Dunia Dorong Pemulihan Bersama Pendidikan
Penundaan pemulihan pendidikan akibat pandemi Covid-19 diperkirakan bisa merugikan kekayaan generasi anak sekolah saat ini sekitar 21 triliun dolar AS. Untuk itu, pemulihan dengan pembelajaran tatap muka sangat urgen.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F11%2Fb7fce60d-344a-411c-b313-971eadf21090_jpg.jpg)
Murid baru menjalani masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) pada hari pertama bersekolah pada tahun ajaran baru di SMP Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah, Senin (11/7/2022). Kehadiran siswa lewat pembelajaran tatap muka di sekolah diyakini sebagai upaya mempercepat pemulihan pendidikan untuk mengatasi learning loss akibat pandmei Covid-19.
Hari pertama sekolah di sejumah daerah dimulai Senin (11/7/2022). Meski dibayangi peningkatan kasus Covid-19, siswa, orangtua, dan guru merasa lega tidak ada tanda-tanda harus membatasi pertemuan tatap muka di sekolah setiap hari.
“Saya lega dari sekolah tidak ada pengumuman tentang pembatasan kegiatan belajar. Kantin di sekolah juga sudah dibuka. Semoga nanti kegiatan ekstrakurikuler juga sudah bisa berjalan normal untuk menambah kegiatan anak selain belajar,” kata Mernawati, salah satu orangtua siswa SD di Jakarta.
Kepala SMA Gabungan Jayapura Sandra Titihalawa di Jayapura, meyakini pertemuan tatap muka (PTM) 100 persen bisa menyelamatkan siswa dari putus belajar. Bagaimanapun, efektivitas belajar daring tak akan seoptimal dibanding jika siswa hadir di sekolah setiap hari.
“Saat kasus Covid-19 tinggi, para guru juga merasa khawatir untuk bisa berpergian. Akhirnya memang ada siswa yang tidak bisa mengikuti pelajaran. Ketika pembukaan sekolah sudah mulai bisa dilakukan secara bertahap, kami melakukan kunjungan ke rumah siswa untuk mencari kembali siswa yang terhilang selama belajar dari rumah. Kami bisa meyakinkan orangtua dan siswa untuk bisa kembali ke sekolah dan ada perhatian khusus untuk siswa yang tertinggal dalam pembelajaran,” kata Sandra.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Suharti memaparkan, beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pemulihan pembelajaran, yakni mendorong partisipasi pembelajaran tatap muka 100 persen yang aman. Lalu, pemulihan pembelajaran; pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi; serta dukungan bagi pemerintah daerah, satuan pendidikan, dan peserta didik yang terdampak lebih berat karena pandemi Covid-19.

Berdasarkan kajian kebijakan tengah tahun (Policy Assessment) The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII), ditemukan bahwa siswa dan guru di berbagai daerah di Indonesia lebih memilih untuk melakukan PTM dibandingkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena berbagai hal. Namun, dalam kondisi pandemi yang belum berakhir, penerapan protokol kesehatan saat menjalankan pembelajaran secara langsung di sekolah-sekolah mulai kendor.
“Siswa-siswa yang menjadi informan dalam studi ini menyatakan bahwa saat PTM, penjelasan dari guru lebih mudah untuk dipahami. Tidak hanya murid, guru juga menganggap bahwa saat PTM mereka lebih mudah dalam memberikan penjelasan kepada siswa. Teknologi tidak mampu menggantikan interaksi sosial langsung. Bahkan, kejenuhan siswa bisa mendorong adanya siswa yang putus sekolah. Belum lagi, tantangan kemampuan guru dan siswa dalam menggunakan teknologi,” kata Peneliti Bidang Sosial TII, Nisaaul Muthiah.
Tak hanya di Indonesia, dunia juga menyerukan pemulihan pendidikan lewat PTM. Tentu saja, PTM yang dimaksud dengan semangat baru untuk memulihkan pendidikan inklusif yang berkelanjutan.
Jadi Puncak Agenda
Di akhir Juni lalu, Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay di hadapan lebih dari 150 menteri pendidikan dunia, memperingatkan krisis bermata dua yang saat ini memengaruhi pendidikan, yakni krisis pembelajaran dan krisis anggaran. Organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan UNESCO, menyerukan "mobilisasi global” untuk menempatkan pendidikan di puncak agenda dan memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs 2030.
