Ketua AIPI: Evaluasi Peleburan Lembaga Riset di Indonesia
AIPI menilai peleburan lembaga penelitian ke dalam BRIN menyebabkan kemunduran sains di Indonesia. Perlu evaluasi agar kerusakan yang terjadi tidak semakin parah.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F01%2F15%2Fb887cd8c-f0dd-49f3-b1c7-fa0dc04082d2_jpg.jpg)
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Satryo Soemantri Brodjonegoro
JAKARTA, KOMPAS — Peleburan lembaga penelitian ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional dinilai telah menyebabkan kemunduran sains di Indonesia. Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Satryo Soemantri Brodjonegoro meminta dilakukan evaluasi agar kerusakan yang telah terjadi tidak semakin parah.
”Sejak awal AIPI sudah mengingatkan bahwa peleburan lembaga riset yang memiliki identitas berbeda-beda akan memicu masalah. Setelah setahun ini, kita bisa melihat dampaknya,” kata Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro, Kamis (11/8/2022).
Menurut Satryo, BRIN telah melakukan perubahan drastis dan menghilangkan identitas lembaga riset yang sebagian sudah berjalan dengan baik. ”Lembaga-lembaga ini sudah puluhan tahun, masing-masing sudah punya kultur kerja. Tiba-tiba dilebur dan dihilangkan identitasnya dengan fungsi dan kegiatannya berbeda sekali,” katanya.
Baca juga: Membangun Ekosistem Riset Butuh Waktu Panjang
Dia juga mengingatkan agar BRIN tidak menjadi lembaga superbodi karena akan memperpanjang rantai birokrasi. Di negara maju yang risetnya bagus justru melakukan desentralisasi sehingga setiap lembaga riset punya kekuatan dan bisa meneliti dengan hasil maksimal. ”Dari segi kendali, akan sulit memberdayakan dan mengembangkan sekian ratus ribu peneliti dalam satu lembaga,” katanya.
Daripada melebur berbagai lembaga ini, Satryo menyarankan fungsi koordinatif. Dia juga mengkritik pemusatan fasilitas riset, yang menyebabkan hilangnya sumber daya peneliti di daerah, terutama di kawasan Indonesia timur. Seperti diberitakan sebelumnya, terjadi brain drain dengan kepergian para peneliti dari Papua dan juga ditariknya fasilitas Pusat Riset Laut Dalam di Ambon.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F10%2F2ecff4c4-c4d7-4ab4-bfb0-2d3367eb76f1_jpg.jpg)
Hanggar Hankam, di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Tangerang Selatan, yang sebelumnya menjadi tempat uji struktur pesawat nirawak dan berbagai kegiatan riset kedirgantaraan ini terbengkalai dan sepi, Jumat (5/8/2022). Sejak bergabung dengan BRIN, proyek Drone MALE Kombatan telah terhambat, sebagaimana program riset strategis nasional lain, termasuk vaksin Merah Putih.
”Kalau masih mungkin, sebaiknya peralatan dikembalikan ke pusat-pusat riset yang ada, termasuk di daerah. Justru, untuk pemerataan sumber daya riset, pusat riset di daerah harus diperkuat dengan diberi dana dan akses peralatan,” katanya.
Menurut Satryo, daerah seperti Papua yang sudah telanjur ditinggalkan peneliti ini harus segera dicarikan solusi dengan mencari peneliti lokal sebagai pengganti walaupun prosesnya menjadi tidak mudah. ”Pusat-pusat riset di daerah dan sumber dayanya harusnya diperkuat, termasuk diberi kemudahan dana dan akses peralatan, jangan semua dipusatkan. Ini kemunduran kalau dipusatkan,” kata Satryo.
Baca juga: Ketika Peneliti Memilih Pulang Kampung
Satryo mengatakan, selaku Ketua AIPI sudah mengirim surat resmi ke Presiden Joko Widodo untuk memberikan masukan agar ekosistem riset di Indonesia membaik, bukan justru mengalami kemunduran seperti saat ini. ”Jika tidak ada evaluasi, saya khawatir ini kemunduran semakin jauh dan demotivasi yang dialami peneliti semakin dalam. Untuk mengembalikan, tidak akan mudah,” katanya.
