Benahi Kendala Pemajuan Riset
Sejumlah peneliti yang baru bergabung dengan BRIN melihat peluang untuk melakukan riset yang kompetitif walaupun ada sejumlah catatan kritis. Sementara, peneliti senior banyak yang merasakan ekosistem riset memburuk.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F10%2F2ecff4c4-c4d7-4ab4-bfb0-2d3367eb76f1_jpg.jpg)
Hanggar Hankam di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Tangerang Selatan, Banten, yang sebelumnya menjadi tempat uji struktur pesasat nirawak dan berbagai kegiatan riset kedirgantaraan, ini terbengkalai dan sepi, Jumat (5/8/2022). Sejak bergabung dengan BRIN, proyek Drone MALE Kombatan telah terhambat sebagaimana program riset strategis nasional lain, termasuk vaksin Merah Putih.
JAKARTA, KOMPAS — Integrasi lembaga penelitian di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional yang dilakukan dengan pemusatan manajemen, anggaran, serta sumber daya manusia memicu pro dan kontra di kalangan peneliti. Perlu pembenahan agar integrasi kelembagaan ini tidak justru menghambat pemajuan riset di Indonesia.
Kompas mewawancarai sejumlah peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dari berbagai bidang dan posisi, untuk menggambarkan situasi yang mereka hadapi pascaintegrasi kelembagaan. Wawancara meliputi ekosistem riset, pendanaan, serta mekanisme kerja, dirangkum pada Kamis (11/8/2022).
Sejumlah peneliti yang baru bergabung dengan BRIN cenderung memiliki ekspektasi positif dan melihat peluang untuk melakukan riset yang kompetitif walaupun ada sejumlah catatan kritis. Sementara, para peneliti senior kebanyakan pesimistis dan merasakan ekosistem dan birokrasi riset yang memburuk.
Rahma Hanifa, peneliti muda dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi yang baru bergabung dengan BRIN pada Desember 2021, mengatakan, ia merasa lebih terpacu dan termotivasi untuk meneliti karena ada target output paper atau karya tulis ilmiah. ”Sebagai peneliti baru juga bisa mengajukan proposal sebagai PI (principal investigator),” kata Rahma, yang sebelumnya menjadi periset di salah satu kampus.
Saat masih di bawah manajemen LIPI, di dalam satu kelompok riset biasanya ada satu tenaga administrasi non-peneliti, sehingga para peneliti bisa lebih fokus pada substansi penelitiannya.
Selain itu, tambah dia, penggabungan kelembagaan membuatnya bisa bekerja sama dengan para peneliti dan perekayasa dari berbagai lembaga lain yang memiliki minat sama. ”Karena peneliti dan perekayasa bisa bareng, terbangun diskusi rutin untuk riset dan mencari hal baru,” katanya.
Semeidi Husrin, peneliti di Pusat Riset Kebencanaan Geologi-BRIN, yang sebelumnya menjadi peneliti di Litbang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), berpendapat, mekanisme pengajuan proposal riset mendorongnya menjadi lebih kompetitif. ”Peneliti akan didorong bekerja keras karena mendapatkan uang tidak gampang. Sebelumnya (saat di KKP) dana riset dibagi-dibagi. Gagal atau berhasil sama saja, dapat lagi tahun berikutnya,” katanya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F01%2F25%2Ff95bdcf9-a72c-4b6c-a001-4ec3ab342be0_jpg.jpg)
Sejumlah peneliti mengecek spesimen dalam proyek Kolaborasi Riset Jerman-Indonesia CRC990-EFForTS, 30 Desember 2021 , di Universitas Jambi. Riset kolaboratif itu melibatkan IPB, Universitas Jambi, Universitas Tadulako, dan Universitas Gottingen.
Periset dari Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan BRIN, Athanasia Amanda Septevani, mengakui jika perubahan yang terjadi dalam ekosistem riset saat ini bukan hal yang mudah untuk diterima. ”Namun, sebagai peneliti yang juga sebagai pegawai negeri sipil kita sudah harus siap dengan perubahan. Hanya perubahan yang saat ini terjadi tidak mudah untuk diterima dan juga tidak mudah untuk diaplikasikan. Butuh waktu untuk adaptasi,” katanya.
Perubahan yang paling nyata dirasakan yakni pada aspek organisasi dan mekanisme pendanaan riset. Setelah adanya integrasi lembaga riset ke dalam BRIN, tidak ada lagi sekat antarlembaga riset, terutama antara empat lembaga pemerintah nonkementerian, seperti Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
”Peleburan ini tentu membuat periset harus keluar dari zona nyaman. Budaya kolaborasi tanpa batas pun akhirnya harus berjalan. Menurut saya, ini justru jadi momentum yang baik bagi periset untuk mengutamakan pengembangan riset yang terbuka,” katanya yang sebelumnya peneliti di Pusat Penelitian Kimia LIPI.
