”Kincia Aia” dan Kegelisahan Sang Pemburu Suara
Komposer Rani Jambak menjadikan kincir air Minangkabau yang nyaris punah sebagai media eksplorasi musik sekaligus media menyuarakan kegelisahan terhadap kondisi alam.

Komposer Rani Jambak menampilkan karya musik Kincia Aia: Malenong (M)ASO di Rumah Gagas, Nagari Lasi, Kecamatan Candung, Agam, Sumatera Barat, Jumat (22/7/2022) malam. Karya musik eksperimental itu terinspirasi dari teknologi kincia aia atau kincir air Minangkabau yang setidaknya sudah ada sejak 204 tahun silam.
Kincia aia atau kincir air menjadi teknologi multifungsi di Minangkabau sejak ratusan tahun silam. Saat keberadaan kincia di ambang kepunahan, Rani Jambak, komposer berdarah Minang, menjadikannya sebagai inspirasi dalam mengeksplorasi musik sekaligus media menyuarakan kegelisahan terhadap kondisi alam.
Di ruang sempit berlatar hitam dengan sorotan cahaya warna-warni, replika kincir air berjari-jari sekitar 1 meter berputar searah jarum jam. Instalasi itu terhubung pada dua deret perangkat alu-alu di depan kiri dan kanan dengan masing-masing lima alu (penumbuk).
Di tengah bagian depan deretan alu-alu, seorang perempuan berhadapan dengan laptop, synthesizer, dan talempong modifikasi. Suara kicauan burung, disusul gonggongan anjing, dan suara kereta cepat di stasiun terdengar tatkala talempong itu disentuh.
Sang perempuan selanjutnya melepas satu per satu kunci alu agar menumbuk. Setiap tumbukan alu menghasilkan bunyi berbeda, seperti suara penggalan pertunjukan randai dan talempong batu. Kepiawaian perempuan itu mengatur buka-kunci alu menciptakan komposisi musik elektronik yang eksotis.
Demikian sepenggal pertunjukan Kincia Aia: Malenong (M)ASO karya komposer Rani Jambak, Jumat (22/7/2022) malam. Pertunjukan berdurasi sekitar 14 menit itu digelar di Rumah Gagas, kawasan perkampungan sekitar kaki Gunung Marapi di Nagari Lasi, Kecamatan Candung, Agam, Sumatera Barat, sekitar 10 km dari Kota Bukittinggi.
Pertunjukan tersebut merupakan proyek musik Rani dalam program Musicians in Residence 2021-2022 yang diselenggarakan oleh British Council. Dalam program ini, perempuan kelahiran Medan itu mendapat mitra tuan rumah dari Inggris, Huddersfield Contemporary Music Festival.

Rani Jambak mengoperasikan synthesizer dalam penampilan karya musik Kincia Aia: Malenong (M)ASO di Rumah Gagas, Nagari Lasi, Kecamatan Candung, Agam, Sumatera Barat, Jumat (22/7/2022) malam. Karya musik eksperimental itu terinspirasi dari teknologi kincia aia atau kincir air Minangkabau yang setidaknya sudah ada sejak 204 tahun silam.
Rani menjelaskan, Malenong (M)ASO dalam bahasa Indonesia berarti memutar waktu dan asal. Judul itu dipilih sesuai konsep karya, yaitu memutar atau menggulirkan teknologi masa lampau sehingga dapat difungsikan lagi ke masa depan. ”Kincia merupakan produk kecerdasan leluhur Minangkabau sejak masa lampau,” katanya.
Rani Jambak banyak dikenal sebagai seniman perempuan ”pemburu suara”. Karya musiknya banyak mengangkat tentang suara sosial budaya dan hubungan antara manusia dan nenek moyang mereka.
Ia mengembangkan karya-karya creative soundscape, yaitu merekam soundscapes dari suara-suara di alam, suara aktivitas sosial budaya masyarakat, dan suara dari instrumen ataupun pertunjukan tradisional dari berbagai daerah. Suara-suara itu disusun dan dirangkai menjadi menjadi sebuah komposisi musik digital.
Sejarah kincir
Kincir air sudah digunakan petani di Minangkabau lebih dari dua abad silam. Sir Thomas Stamford Raffles saat berkunjung ke pedalaman Minangkabau tahun 1818 mencatat, kincir lazim digunakan di wilayah ini untuk mengairi sawah (Anthony Reid, Sumatera Tempo Doloe, 2010).
Penggunaan kincir dianggap sebagai kemajuan dalam bercocok tanam yang bahkan belum dicapai Jawa meskipun Jawa telah berhubungan dengan China sejak lama.
Raffles melanjutkan, karena bangsa Eropa dan China belum pernah menginjakkan kaki ke tanah Minangkabau, dan selama berabad-abad penduduk pribumi Minangkabau hampir tidak pernah berinteraksi dengan orang asing, kincir-kincir yang terbuat dari bambu ini dapat dianggap sebagai penemuan asli orang pribumi.
”Sebelumnya, saya pernah melihat kincir air seperti ini di Sungai Manna, dan saya diberi tahu bahwa kincir air amat lazim di Musi. Seingat saya, saya tidak pernah melihat kincir air atau sejenisnya di Jawa,” kata Raffles sebagaimana dikutip Reid.
Sementara itu, sejarawan Universitas Andalas, Prof Gusti Asnan, mengatakan, penggunaan kincir sebagai sistem irigasi di Minangkabau pernah dibahas AL van Hasselt dalam buku Ethnographische Atlas van Midden Sumatra tahun 1881. Kincir air banyak digunakan di Minangkabau bagian tengah dan timur, dari Luak Tanah Datar sampai Luak Limapuluh Kota.