Pada tahun 2019, sebenarnya UNESCO telah memperingatkan sulitnya dunia mencapai tujuan "pendidikan berkualitas untuk semua pada tahun 2030". Sekarang, pandemi Covid -19 telah membuat perkiraan itu lebih buruk.
Hal ini mendorong UNESCO untuk memobilisasi komunitas pendidikan dunia dan pemerintah pada pertemuan yang diadakan di Paris guna mempersiapkan Konferensi Tingkat Tinggi Transformasi Pendidikan pada September nanti.
Audrey menjelaskan, pandemi telah memperburuk krisis pendidikan global. Penutupan sekolah telah mengakibatkan hilangnya pembelajaran yang signifikan.
Tanpa langkah-langkah baru, anak-anak akan menghadapi kesulitan signifikan dalam melanjutkan pendidikan mereka dan memasuki dunia kerja.
Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, 70 persen anak berusia 10 tahun tidak dapat memahami teks tulis sederhana, atau naik dari tahun 2019 di mana 57 persen anak yang mengalaminya. Tanpa langkah-langkah baru, anak-anak akan menghadapi kesulitan signifikan dalam melanjutkan pendidikan mereka dan memasuki dunia kerja.
“Kita kemudian akan menghadapi krisis sosial yang besar. Hari ini saya menyerukan mobilisasi agar pendidikan harus kembali menjadi agenda utama masyarakat internasional jika kita ingin mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan,” ujar Audrey.
Baca juga: Pemulihan Pendidikan Butuh Perubahan Mendasar Sistem Pendidikan

Sistem pendidikan tatap muka seperti di SDN Kelapa Tinggi Kabupaten Kupang, Agustus 2018 ini belum diberlakukan di Nusa Tenggara Timur, terhitung sejak pandemi Covid-19, Maret 2020-Januari 2021. Pandemi Covid-19 mendorong hampir semua kabupaten/kota tetap memberlakukan sistem pendidikan jarak jauh atau secara daring untuk menghindari penularan Covid-19.
Menurut laporan UNESCO, Bank Dunia dan UNICEF yang dirilis pada 24 Juni lalu, penundaan pembelajaran ini juga akan berdampak kuat pada perekonomian. Pada skala global, penundaan mengatasi learning loss akan mewakili kerugian kumulatif kekayaan untuk generasi anak sekolah saat ini sekitar 21 triliun dolar AS.
Sebelumnya, perkiraan kerugian kumulatif sebesar 17 triliun dolar AS pada tahun 2021. Ternyata, situasinya telah menurun selama setahun terakhir.
Krisis pembelajaran di dunia juga berdampingan dengan krisis pendanaan. Menurut studi lain oleh UNESCO dan Bank Dunia, 40 persen negara berpenghasilan rendah dan menengah mengurangi pengeluaran pendidikan mereka selama pandemi.
Penurunan rata-rata pengeluaran dana pendidikan sebesar 13,5 persen. Namun, pada musim panas 2022, anggaran masih belum kembali ke level 2019.
“Kami prihatin dengan goyahnya pendanaan untuk pendidikan pada saat kritis ini. Ketika dana publik berkurang, keluarga harus meningkatkan kontribusi keuangan mereka. Dan semakin banyak beban keuangan untuk pendidikan yang ditanggung keluarga, semakin besar risiko peningkatan ketimpangan,” kata Asisten Direktur Jenderal Pendidikan di UNESCO Stefania Giannini.
Pertanyaan tentang sumber daya ini, lanjut Stefania, menjadi lebih penting karena pendidikan juga harus diubah untuk memenuhi tantangan baru abad ke-21. Seperti yang ditunjukkan oleh laporan UNESCO baru-baru ini tentang Masa Depan Pendidikan, kurikulum dan pengajaran harus disesuaikan dengan isu-isu seperti krisis iklim dan revolusi digital.
Pulih bersama
Menyambut pertemuan puncak G20, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kemendikbudristek, Iwan Syahril, yang juga Ketua Kelompok Kerja Pendidikan G20 (Chair of the G20 Education Working Group), mengatakan, sejumlah negara di dunia memberlakukan kebijakan PJJ dengan kualitas yang bervariasi. Karena itu, dalam pertemuan G20 untuk bidang pendidikan, isu pemulihan pendidikan global sangat penting dibahas guna meraih tujuan pulih bersama.
