Museum Tekstil, Jakarta, memamerkan 138 kain tenun dari Sulawesi, Sumatera, dan Timor yang diproduksi di abad ke-19 dan awal abad ke-20. Masyarakat diharapkan bisa mengenal lagi kekayaan wastra Nusantara.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Suasana pameran ”Nuansa Kemilau Wastra Tenun Indonesia: Sumatera, Sulawesi, dan Timor” pada Sabtu (30/7/2022). Pameran berlangsung di Museum Tekstil, Jakarta, pada 20 Juli 2022 hingga 31 Juli 2022. Ada 138 kain tenun dari Sulawesi, Sumatera, dan Timor yang diproduksi di abad ke-19 dan awal abad ke-20. Beberapa di antaranya adalah wastra langka yang tidak lagi diproduksi.
Wastra tenun Indonesia boleh dikata berhasil melintasi zaman hingga sampai di abad ke-21, zaman ketika orang-orang punya begitu banyak pilihan busana, termasuk produk fast fashion yang dijual di mana-mana. Beberapa wastra tenun masih eksis hingga sekarang, sementara beberapa lainnya hampir atau sudah hilang tergerus zaman.
Tak disangka, di balik riuhnya kawasan dagang Tanah Abang, Jakarta, ada ratusan wastra tenun lawas yang punya segudang cerita untuk dikisahkan. Lokasi wastra tenun itu berdiam tak jauh dari Stasiun Tanah Abang. Kurang dari lima menit berjalan kaki dari stasiun, sampailah kita di Museum Tekstil.
Museum Tekstil sedang menjadi tuan rumah pameran ”Nuansa Kemilau Wastra Tenun Indonesia: Sumatera, Sulawesi, dan Timor”. Pameran berlangsung mulai 20 Juli 2022 hingga 31 Juli 2022 untuk memperingati Hari Ulang Tahun Ke-46 Museum Tekstil dan Hari Jadi Ke-77 Indonesia.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Suasana pameran ”Nuansa Kemilau Wastra Tenun Indonesia: Sumatera, Sulawesi, dan Timor” pada Sabtu (30/7/2022). Pameran berlangsung di Museum Tekstil, Jakarta, pada 20 Juli 2022 hingga 31 Juli 2022. Ada 138 kain tenun dari Sulawesi, Sumatera, dan Timor yang diproduksi di abad ke-19 dan awal abad ke-20. Beberapa di antaranya adalah wastra langka yang tidak lagi diproduksi.
Ada 138 wastra tenun dari abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang dipamerkan. Semuanya berasal dari Sumatera, Sulawesi, dan Pulau Timor di Nusa Tenggara Timur. Kain-kain itu merupakan koleksi Museum Tekstil, Rumah Wastra Jo Seda, dan sumbangan kolektor almarhum Biranul Anas yang juga Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (2006-2010).
Pameran tersebut merupakan cuplikan dari kekayaan kain tenun Indonesia. Tradisi tenun ada di hampir seluruh daerah di Indonesia dan mempunyai ciri khas masing-masing. Kain tenun pun jadi sangat kaya, baik dari segi warna, bahan, ragam hias, teknik, maupun filosofi.
Saking kayanya, mungkin sebagian orang tidak menyadari ada wastra tenun yang menghilang. Beberapa bahkan tidak diproduksi lagi dan menjadi wastra langka. Kepala Unit Pengelola Museum Seni Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Sri Kusumawati mengatakan, beberapa kain yang dipamerkan ditenun dengan teknik yang rumit, sedangkan teknik tenun zaman kini lebih praktis dan modern.
”Kemungkinan itu yang membuat tenun tidak diproduksi lagi sekarang,” kata Sri pada pertengahan Juli 2022.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Suasana pameran ”Nuansa Kemilau Wastra Tenun Indonesia: Sumatera, Sulawesi, dan Timor” pada Sabtu (30/7/2022). Pameran berlangsung di Museum Tekstil, Jakarta, pada 20 Juli 2022 hingga 31 Juli 2022. Ada 138 kain tenun dari Sulawesi, Sumatera, dan Timor yang diproduksi di abad ke-19 dan awal abad ke-20. Beberapa di antaranya adalah wastra langka yang tidak lagi diproduksi.
Tidak diproduksi lagi
Di Sulawesi Utara ada wastra tenun yang nyaris tidak diproduksi lagi. Orang Sangir menyebut wastra itu ”koffo”, sedangkan orang Talaud menyebutnya ”hote”. Koffo dibuat dari serat pisang liar (Musa textilis dan Musa mindanensis) yang dulu banyak tumbuh di sana.
Koffo dibuat dengan gedhog, alat tenun tradisional. Koffo umumnya berupa kain memanjang dengan lebar yang beragam. Ragam hiasnya berupa geometri yang menyerupai anyaman dari Halmahera dan Minahasa, khas tradisi kuno dari Indonesia timur.
