahui tentang Osing.
Oleh
SIWI YUNITA CAHYANINGRUM
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Hasnan Singodimayan, budayawan Banyuwangi, berpulang di usia ke-91. Hasnan dikenal sebagai sumber utama bagi para penimba ilmu budaya Osing. Pengetahuannya yang luas membuat dia dijuluki ”sumur tanpa dasar”. Di akhir usianya, ia bahkan masih aktif menulis cerpen berlatar budaya Osing.
Budaya Osing adalah subkultur masyarakat Jawa Timur, sebagaimana subkultur Arek, Pendalungan, Mataraman, Tengger, dan Madura. Masyarakatnya adalah mayoritas penduduk di daerah semenanjung timur Jatim, Kabupaten Banyuwangi.
Hasnan mengembuskan napas terakhir di kediamannya di Banyuwangi, Selasa (13/9/2022), pukul 21.00, setelah menderita sakit lambung sejak 2021. Jenazahnya lalu dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Singonegaran, Kecamatan Banyuwangi, Rabu (14/9) pukul 08.00.
Hasnan meninggalkan empat anak, yakni Buyung Pramunsyie, Bonang Prasunan, Rundung Prahara, dan Capung Prihatini. Istrinya, Sayu Masunah, dan putra keduanya, Bujang Pratiko, telah meninggal lebih dulu.
Semasa hidupnya, Hasnan membukukan banyak cerpen dan novel berlatar budaya Banyuwangi. Selain itu, ada pula ratusan karya tulis yang berisi tentang budaya Osing. Karyanya lantas diapresiasi negara. Salah satunya lewat Anugerah Kebudayaan Maestro Seni Tradisi 2017 dan Anugerah Sutasoma dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelumnya, ia mendapatkan penghargaan Gubernur Jatim bidang Budaya pada tahun 2003.
Hasnan yang lahir pada 17 Oktober 1931 mengawali karier sebagai wartawan Terompet Masyarakat selepas mondok dari Pesantren Gontor tahun 1950-an. Ia kemudian mengabdi sebagai pegawai negeri sipil di Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan di Banyuwangi. Namun, ia terus menulis. Salah satu novel yang terkenal adalah Suluk Muktazilah. Novel ini berisi renungannya tentang membangun Islam Indonesia dengan berakar pada Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), dua organisasi besar di Indonesia.
Selain itu, ada juga Kerudung Santet Gandrung, Niti Negara Bala Abangan, kumpulan artikel dalam antologi Enam Mata Banyuwangi, serta sederet karya tulis lainnya. Bahkan, selama sakit, ia masih menulis cerpen berjudul Warung Bathokan. Cerpen dalam bahasa Osing itu menceritakan tentang perjodohan dalam kultur budaya Osing.
Dia juga mendirikan Hasnan Singodimayan Centre, lembaga nonprofit bidang penelitian, pengkajian, dan pengembangan sosial-budaya Using Banyuwangi. Dari sana lahir ajang Bintang Pelajar Pencinta Sastra (BPPS) yang diikuti sastrawan muda. Ini sebagai cara dia menjaga kesinambungan dinamika budaya Osing. Ia juga pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Blambangan tahun 1980 dan aktif sebagai dewan pembina organisasi itu hingga akhir hayatnya.
Lewat kemampuannya, Hasnan lantas menjadi rujukan peneliti, wartawan, tokoh budaya, hingga mahasiswa yang ingin mengetahui tentang budaya Osing. Ia tak pelit berbagi ilmu. Rumahnya terbuka 24 jam. Hasnan justru senang berdiskusi berjam-jam tentang budaya yang ia geluti.
Kompas berkali-kali bertandang di rumahnya. Di ruang tamunya berbagai penghargaan yang pernah ia terima tidak ia pajang. Ia menyimpannya di ruang tengah.
”Dulu saya taruh di ruang tamu, tapi kok tak aman, juga bisa membuat saya pamer. Dan, pamer itu bisa jadi sombong. Sikap itu harus saya hindari karena sangat dibenci Allah SWT. Hanya Allah yang berhak menyandang al-mutakabbir (pemilik segala kebesaran). Sekarang saya simpan di ruang keluarga,” katanya kala itu.
Ia juga menyikapi berbagai tulisan yang menjurus pada penghinaan budaya Osing dengan elegan. Hasnan menolak membalasnya ke jalur hukum atau demonstrasi. Ia justru mengajak warga Osing menjawab dengan tulisan agar iklim dialog tetap berjalan dinamis.
Dengan keterbukaannya, ia pun memopulerkan budaya Osing di kancah nasional. Ia memperkenalkan bagaimana terbukanya tradisi Osing yang tecermin dari musik, tarian, hingga makanan. Namun, ia menolak apabila disebut pelestari Osing. ”Ada atau tak ada saya, budaya Osing tetap lestari dan berkembang. Saya hanya bagian secuil dari budaya Osing,” kata Hasnan semasa hidup.
Keterbukaan Hasnan membuat Budaya Osing menjadi lebih populer. ”Kegigihan berkarya dari beliau kami kagumi. Bahkan, saat sakit di akhir usianya, ia masih terus menulis,” kata Hasan Basri, Ketua Dewan Kesenian Blambangan.
Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani juga turut berduka cita. Hasnan disebutnya sebagai sosok yang dedikatif. Sepanjang hayatnya diabdikan untuk menjaga budaya Banyuwangi.
Meski dalam kondisi sakit, beliau masih antusias menceritakan mimpi-mimpinya dalam memajukan kebudayaan Banyuwangi,
kenang Ipuk
yang sempat menjengguk Hasnan pada 9 November 2021.
Mimpi-mimpi tersebut, imbuh Ipuk, sebagian akan menjadi pegangan Ipuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan soal kebudayaan.