Seorang petani sedang menghentikan kincir air untuk perawatan di tepian Batang Sinamar, Nagari Taeh Baruah, Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, Minggu (31/10/2021). Kincir air masih menjadi andalan segelintir petani di tepian sungai itu untuk mengairi sawah. Satu kincir bisa mengairi sekitar 20 petak sawah.
Dari cerita Hasselt, kata Gusti, kincir banyak ditemukan di wilayah tersebut karena karakteristik alamnya. Lahan persawahan berada di kawasan yang lebih tinggi dari aliran air. Kincir pun dibutuhkan untuk menaikkan air dari sungai dan anak sungai ke sawah. Hal itu bentuk kecerdasan intelektual petani dalam mengatasi tantangan alam (Kompas, 5/1/2022).
Inspirasi
Selain untuk irigasi, kata Rani, masyarakat Minangkabau juga memanfaatkan putaran kincir air untuk menggerakkan alu-alu. Alu-alu digunakan untuk menumbuk padi, beras, kopi, tepung, jengkol, dan sebagainya. Perbedaan material dan bahan yang ditumbuk menghasilkan suara yang berbeda-beda.
Suara yang berbeda-beda itu jadi inspirasi bagi Rani dalam berkarya. Kincir air beserta perangkat alu-alu ia adaptasi dengan menggunakan teknik sampling agar suaranya lebih kaya. Dalam eksperimennya, kincir versi Rani tidak lagi memanfaatkan suara asli alu-alu, tetapi sejumlah soundscape yang dikumpulkannya pada 2020 untuk karya ”Suara Minangkabau (Darek)”.
Di bagian bawah sepuluh alu kincir dipasangi sensor untuk menangkap getar dan diproses di perangkat lunak komputer. Tumbukan setiap alu menghasilkan suara yang berbeda, seperti penggalan suara pertunjukan randai, talempong batu, dan instrumen musik lainnya.
Rani juga memanfaatkan talempong yang dipasangi sensor sentuh. Saat disentuh, perangkat itu menghasilkan, antara lain, suara kicauan burung, gonggongan anjing dalam kegiatan berburu babi, dan suara sungai. Suara stasiun serta suasana kota di Huddersfield, Inggris, juga ada sebagai simbol pertukaran budaya dalam proyek ini.
Proses penciptaan karya itu dimulai Rani sejak Desember 2021. Ia melakukan studi dan riset ke lapangan dengan menyaksikan instalasi kincir yang masih ada di Sumbar. Pembuatan fisik kincir dan alu-alu dimulai dari Maret hingga Juni 2022, dilanjutkan dengan pembuatan sensor dan coding untuk pemrograman.