Administrasi ruwet
Sekalipun cenderung melihat adanya sisi positif dari iklim kerja di BRIN, mereka juga merasakan adanya sejumlah kendala dalam menjalankan penelitian. ”Kendala utama adalah administrasi yang harus diurus sendiri oleh peneliti. Tidak boleh ada orang keuangan atau admin di tim peneliti karena semua dipusatkan sehingga jadi ribet,” kata Rahma.
Baca juga: Membangun Ekosistem Riset Butuh Waktu Panjang
Kendala berikutnya, satu peneliti dibatasi dua proposal penelitian. Selain itu, sering ada perubahan aturan yang tiba-tiba sehingga banyak persiapan dan usulan riset yang tidak berjalan optimal. ”Masalah lainnya, ternyata pendanaan internasional sulit masuk di BRIN. Aturan dari donor harus disesuaikan lagi ke aturan BRIN. Jadi bisa jadi ada komponen yang sebenarnya dari donor bisa, tetapi jadi hilang begitu masuk BRIN, demikian sebaliknya,” katanya.
Athanasia mengatakan, berbagai kendala masih ditemui dalam masa transisi integrasi ke dalam BRIN. Penyesuaian pun masih harus dilakukan. Hal ini termasuk dalam proses pendanaan riset. Sebelumnya, setiap pusat penelitian sudah memiliki bagian pendanaan tersendiri sehingga periset atau peneliti terlalu khawatir terkait pendanaan. Namun, ekosistem riset dalam BRIN kini mengharuskan seluruh pendanaan dikelola secara terpusat.
”Ini jadi tantangan yang besar karena artinya kita harus bersaing dengan seluruh periset. Sementara dana riset di Indonesia sendiri masih minim. Karena itu, kita sebagai periset memang harus terus meningkatkan kompetensi agar mampu bersaing. Kesempatan untuk kerja sama dengan pihak lain, baik di dalam negeri dan luar negeri, pun harus dimanfaatkan dengan baik,” tuturnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F05%2F5301bc59-c7c8-4eb7-8e2c-c9f8b9648313_jpeg.jpg)
Delegasi dari sejumlah negara mendengarkan penjelasan petugas saat kunjungan di Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri), Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (5/8/2022). Kunjungan tersebut merupakan salah satu agenda dalam kegiatan G20 Technical Workshop on Climate Change yang diselenggarakan di Bogor, 3-5 Agustus 2022.
Beban administrasi ini juga dikeluhkan Cahyo Pamungkas, profesor riset di bidang sosiologi dari Pusat Riset Kewilayahan, BRIN. ”Sekarang peneliti harus mengurus administrasi sendiri. Misalnya, untuk buat FGD (focus group discussion), peneliti harus mengurus 22 dokumen. Jadi, pengurusan administrasi menjadi semakin panjang dan lebih banyak menghabiskan waktu,” katanya.
Cahyo membandingkan saat masih di bawah manajemen LIPI, di dalam satu kelompok riset biasanya ada satu tenaga administrasi non-peneliti, sehingga para peneliti bisa lebih fokus pada substansi penelitiannya.
Eko Yulianto, peneliti utama di Pusat Riset Kebencanaan, juga mengatakan, mekanisme pendanaan riset di BRIN dianggap menyulitkan. ”Saya tidak tertarik mengajukan dana riset dari BRIN. Setahun ini melakukan riset dari sumber dana lain,” katanya.
Baca juga: Rapor Merah Ekosistem Riset di Indonesia
Eko mengatakan, selain jumlah dana riset di BRIN yang kecil, birokrasinya juga rumit. Peneliti harus bikin proposal beberapa kali. Pertama, proposal untuk belanja bahan. Biasanya jumlah dananya relatif kecil, berikutnya mengajukan lagi proposal untuk ke lapangan.
”Banyak kasus, proposal belanja bahan disetujui, tetapi perjalanan ke lapangannya tidak disetujui, tetapi tetap dituntut menghasilkan output seperti dijanjikan. Akhirnya, pada mundur dari proposal yang diajukan, bagaimana mau penelitian kalau tidak didanai kegiatan lapangan,” katanya.
Semeidi juga mengakui, pemisahan proposal belanja bahan dan perjalanan ini memang menyulitkan. Dia mencontohkan, salah satu proposal risetnya bersama tim untuk melakukan kaji cepat tsunami di Flores yang telah disetujui di tahap pertama dengan target paper, tetapi proposal yang sama untuk mengajukan dana ke lapangan ditolak. ”Padahal untuk membuat paper dalam kajian ini butuh ke lapangan,” katanya.