Setidaknya ada sembilan koffo yang dipamerkan di Museum Tekstil. Beberapa koffo didominasi warna coklat dan ada juga yang memiliki aksen warna biru dan merah dengan warna dasar coklat. Beberapa koffo masih dalam kondisi baik, tetapi ada pula yang sudah koyak di bagian tepi.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Kain tenun dari Sulawesi Utara, koffo, dipamerkan di pameran ”Nuansa Kemilau Wastra Tenun Indonesia: Sumatera, Sulawesi, dan Timor” pada Sabtu (30/7/2022). Wastra yang dibuat dari serat pisang liar ini diproduksi sejak beberapa ratus tahun lalu. Namun, produksi koffo mundur sejak awal abad ke-20, hingga akhirnya koffo tidak dibuat lagi. Upaya menghidupkan lagi tradisi membuat koffo dilakukan baru-baru ini di pusat tenun Ridaka di Pekalongan, Jawa Tengah, dengan alat tenun bukan mesin.
Koffo diproduksi sejak beberapa ratus tahun lalu. Namun, produksi koffo mundur sejak awal abad ke-20 hingga akhirnya koffo tidak dibuat lagi. Upaya menghidupkan lagi tradisi membuat koffo dilakukan baru-baru ini di pusat tenun Ridaka di Pekalongan, Jawa Tengah, dengan alat tenun bukan mesin (ATBM).
Wastra tenun lain yang sudah tidak diproduksi adalah bidak becukil. Wastra dari Lampung ini dibuat dengan benang emas, payet logam, pakan tambahan, dan ditenun dengan teknik tenun sederhana. Bidak becukil biasanya dikenakan oleh laki-laki Lampung dengan melilitkannya di pinggul.
Ada lagi ija duablah hah, kain tenun dari Aceh. Nama ija duablah hah sesuai dengan kain yang panjangnya mencapai 12 hah. Hah artinya ’hasta’, satuan ukuran tradisional yang dihitung dari ujung jari ke ujung siku. Pada ujung atas dan bawah kain terdapat ragam hias dari benang emas.
Benang itu ditenun membentuk segitiga yang menyerupai tanduk biri-biri terbalik, khas songket Aceh. Sama seperti bidak becukil, ija duablah hah juga sudah tidak diproduksi lagi.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Ija duablah hah (warna biru), kain tenun dari Aceh pada pameran ”Nuansa Kemilau Wastra Tenun Indonesia: Sumatera, Sulawesi, dan Timor” di Museum Tekstil, Jakarta, pada Sabtu (30/7/2022). Nama ija duablah hah sesuai dengan kain yang panjangnya mencapai 12 hah, yang artinya hasta.
Menurut Sri, beberapa wastra tenun Indonesia nyaris punah, atau bahkan ada yang sudah punah. Itu sebabnya, kekayaan kain tenun perlu diangkat kembali agar ingatan masyarakat tentang wastra tidak ikut hilang. ”Beberapa wastra tenun sudah sulit dicari, tetapi bisa dilihat masyarakat di pameran ini,” katanya.
Pelaksana Tugas Ketua Umum Himpunan Wastraprema Sri Sintasari ”Neneng” Iskandar mengutarakan, pameran ini menampilkan wastra yang tidak hanya berasal dari pulau berbeda. Teknik, ragam hias, hingga warna wastra pun bermacam-macam.
Sebagai contoh, wastra tais feto dari Timor memperoleh warna merah dengan mencelup kain ke pewarna dari akar mengkudu. Sementara itu, wastra dari Jambi memanfaatkan kutu lak (Laccifer lacca) untuk mewarnai kain jadi merah.
”Teknik, ragam hias, dan warna yang bermacam-macam akan menambah semangat untuk menggali kembali wastra tenun warisan leluhur serta menambah kecintaan kita terhadap wastra,” kata Neneng secara tertulis.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Suasana pameran ”Nuansa Kemilau Wastra Tenun Indonesia: Sumatera, Sulawesi, dan Timor” pada Sabtu (30/7/2022). Pameran berlangsung di Museum Tekstil, Jakarta, pada 20 Juli 2022 hingga 31 Juli 2022. Ada 138 kain tenun dari Sulawesi, Sumatera, dan Timor yang diproduksi di abad ke-19 dan awal abad ke-20. Beberapa di antaranya adalah wastra langka yang tidak lagi diproduksi.
Warisan budaya
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berencana mengajukan kain tenun sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) kepada Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kain tenun yang dimaksud bukan kain dari daerah tertentu, melainkan kain tenun Indonesia.
Teknik, ragam hias, dan warna yang bermacam-macam akan menambah semangat untuk menggali kembali wastra tenun warisan leluhur, serta menambah kecintaan kita terhadap wastra.
Hal ini merespons langkah Malaysia yang lebih dulu mendaftarkan songket sebagai warisan budayanya kepada UNESCO. Indonesia bisa disebut ”kecolongan” karena pada 2021 UNESCO menetapkan songket sebagai WBTB Malaysia. Adapun songket merupakan salah satu kekayaan wastra Nusantara yang sudah ada sejak beberapa abad lalu. Pemerintah Indonesia saat ini melakukan riset dan pemetaan untuk mendaftarkan tenun Nusantara ke UNESCO.
Di suatu siang pada akhir Juli 2022, ratusan helai kain tenun tergantung dalam diam di museum yang sepi seperti tak bertuan. Mungkin lain kali kondisi bakal lebih baik. Jam tiga sore, saatnya pintu museum ditutup. Sambil menjauh, sayup-sayup terdengar pedagang Tanah Abang yang masih setia menawarkan dagangannya, ”Boleh, kak. Cari apa, kak?”