Sensor getar pada alu instalasi replika kincir air yang digunakan komposer Rani Jambak dalam menampilkan karya musik Kincia Aia: Malenong (M)ASO di Rumah Gagas, Nagari Lasi, Kecamatan Candung, Agam, Sumatera Barat, Jumat (22/7/2022) malam. Karya musik eksperimental itu terinspirasi dari teknologi kincia aia atau kincir air Minangkabau yang setidaknya sudah ada sejak 204 tahun silam.
Replika kincir air dalam pertunjukan Rani terbuat dari baja ringan dan digerakkan dengan dinamo mesin jahit. Sementara itu, alu-alu dibuat dari multipleks. Material dan penggerak tersebut terpaksa dipilih karena ia tidak menemukan sungai di sekitar Lasi untuk menggerakkan kincir, selain juga agar perangkat itu lebih portabel.
Penawaran baru
Etnomusikolog Hajizar mengapresiasi karya yang ditunjukkan Rani. Komposisi karya yang didasari oleh soundscape dan suara-suara sosial masyarakat ini merupakan suatu penawaran baru tentang komposisi musik. Kerangkanya dari segi soundscape, bukan dari segi komposisi musik secara total.
”Ini yang menjadi nilai plusnya karena soundscape ini digarap dalam bentuk yang penekanannya lebih ke arah eksperimental atau eksplorasi. Ini sudah sebuah penawaran baru yang bisa untuk memberikan suatu apresiasi terhadap pemerhati-pemerhati musik,” kata Hajizar seusai pertunjukan.
Walakin, Hajizar berharap, selanjutnya Rani menghadirkan karya dengan memperhitungkan segi kekuatan organolog dan akustik. Dengan demikian, instalasi itu yang menjadi kekuatan utama dan disempurnakan dengan media elektronik/digital.
”Selanjutnya, akan hadir yang didasari oleh kajian organologi dan musikal serta diolah sebagai komposisi soundscape dan suara masyarakat yang bisa dinikmati nuansa ke-Minang-an yang lebih kental,” ujar pensiunan dosen Program Studi Seni Karawitan ISI Padang Panjang ini.

Komposer Rani Jambak menampilkan karya musik Kincia Aia: Malenong (M)ASO di Rumah Gagas, Nagari Lasi, Kecamatan Candung, Agam, Sumatera Barat, Jumat (22/7/2022) malam. Karya musik eksperimental itu terinspirasi dari teknologi kincia aia atau kincir air Minangkabau yang setidaknya sudah ada sejak 204 tahun silam.
Kegelisahan
Selain jadi media eksplorasi musik, Rani yang sekarang menetap di Lasi, kampung suaminya itu, juga menjadikan kincir air untuk menyuarakan kegelisahannya. Kincir yang dulu banyak dijumpai di Sumbar sekarang tinggal segelintir saja, nyaris tinggal cerita. Teknologi tepat guna dan ramah lingkungan ini semakin sulit dijumpai.
Suami Rani yang juga seniman di Padang Panjang, M Hario Efenur, mengatakan, di Lasi pada masa lampau terdapat belasan kincir air, tetapi sekarang telah punah. Sekitar 20-30 tahun lalu, satu per satu kincir tak lagi digunakan oleh masyarakat dan menghilang.
Rani memperkirakan beberapa penyebab semakin hilangnya kincir, antara lain kehadiran mesin-mesin modern, seperti mesin penggiling padi dan mesin pompa air, berubahnya kondisi alam menyebabkan debit air berkurang, dan berubahnya sistem irigasi pertanian.
”Saya merasa miris. Saya masih mempertanyakan kenapa kincia hilang? Apakah karena teknologi karena mesin sudah lebih praktis? Atau karena memang debit air sudah sangat jauh berkurang,” katanya.
Harapan saya, ’kincia’ ini bisa jadi monumen kecerdasan leluhur karena generasi muda—generasi saya.
Keberadaan kincir pun bisa menjadi salah satu indikator suatu daerah masih memiliki sungai yang bagus. Kata Rani, pada masa lampau, kincir bergerak di aliran sungai deras dan airnya jernih, yang berarti lingkungan dan alamnya masih sangat bagus.
Sepanjang proses riset lapangan, Rani tak lagi menemukan sungai di sekitar Lasi karena kering. Justru di sungai-sungai kering itu sampah menumpuk.
Bersama Prigi Arisandi dan Amir Muttaqin, aktivis lingkungan dari Ecoton, yang melakukan Ekspedisi Sungai Nusantara, Rani berkeliling mencari sungai, bahkan sampai ke puncak-puncak Gunung Marapi mencari titik-titik sumber mata air, tetapi semuanya kering.
”Harapan saya, kincia ini bisa jadi monumen kecerdasan leluhur karena generasi muda—generasi saya, sering kali tidak punya keberanian atau kepercayaan diri untuk menunjukkan identitasnya. Menurut saya, ini karena kita lupa siapa leluhur kita,” ujar lulusan S2 Master of Creative Industries, Macquarie University, Australia, ini.

Komposer Rani Jambak membuka kunci alu atau penumbuk instalasi replika kincir air dalam menampilkan karya musik Kincia Aia: Malenong (M)ASO di Rumah Gagas, Nagari Lasi, Kecamatan Candung, Agam, Sumatera Barat, Jumat (22/7/2022) malam. Karya musik eksperimental itu terinspirasi dari teknologi kincia aia atau kincir air Minangkabau yang setidaknya sudah ada sejak 204 tahun silam.