Kepala BRIN Bicara Soal Kendala Riset Strategis Nasional
Sejumlah riset, mulai dari Drone MALE Kombatan hingga vaksin Merah Putih, di BRIN tersendat. Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengatakan, ada sejumlah kendala, di antaranya mekanisme pengembangan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F11%2F4e6ad4fd-bbce-4f28-ac6f-37277e8d3126_jpeg.jpg)
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko saat berbincang dengan Kompas di Kantor BRIN, Kamis (11/8/2022).
Satu tahun setelah peleburan sejumlah lembaga riset ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN, dilaporkan beberapa program strategis riset nasional tersendat dan terancam terbengkalai. Di sisi lain, integrasi sumber daya manusia juga dinilai belum membuat ekosistem riset semakin membaik.
Dalam wawancara khusus bersama Kompas pada Kamis (11/8/2021) di Kantor BRIN Jalan MH Thamrin, Jakarta, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menepis anggapan bahwa proyek strategis riset nasional tersebut tersendat karena faktor peleburan BRIN. Pernyataan lengkap Handoko terkait kondisi sejumlah proyek strategis riset nasional hingga integrasi SDM di BRIN terangkum dalam kutipan wawancara berikut.
Beberapa proyek strategis riset nasional dilaporkan tersendat. Dari catatan BRIN, apa saja program riset yang tersendat?
Sejak pembentukan BRIN tahun lalu, semua aktivitas riset terus berjalan sampai akhir tahun. Namun, kami melakukan evaluasi semua program, termasuk proyek strategis nasional (PSN) riset. Terdapat lima PSN riset, yaitu Pesawat Udara Nirawak (PUNA) atau Drone MALE Kombatan, teknologi garam industri, teknologi pengemasan makanan, pesawat N219 Amfibi, dan katalis Merah Putih.
Secara khusus, dari evaluasi program riset ini, kami menyoroti pengembangan PUNA MALE, teknologi garam industri, dan pesawat N219 Amfibi. Pada saat evaluasi, terdapat beberapa hal yang ditemukan dalam pengembangan riset tersebut.
Kenapa pengembangan riset tersebut mengalami kendala?
Pertama, untuk PUNA MALE terdapat beberapa masalah teknis serta desain secara keseluruhan. Basis pengembangan PUNA MALE itu menggunakan komponen eksisting dari mitra luar negeri, terutama teknologi kunci mission system. Namun, mitra luar negeri juga tidak memiliki jam terbang membuat teknologi ini dalam skala besar.
Jadi, bila skema pengembangan ini dilanjutkan, kami membayar mitra luar negeri tersebut dan mereka memasang teknologinya di Indonesia. Namun, mereka juga tidak mau sistem teknologi kunci tersebut dibuka oleh periset BRIN. Ini sama saja BRIN memberikan anggaran untuk riset dan pengembangan mereka yang nilainya hampir Rp 120 miliar.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F11%2F0e0fafed-c2d9-4022-83f4-7c73cdb59898_jpeg.jpg)
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko, Kamis (11/8/2022).
Akhirnya kami memutuskan riset untuk teknologi kunci harus diperkuat agar dapat property rights (hak atas kepemilikan). Ini dilakukan agar kita tidak hanya bisa membuat teknologi, tetapi juga mengembangkan riset yang kompetitif dan ada diferensiasi.
Kedua, untuk pengembangan teknologi garam industri bertujuan untuk memproses garam rakyat yang ada di tambak menjadi standar industri. Teknologi ini mengambil basis desain dari manufaktur di China, tetapi implementasi pengembangan di sini kurang dalam aspek modifikasi. Proses menghilangkan kadar mangan yang tinggi dalam garam kita juga membutuhkan biaya yang sangat tinggi.
Baca juga: Ketika Peneliti Memilih Pulang Kampung
Kemudian untuk pengembangan N219 Amfibi sebenarnya masih dilanjutkan karena pasarnya jelas dan potensi hilirisasinya tinggi. Namun, model bisnis dengan mitra diubah karena sejujurnya kami tidak memiliki banyak riset dan hanya memberikan kontrak ke badan usaha milik negara (BUMN) dalam bentuk pendanaan murni.