Harapan adanya evaluasi integrasi lembaga riset ke dalam BRIN ini juga disampaikan peneliti Pusat Riset Perilaku dan Ekonomi Sirkular, BRIN, Maxensius Tri Sambodo. Melalui Masyarakat Pemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MPI), Maxensius juga telah menyampaikan temuan mengenai sejumlah masalah setelah integrasi BRIN ke DPR dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Dalam dokumen tertulis yang dibuat MPI, setidaknya ada lima masalah utama yang ditemukan MPI, yaitu manajemen transisi dan birokrasi yang buruk yang menyebabkan pemborosan aset, sumber daya manusia, hingga reputasi lembaga yang sudah lama terbangun. Masalah kedua adalah adanya sentralisasi dan birokrasi yang semakin rumit, yang menyebabkan ekosistem riset justru memburuk.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F11%2F0d674e44-87fe-4092-88e8-c72844309a11_jpg.jpg)
Sejumlah alat utama sistem persenjataan (alutsista) hasil penelitian dan pengembangan sejumlah institusi militer dan sipil dipamerkan dalam Pekan Litbang Pertahanan 2022 di Badan Litbang Kementerian Pertahanan, Jakarta, Kamis (11/8/2022). Pameran yang berlangsung hingga Jumat (12/8/2022) ini diikuti 40 institusi yang memamerkan hasil penelitiannya di bidang industri pertahanan. Pameran ini bertujuan untuk mengenalkan potensi dan sumber daya alutsista hasil pengembangan industri di dalam negeri.
Masalah ketiga, BRIN dinilai mengabaikan program strategis nasional yang sebelumnya tengah dikerjakan oleh sejumlah lembaga riset yang kemudian dilebur. Beberapa riset, seperti vaksin Merah Putih dan Drone MALE Kombatan, saat ini terhambat.
Sementara masalah keempat skema program BRIN dinilai tanpa visi, misi, arah, dan target yang jelas. Hal ini terjadi karena hingga saat ini BRIN belum memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga (Renstra-KL) yang telah disahkan. Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, setiap lembaga wajib memiliki Renstra-KL yang disetujui oleh Bappenas.
Ketiadaan Renstra-KL, dinilai MPI, berdampak pada manajemen kinerja pegawai BRIN. Hal ini, di antaranya, menyebabkan pegawai tidak mempunyai tugas kedinasan secara definitif sesuai peraturan perundangan yang menjadi temuan Ombudsman sebelumnya, banyak pegawai BRIN menganggur.
Baca juga: Rapor Merah Ekosistem Riset di Indonesia
Sementara masalah kelima terjadinya pelemahan visi dan penyelenggaraan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini karena riset di BRIN lebih diorientasikan untuk menghasilkan karya tulis ilmiah, dengan mengabaikan peran-peran lain yang selama ini telah dijalankan lembaga yang ada.
Tanggapan BRIN
Menanggapi kritik soal manajemen sumber daya manusia setelah peleburan lembaga riset kementerian, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengatakan, mereka akan difokuskan untuk melakukan berbagai tugas dan fungsi riset atau penelitian. Sementara tugas dan fungsi lainnya seperti penyuluhan dilakukan kementerian di bidang tersebut.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F05%2F17%2F20210511TOK13_1621218196_jpg.jpg)
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko
”Pada saat melakukan integrasi SDM, kami tidak pernah memaksa untuk bergabung ke dalam BRIN. Setiap pegawai negeri sipil yang tadinya berada di unit penelitian dan pengembangan di kementerian/lembaga harus membuat pernyataan di atas materai untuk memilih. Jika sudah pindah, mereka harus mengikuti tugas dan fungsi di BRIN, yaitu melakukan riset dan bukan penyuluhan,” ucapnya.
Ia pun menyebutkan penelitian di negara mana pun dilakukan terpusat. Handoko mengatakan setiap lokasi harus menjadi pusat riset di satu bidang, seperti bioindustri laut di Nusa Tenggara Barat. Laboratorium terkait hal itu dibangun di sana.
”Jadi bukan jawasentris. Karena orang di Jawa yang mau riset (bioindustri laut) ya ke NTB itu,” katanya.
Ia pun menegaskan tidak akan membangun laboratorium yang sama di dua tempat. Hal itu terkait biaya pembangunan, infrastruktur, dan perawatan yang mahal serta penyediaan sumber daya manusia pengelolanya.
Baca juga: BRIN Fokus pada Pangan dan Energi
Handoko pun menepis isu sentralisasi riset yang dikhawatirkan bisa berdampak pada kemunduran pemerataan pengetahuan maupun peneliti. Ia menyatakan riset bertujuan untuk menciptakan inovasi baru dan bukan pemerataan pengetahuan.
"Proses pemerataan pengetahuan strateginya berbeda dan cukup dilakukan oleh perguruan tinggi. Namun, BRIN juga mendukung perguruan tinggi dengan infrastuktur dan hibah riset," kata dia.
Handoko pun tak mempermasalahkan para periset di daerah yang belum mau pindah. Ia mendorong mereka berkolaborasi dengan perguruan tinggi. Akan tetapi, bila mereka akan melakukan riset dan membutuhkan laboratorium terpaksa harus ke pusat.
Mantan Kepala LIPI tersebut juga menepis bahwa terjadi brain drain. Ia menyebut malah terjadi reverse brain drain. Dalam beberapa tahun ini, pihaknya mendatangkan ratusan diaspora. Agar para diaspora itu betah meriset di Indonesia, BRIN menciptakan sistem pendukung agar mereka bisa melanjutkan ketertarikan (passion) bidang riset masing-masing.