Ketiadaan Pengakuan Masyarakat Adat Persulit Penerapan SVLK
Implementasi SVLK sulit diterapkan bila masyarakat adat belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Hal ini karena SVLK menekankan legalitas pengelolaan hutan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi sistem verifikasi legalitas kayu atau SVLK dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kelestarian hutan masyarakat adat, khususnya di wilayah Papua. Namun, implementasi SVLK dinilai sulit diterapkan apabila masyarakat adat belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah pusat.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi grup terfokus (FGD) tentang peluang pemanfaatan kayu bagi kesejahteraan dan kelestarian hutan masyarakat adat Papua secara hybrid, Rabu (7/9/2022). Diskusi ini pertemuan lanjutan dari tiga FGD sebelumnya yang dihadiri oleh perwakilan dari pemerintah, akademisi, masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, asosiasi pengusaha kayu, dan forum lembaga verifikasi legalitas kayu (LVLK).
Dinamisator Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Muhammad Ichwan mengemukakan, hasil diskusi dengan LVLK menyimpulkan, implementasi SVLK kemungkinan akan sulit diterapkan di Papua. Hal ini karena sampai saat ini banyak masyarakat adat di Papua yang belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah pusat.
Proses pengakuan hak atas hutan adat sesuai mandat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 berjalan sangat lambat.
”Terkait wacana SVLK dari hutan adat, forum lembaga sertifikasi mendorong untuk lebih dahulu diutamakan adanya suatu pengakuan atau penetapan. Setelah itu, baru kemudian melakukan inventarisasi potensi kayu dan bagaimana masyarakat adat dilatih,” ujarnya.
Menurut Ichwan, implementasi SVLK juga sulit dilakukan karena belum terdapat pedoman dan standar SVLK hutan adat di daerah otonom seperti Papua dan Papua Barat. Di sisi lain, pengelolaan kayu, khususnya di wilayah Papua, masih banyak yang tidak menerapkan SVLK.
Sementara saat berdiskusi dengan pihak asosiasi, Ichwan menyebut pengiriman kayu olahan di Papua masih menghadapi berbagai permasalahan. Permasalahan itu, antara lain, terkait dengan dokumen angkut yang tidak sesuai, bahan baku perizinan yang tidak sah, hingga adanya pihak yang memodali oknum masyarakat adat untuk membalak kayu ilegal.
Berdasarkan kesimpulan dari diskusi dengan berbagai pihak tersebut, upaya mengimplementasikan SVLK terlebih dahulu harus ada pengakuan terhadap masyarakat adat. Status hutan adat juga harus menjadi prioritas untuk dipercepat prosesnya melalui peraturan daerah atau peraturan gubernur guna memastikan kepastian legalitas pemanfaatannya.
Selain itu, diskusi juga merekomendasikan agar dilakukan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan untuk memfasilitasi masyarakat adat dalam pemanfaatan hasil hutan kayu. Di sisi lain, perlu juga dilakukan kajian lebih dalam guna melihat bagaimana masyarakat melakukan pemanfaatan hasil hutan.
Direktur Perkumpulan Lingkaran Pembaruan Desa dan Agraria (Karsa) Paramitha Iswari menyatakan, optimalisasi kayu sebagai komoditas dari hutan adat perlu persiapan khusus, salah satunya dengan inisiatif sertifikasi. SVLK juga diyakini dapat menjawab tuntutan perbaikan tata kelola kehutanan di Indonesia.
”Sebelum masuk ke implementasi SVLK, tentu harus dibenahi terlebih dahulu soal percepatan pengakuan dan optimalisasi hutan adat. Pengakuan terhadap masyarakat adat yang nanti bisa dilanjutkan dengan pengakuan hutan adat itu tidak hanya mencari komunitas adat yang masih memiliki kewenangan publik,” ucapnya.
Tantangan implementasi
Analis Kebijakan di Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Pramono mengakui, implementasi SVLK dalam konteks hutan adat masih menemui sejumlah tantangan. Tantangan yang dihadapi ini terutama pada aspek legalitas karena SVLK mensyaratkan pemenuhan hak atas tanah.
”Proses pengakuan hak atas hutan adat sesuai mandat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 berjalan sangat lambat. Jadi, perlu upaya percepatan untuk membangkitkan pengakuan atas hutan adat,” ujarnya.
Sejumlah upaya percepatan yang perlu dilakukan, menurut Sigit, adalah perbaikan dan harmonisasi peraturan perundangan serta membuat pengaturan mekanisme pengukuhan tentang keberadaan masyarakat adat. Di samping itu, perlu juga mengidentifikasi dan memetakan wilayah masyarakat adat sekaligus meningkatkan kapasitas mereka.
”Hal terpenting ialah perlu perlibatan pihak terkait secara intens, termasuk dari CSO (organisasi masyarakat sipil) untuk mendorong proses mediasi, peningkatan kapasitas, hingga membantu pemetaan partisipatif,” katanya.