Jadi, seharusnya BUMN yang ingin mengembangkan produk teknologi harus dilakukan bersama sehingga peneliti BRIN akan memiliki paten dari proses pengembangan ini. Semua proses pengembangan akan digratiskan, tetapi bila berhasil kami harus mendapat lisensi.
Mekanisme ini diberlakukan untuk program riset dan pengembangan di semua BUMN sehingga ekosistem riset akan menjadi lebih sehat. Relasi ini juga akan menjadi bisnis ke bisnis dan bukan sekadar uang pemerintah masuk ke BUMN.
Jadi, selama ini mayoritas pengembangan teknologi dilakukan dengan sistem membeli dan membayar?
Benar, mayoritas pengembangan inovasi teknologi kita yang terjadi seperti itu. Inilah yang membuat produk riset kita tidak jadi apa-apa. Padahal, sebenarnya tujuan kita bukan membuat barang, melainkan teknologi kunci untuk semua alat.
Jika teknologi kunci sudah dikuasai, nantinya kita bisa membuat lisensi yang murah karena dalam proses pengembangannya sudah didanai oleh negara. Jadi, sistem ini seharusnya bisa membuat ekosistem riset bisa lebih kompetitif.
Bagaimana dengan riset lainnya yang tidak masuk PSN tetapi dilaporkan tersendat seperti teknologi sistem deteksi dini tsunami (Ina-TEWS)?
Ina-TEWS adalah proyek teknologi deteksi tsunami berbasis pada sensor yang dipasang di laut. Anggaran yang paling mahal dalam pengembangan ini yaitu untuk pengadaan kabel laut. Tahun 2020, permintaan anggaran untuk pengadaan ini mencapai Rp 1 triliun.
Setelah dilakukan evaluasi, teknologi ini baru bisa berfungsi kalau kita memahami mekanisme bencana tsunami. Selama ini, umumnya orang baru mengetahui penyebab tsunami karena gempa tektonik di laut. Sementara kejadian tsunami akibat runtuhan atau longsor dari tebing, seperti di Selat Sunda, Banten, baru dipahami orang-orang kebencanaan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F04%2F22%2F08dd8228-067b-4dec-82bd-8dffb468d2d4_jpg.jpg)
Gedung Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Jakarta Selatan, Senin (18/4/2022).
Jadi, meletakkan sensor untuk mengetahui tsunami terlebih dahulu harus mengetahui titik-titik potensi atau pemicu terjadinya tsunami, termasuk mekanisme yang baru diketahui. Namun, selama ini kita belum memiliki pemetaan titik-titik pemicu terjadinya tsunami. Oleh karena itu, pengembangan Ina-TEWS dengan biaya yang besar akan sia-sia.
Baca juga: Membangun Ekosistem Riset Butuh Waktu Panjang
Sementara dari tim kebencanaan menyampaikan bahwa mereka belum bisa memetakan titik pemicu tsunami ini. Jadi, bila belum bisa dipetakan, pengadaan Ina-TEWS jangan dilakukan terlebih dahulu tetapi untuk aktivitas riset bisa terus dilanjutkan.
Ada laporan pengembangan vaksin Merah Putih juga tersendat. Apa kendalanya?
Vaksin Merah Putih yang dikembangkan BRIN atau Eijkman sampai Oktober 2020 itu masih berkutat dengan menaikkan yield dari bibit vaksin, tetapi pada Februari-April 2021 ini sudah melampaui yang ditetapkan. Hasil ini kemudian diserahkan ke Biofarma untuk kemudian dilakukan uji praklinis hingga uji klinis.
Namun, untuk masuk ke uji praklinis dan klinis ini perlu produksi vaksin yang terstandar dan ini hanya bisa dilakukan oleh industri karena menggunakan alat produksi mereka. Dalam aspek ini, kami belum sepenuhnya sepakat dengan Biofarma terkait pembiayaan. Kami memahami bahwa Biofarma tidak mudah melakukannya karena mereka harus menghentikan produksi lainnya dan ini sangat menghabiskan biaya.
Oleh karena itu, BRIN harus memiliki alat produksi sendiri guna membantu industri minimal untuk uji produksi terbatas. Fasilitas inilah yang sedang dibangun di Cibinong, Jawa Barat.
Jadi bisa disimpulkan, riset yang tersendat ini bukan karena peleburan BRIN?