Untuk publikasi, termasuk kebutuhan membayar proofreader atau submit paper harus ditanggung sendiri dari gaji atau tunjangan peneliti.
Menurut Eko, mekanisme pendanaan riset ini terlalu ribet dan rumit sehingga dia memilih mencari kegiatan riset di luar lembaga. ”Bagi saya, atmosfer dan birokrasi di dalam BRIN tidak kondusif untuk melakukan riset. Banyak peneliti saya kira mengalami demotivasi dan dalam setahun ini tidak bisa melakukan riset lapangan,” katanya.
Dana riset mengecil
Dana riset juga dikeluhkan oleh sebagian besar peneliti. Cahyo mengatakan, pendanaan riset semakin rumit dan jumlahnya juga mengecil. ”Dulu negara memiliki tanggung jawab menyediakan dana penelitian. Misalnya, LIPI punya rencana strategis apa yang akan dilakukan, bersama Bappenas duduk bersama menyeleksi program riset yang akan didanai sesuai dengan prioritas nasional. Sekarang, dengan BRIN peneliti bebas mengajukan proposal riset, tetapi harus berkompetisi untuk dapat dana,” katanya.
Di satu sisi, menurut Cahyo, sistem kompetisi ini akan memicu peneliti untuk membuat proposal yang baik. Selain dari sumber pendaan BRIN, peneliti juga didorong mencari sumber pendanaan dari luar. Namun, mekanisme ini bisa menyebabkan adanya survival of fittest yang bisa menyebabkan sejumlah tema riset tertentu sulit mendapatkan pendanaan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F28%2Fcac714c1-8315-4934-92cf-c72b1a22d370_jpg.jpg)
Pengunjung berfoto bersama di Titik Nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dilihat dari udara di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (28/7/2022).
”Misalnya, kalau mau riset dampak sosial budaya IKN (ibu kota negara) baru akan lebih susah mendapat dukungan dana. Riset-riset bahasa yang hampir punah, misalnya, juga kesulitan cari dana karena funding dari luar sangat terbatas. Di luar mekanisme kompetitif ini, seharusnya ada jalur pendanaan khusus untuk riset-riset yang dianggap penting,” kata Cahyo.
Selain mekanisme pengajuan dana, dari segi besaran, dana riset yang diberikan BRIN saat ini justru menurun. ”Pada masa LIPI, untuk riset sosial satu tim sekitar enam orang biasanya dapat dana Rp 250 juta-Rp 300 juta setahun anggaran riset. Sekarang dana penelitian rata-rata Rp 100 juta-Rp 150 juta untuk satu tim,” katanya.
Dengan dana riset ini, peneliti diwajibkan menghasilkan publikasi di jurnal berkualitas atau bab buku yang diterbitkan di lembaga publikasi internasional. Untuk publikasi, termasuk kebutuhan membayar proofreader atau submit paper harus ditanggung sendiri dari gaji atau tunjangan peneliti. Padahal, ada yang harus bayar sampai puluhan juta dan biasanya peneliti iuran.
Baca juga: Ketika Peneliti Memilih Pulang Kampung
”Memang tunjangan kinerja dinaikkan sekitar 80 persen. Kalau untuk peneliti madya dan utama kenaikan ini cukup signifikan dan bisa membantu untuk membiayai publikasi. Tetapi peneliti muda masih tidak cukup, padahal mereka yang paling banyak membutuhkan publikasi untuk syarat kenaikan jenjang,” kata Cahyo.
Rusli Cahyadi, Koordinator Program di Pusat Riset Kependudukan BRIN, mengatakan, anggaran riset yang terbatas menyulitkan peneliti untuk mengumpulkan data di lapangan. ”Waktu kunjungan ke lapangan menjadi semakin singkat, terutama bagi peneliti bidang sosial. Ditambah lagi, mata anggaran makin kaku dan semakin sulit melakukan penyesuaian di lapangan. Saya sudah 22 tahun di LIPI, administrasi pendanaan malah mengalami kemunduran,” katanya.
Rusli juga mengatakan, ekosistem riset yang tidak kondusif salah satunya karena gaya kepemimpinan yang buruk. ”Setiap Senin, saat apel pagi, pemimpin selalu mendemotivasi dan mempermalukan peneliti. Peneliti selalu disalahkan dan dianggap produktivitasnya kurang, mengajukan anggaran besar, sementara yang dibutuhkan lebih kecil, tetapi tidak ada mekanisme balik untuk mengevaluasi masalah manajerial,” katanya.
Ditemui Kamis (11/8/2022), Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengatakan saat ini sedang masa transisi fundamental. "Jadi sistem harus dari atas ke bawah. Terpenting, kami tidak boleh memiliki agenda pribadi. Pengalaman saya di LIPI, proses ini tidak membutuhkan waktu satu tahun," kata dia.