Mengonsumsi kopi dinilai sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat. Tren ini agar dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas kopi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Karyawan mengecek biji kopi yang dipanggang di gerai Anomali Coffee Kemang, Jakarta, Jumat (20/3/2020). Gerai kopi ini telah mengurangi jumlah produksi pemanggangan biji kopi per harinya karena permintaan biji kopi yang menurun selama pandemi Covid-19.
BOGOR, KOMPAS — Kendati konsumsi kopi dalam negeri menunjukkan tren positif, hal ini belum disertai peningkatan kualitas kopi. Padahal, kopi dapat menjadi komoditas bernilai tinggi jika kualitasnya digenjot.
Hal ini mengemuka pada seminar yang berlangsung di Museum Kepresidenan RI Balai Kirti, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (30/8/2022). Seminar ini merupakan bagian dari pameran bertajuk ”Aroma Kopi @ Balai Kirti” yang diselenggarakan pada 30-31 Agustus 2022. Pembukaan pameran ini dihadiri antara lain oleh Kepala Museum Kepresidenan RI Balai Kirti Dewi Murwaningrum, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Pelaksana Tugas Kepala Museum Nasional Sri Hartini, Kepala Istana Kepresidenan Bogor Erwin Wicaksono, dan cucu Presiden Soekarno Puti Guntur Soekarno.
Pendiri Noozkav Kopi Indonesia, Daroe Handojo, mengatakan, kualitas kopi ditentukan dari seberapa teliti kopi diproses dan diolah menjadi produk jadi. Hal ini membuat kopi menjadi bernilai. Harganya pun relatif tinggi.
”Kopi mesti dihargai sebagai produk yang tidak instan. Ada proses untuk membuat kopi berkualitas. Jadi, nilai kopinya ada di penghargaan. Jangan melihat segelas kopi seharga Rp 100.000 itu mahal atau murah. Jika kita senang (karena kualitasnya), kopi itu jadi valuable (bernilai),” kata Daroe yang juga Wakil Ketua Asosiasi Kopi Spesial Indonesia (AKSI) 2017-2021 di Bogor, Selasa (30/8/2022).
Ia menambahkan, tidak masalah jika petani atau pengolah kopi mematok harga yang tinggi asalkan sepadan dengan kualitasnya. Di sisi lain, kualitas kopi produksi dalam negeri dinilai belum optimal. Beberapa faktor penyebabnya adalah pemupukan dan pemangkasan pohon kopi yang tidak tepat, serta penanaman vegetasi penaung pohon kopi tidak tepat.
Hal ini disayangkan mengingat pertumbuhan konsumsi kopi di Indonesia. Menurut data International Coffee Organization (ICO), Indonesia mengonsumsi 5 juta karung kopi berukuran 60 kilogram (kg) per karung pada 2020-2021. Artinya, konsumsi kopi pada periode itu 300 juta kg.
Sebelumnya, pada 2019-2020, Indonesia mengonsumsi 4,8 juta karung kopi berukuran 60 kilogram (kg) per karung, atau lebih dari 288 juta kg. Data ICO pun menunjukkan bahwa konsumsi kopi dalam negeri tumbuh sejak 1990. Rata-rata pertumbuhannya 5,16 persen per tahun.
”Di Papua, misalnya, ada yang menghargai 1 kg kopi Rp 250.000. Saya bilang bahwa itu tidak apa-apa. Harganya jangan diturunkan. Tapi, kualitasnya mesti dinaikkan,” kata Daroe. ”Kita harus mulai memikirkan bagaimana memproduksi kopi dari segi kualitas, bukan kuantitas.”
Selain kualitas, nilai kopi pun dapat ditingkatkan melalui narasi. Misalnya, narasi bahwa kopi dibudidayakan dengan praktik perkebunan ramah lingkungan, narasi sejarah kopi, hingga narasi tentang cita rasa kopi yang dipengaruhi kondisi geografis. Adapun kaum muda masa kini punya kecenderungan mengonsumsi barang dengan narasi yang sesuai visi hidupnya.
Kopi bernilai tinggi memang tidak terjangkau buat semua kalangan pasar. Namun, menurut Daroe, celah pasar kopi bernilai tinggi tetap ada dan berpotensi tumbuh.
”Segmentasi pasarnya perlu diperluas dengan memberi pengetahuan ke konsumen bahwa membuat kopi itu tidak mudah. Di sisi lain, kita perlu melihat bahwa konsumsi kopi saat ini belum sampai di tingkat penghargaan. Orang masih mengonsumsi kopi karena kebutuhan,” ucapnya.
Pelaksana Tugas Kepala Museum Nasional Sri Hartini menambahkan, potensi kopi Indonesia masih dapat dieksplorasi. Selain untuk minuman, kopi dapat dimanfaatkan untuk produk kecantikan, seperti lulur, masker wajah, dan krim wajah.
Sementara itu, inovator mesin kopi dari Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Irawan Halim, menilai bahwa petani kopi mesti belajar mengolah komoditasnya. Ini untuk meningkatkan nilai tambah kopi. Namun, tidak semua petani paham cara mengolah kopi. Itu sebabnya dia membuat mesin pemanggang biji kopi otomatis.
”Banyak orang bingung dengan alat pemanggang biji kopi karena punya banyak tombol. Mesin ini hanya perlu dinyalakan dengan satu tombol, lalu putarannya bisa disesuaikan sendiri,” katanya.
Mesin itu masih dalam proses desain. Mesin yang direncanakan dihargai sekitar Rp 3 juta itu akan diproduksi pada Oktober 2022. Untuk saat ini, kapasitas mesin pemanggang biji kopi tersebut baru 50-70 gram. Kapasitas mesin akan ditambah seiring waktu. Selain mesin pemanggang biji kopi, ia juga membuat mesin steamer susu dan mesin pembuat espreso yang masing-masing dihargai Rp 1,8 juta dan Rp 4,6 juta.