Pembabatan dan perubahan fungsi hutan membuat masyarakat adat di tanah Papua tersingkir. Padahal, alam adalah sumber penghidupan dan identitas mereka.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Masyarakat adat di tanah Papua sejak dulu menggantungkan hidup dari alam. Mereka bahkan menganggap tanah sebagai mama. Namun, hutan pelan-pelan hilang akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan, tambang, dan tempat pembalakan liar. Bagai anak kehilangan mamanya, masyarakat adat pun hilang arah.
Dulu, Veronika Manimbu (42) tidak perlu berjalan jauh untuk mencari makan. Dengan berjalan kaki kurang dari sejam, perempuan suku Mpur ini tiba di kebun yang mencukupi kebutuhan harian keluarganya.
Perempuan berhak melindungi tanah itu sebab kami yang melahirkan anak-anak, termasuk anak lelaki, yang akan mewarisi tanah itu. (Resita Tecuari)
Selain kebun, ada hutan yang jadi sumber penghidupan masyarakat. Hutan itu dulu jadi rumah bagi pohon mangga hutan, cokelat, hingga berbagai tanaman obat. Veronika mengatakan, saking suburnya tanah Papua, tanaman bisa tumbuh sendiri setelah masyarakat menghamburkan benih.
Namun, sejak salah satu perusahaan beroperasi di tempat tinggalnya di Distrik Kebar Timur, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, hutan di sekitar Veronika lenyap digantikan perkebunan jagung. Burung cenderawasih yang dulu mudah ditemukan di hutan ikut lenyap. Masyarakat turut kehilangan sumber pangan dan penghidupan mereka.
Menurut laporan ”Ancaman kepada Pembela HAM Lingkungan Papua Tahun 2020”oleh Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, hingga kini, ada 60 perusahaan swasta asing dan dalam negeri yang telah dan akan melakukan usaha perkebunan pada tanah seluas lebih dari 1 juta hektar. Lokasinya tersebar di Provinsi Papua dan Papua Barat.
”Sekarang saya harus berjalan 2-3 jam (untuk mengambil ke kebun). Waktu untuk mengerjakan kebun jadi lebih pendek karena kami harus segera pulang, perjalanan jauh. Rasanya capai. Dulu, kalau sedang tidak ke kebun, saya menokok sagu di dekat rumah untuk dikonsumsi. Sekarang tidak ada lagi pohon sagu,” kata Veronika saat peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia di Jakarta, Selasa (9/8/2022).
Hal ini menunjukkan eratnya hubungan antara alam dengan kemandirian pangan masyarakat adat Papua. Hutan dan tanah dikelola dengan pengetahuan, peraturan, dan adat yang diwariskan secara turun-temurun. Praktik pengetahuan asli masyarakat adat tampak pada budaya berkebun, berburu, bertani, budidaya tanaman dan ternak, serta meramu hasil hutan.
Pengetahuan ini diwariskan melalui cerita rakyat, tarian, seni ukir, hingga nyanyian. Itu sebabnya, lenyapnya hutan tidak hanya menghilangkan kemandirian pangan. Lebih jauh, hal ini menghilangkan identitas dan kebudayaan masyarakat adat.
Pengetahuan lokal pun terancam hilang. Veronika mengatakan, generasinya tahu tanaman-tanaman hutan yang berkhasiat untuk kesehatan. Namun, generasi masa kini tidak begitu mengenal tanaman obat.
Produksi noken pun sempat terhambat karena masyarakat sulit menemukan pohon melinjo (Gnetum gnemon). Menurut Veronika, sebagian masyarakat beralih menggunakan serat karung plastik untuk membuat noken. Adapun noken dinyatakan sebagai warisan budaya tak benda dari Indonesia yang diakui UNESCO.
Menurut rohaniwan dan aktivis masyarakat adat, Magdalena Kafiar, kerusakan alam berdampak besar ke kehidupan perempuan sebagai pengatur rumah tangga. Kerusakan alam membuat perempuan kesulitan mencari air bersih, makanan, hingga tanaman obat untuk keluarga.
Namun, peran perempuan untuk mempertahankan wilayah adatnya terkendala berbagai hal, seperti budaya yang tidak menjadikan perempuan sebagai pemilik lahan ulayat. Beberapa perempuan pun menggalang suara dan mendiskusikan hal ini ke dewan adat di Papua. Dengan izin dewan adat, sejumlah perempuan berdialog dengan pemerintah daerah dan berbagai pihak lain untuk memperjuangkan tanah mereka.
”Perempuan memang tidak punya hak (adat) untuk memiliki dan mengelola tanah, tapi perempuan berhak melindungi tanah itu sebab kami yang melahirkan anak-anak, termasuk anak lelaki, yang akan mewarisi tanah itu,” kata pimpinan Organisasi Perempuan Adat Namblong, Resita Tecuari.
Di sisi lain, masyarakat yang tergusur dari lahannya juga rawan didiskriminasi dan dikriminalisasi. Menurut catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sepanjang 2020, ada 40 kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat.
Sebagian masyarakat yang kehilangan sumber penghidupan di alam lantas menjadi buruh perkebunan. Beberapa buruh perempuan tidak mendapat upah yang setara dengan laki-laki. Selain itu, sebagian buruh juga berstatus pekerja lepas yang dibayar harian. Mereka juga tidak punya jaminan sosial. Hal ini membuat posisi masyarakat adat menjadi rentan.
”Perempuan umumnya merupakan pelaku ekonomi subsisten yang memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Hidup mereka berubah ketika jadi buruh. Mereka jadi tidak punya waktu mengolah pangan secara mandiri. Waktu untuk mengurus rumah tangga pun terganggu,” tutur peneliti Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Rassela Malinda.
Menurut Program Officer Asia Justice and Right (AJAR) Sornica Ester Lily, pengakuan pemerintah merupakan kunci melindungi masyarakat adat. Perlindungan hukum dan hak masyarakat adat dapat dijamin bila Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) disahkan. Namun, RUU MHA tak kunjung disahkan sejak bertahun-tahun lampau.