Tidak ada hubungannya peleburan BRIN dengan riset yang terkendala karena semuanya program riset kami evaluasi. Ini perlu dievaluasi karena tidak bisa hanya atas nama riset lalu kita menyampingkan akuntabilitas. Jadi, dalam hal ini akuntabilitas saintifik minimal harus ada agar proyek riset bisa dipertanggungjawabkan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F06%2F02%2F3cd2462b-2607-4084-9169-5820bb5d66ab_jpg.jpg)
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membuat purwa rupa masker kain desinfektor lapis tembaga anti Covid-19 di Laboratorium Pusat Penelitian Fisika LIPI, Puspiptek, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (2/6/2020).
Setelah peleburan, beberapa pegawai Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) ada meninggalkan tempat penelitiannya menyusul kebijakan peneliti BRIN yang bisa kembali ke tempat tinggalnya. Apa kebijakan ini berdampak bagi lokasi yang ditinggalkan karena peneliti juga menjadi pendamping masyarakat?
BPTP yang bagian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian memang memiliki tugas dan fungsi sebagai periset dan penyuluh. Namun, di BRIN, periset dan penyuluh ada tugas tersendiri. Saat melakukan integrasi SDM, kami juga tidak pernah memaksa mereka masuk ke BRIN.
Baca juga: Rapor Merah Ekosistem Riset di Indonesia
Setiap pegawai negeri sipil (PNS) yang tadinya ada di unit litbang kementerian/lembaga harus membuat pernyataan di atas meterai untuk memilih ke BRIN atau tetap di lembaga terdahulu. Ini dilakukan untuk menjaring SDM yang berkomitmen. Bila memilih bergabung, mereka harus ikut tugas dan fungsi di BRIN, yaitu melakukan riset. Sementara untuk penyuluhan itu merupakan tugas dari Kementerian Pertanian.
Apakah kebijakan ini akan membuat daerah tidak memiliki periset andal?
Riset itu bertujuan untuk menciptakan inovasi baru dan bukan pemerataan pengetahuan. Sementara proses pemerataan pengetahuan strateginya berbeda dan cukup dilakukan oleh perguruan tinggi. Namun, BRIN juga mendukung perguruan tinggi dengan infrastuktur dan hibah riset.
Para periset di daerah yang belum mau pindah juga tidak masalah. Kami dorong mereka melakukan kolaborasi dengan perguruan tinggi. Namun, bila akan melakukan riset dan membutuhkan laboratorium, mereka terpaksa harus ke pusat. Jadi, setiap lokasi harus menjadi pusat riset di satu bidang.
Bagaimana dengan peneliti BRIN yang dulu merupakan perekayasa? Apakah mereka tetap harus membuat karya tulis ilmiah?
Riset itu ranahnya sangat luas dan orientasinya membuat kebaruan. Invensi ini dibuktikan dengan membuat karya tulis untuk saintifik. Sementara yang aplikatif mereka membuat paten. Artinya, pihak yang mengklaim hasil riset itu bukan diri sendiri, melainkan harus ada pengakuan dari komunitas atau pihak lain.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F08%2F30%2Fb9300174-1a44-4ce5-ba46-a169abd5d512_jpg.jpg)
Laboratorium bergerak biosafety level 2 yang diparkir di halaman Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Banten, Minggu (30/8/2020).
Jadi, terpaksa tugas riset ini kami pisahkan agar tidak ada klaim periset dari diri sendiri. Saat ini periset di BRIN harus memiliki output bisa jurnal, paten, atau hak cipta dan mereka harus bergabung dengan organisasi riset. Namun, bila mereka ingin tugas diseminasi, BRIN juga memiliki kedeputian, seperti memfasilitasi atau mencari mitra industri.
Dengan perubahan ini, secara otomatis ekosistem riset akan mulai dari awal kembali?
Menurut saya, ekosistem kita belum pernah ada. Jadi, yang terbentuk selama ini bukan ekosistem riset yang seharusnya karena periset bercampur menjadi penyuluh. Ini bisa ditunjukkan dengan jumlah paten yang kita hasilkan masih sangat rendah.
Kapan ekosistem riset ini bisa terbentuk dengan kuat?
Saat ini sedang transisi fundamental jadi sistem harus dari atas ke bawah. Terpenting, kami tidak boleh memiliki agenda pribadi. Pengalaman saya di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), proses ini tidak membutuhkan waktu satu tahun.