“Siswa di seluruh dunia menghadapi masalah akses mendapatkan pembelajaran dan risiko kehilangan pembelajaran atau learning loss. Ini yang harus kita sikapi bersama-sama,” kata Iwan dalam Silaturahmi Merdeka Belajar bertajuk “Pentingnya PTM di Negara-negara G20, pekan lalu.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F26%2F9d8012ec-0636-44eb-b7cb-ba71e65b113c_jpg.jpg)
Santi Juliana Senduk (kiri), guru bahasa Jepang dan Dolvina Lea Ansanay (kanan), Guru geografi di SMA Gabungan Jayapura, Papua, menjadi guru penggerak angkatan pertama di Kota Jayapura. Para guru mendapat pendampingan untuk menerapkan pembelajaran dengan paradigma baru, salah satunya dengan Kurikulum Merdeka yang berpusat pada siswa.Interaksi guru dan siswa secara langsung dinilai efektif memulihkan pendidikan.
Menurut Iwan, lewat PTM di sekolah, murid-murid mendapatkan lingkungan belajar yang lebih baik. “Selain itu, berbagai studi menunjukkan bahwa PTM masih merupakan metode paling baik bagi para siswa, baik anak-anak dan anak-anak muda kita,” ucapnya.
Senada dengan itu, Chief of Education, United Nations Children’s Fund (UNICEF), Katheryn Bennett mengungkapkan, PTM antara guru dan murid, serta murid dengan teman-teman sekolahnya, tidak bisa tergantikan di negara manapun.
“Pembelajaran digital memang telah menolong masyarakat global lebih mudah mengakses pembelajaran. Tapi, kita tahu bahwa anak-anak belajar paling efektif kalau mereka duduk di kelas, berinteraksi dengan guru, dan bergaul dengan teman sekelas. PTM tidak ada gantinya. Ini pentingnya menjaga sekolah tetap buka. Mari kembalikan semua siswa ke sekolah,” tegas Katheryn.
Kebanyakan negara di masa pandemi memastikan agar hal-hal fundamental seperti literasi dan numerasi diperkuat. Dampak buruk pandemi tidak hanya pada pembelajaran, tapi juga kualitas hidup anak, terutama karena isolasi dan pembatasan sosial.
“Kita harus paham bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi tempat anak bersosialisasi dan mengembangkan kedewasaan emosional anak. Kita tidak bisa mengabaikan itu. Dampak learning loss sangat besar, tapi dampak psikososial juga sangat tinggi. Maka itu kita harus berusaha mendukung anak-anak kembali ke sekolah,” jelasnya.
Penelitian menunjukkan, semakin lama anak-anak berada di luar sekolah, semakin kecil juga kemungkinan mereka kembali ke sekolah. “Kita memang belum keluar dari pandemi, tapi kita sudah punya tindakan-tindakan pengamanan, pemahaman yang lebih baik tentang virusnya, vaksin, dan lain sebagainya,” tambah Katheryn.
Sementara itu, Counsellor of Education and Research, Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Han Xiao Zhang juga menyampaikan pentingnya PTM. “Pemerintah pusat dan negara bagian sudah sepakat bahwa sekolah adalah yang pertama buka dan terakhir tutup dari semua lembaga ketika terkait pembatasan karena Covid-19. Ini komitmen kami memastikan sekolah adalah hal pertama yang kami prioritaskan,” kata Han.
Pemerintah Australia melihat banyak efek negatif bagi siswa dan guru saat pandemi, terutama soal memburuknya kesehatan mental dan turunnya kualitas hidup guru dan murid. Untuk itu Australia membuat banyak kebijakan kesehatan untuk meningkatkan dukungan pada kesehatan mental guru dan siswa, serta menyediakan program tutor bagi siswa yang ketinggalan.
Baca juga: Pemulihan Pendidikan untuk Memastikan Pendidikan Berkualitas
“Kami fokus pada bagaimana agar guru dapat mendukung siswa kembali ke PTM. Banyak siswa menderita karena ada perasaan ketidakpastian dan putus asa. Kami mendorong para guru mengembalikan struktur dan rutinitas lingkungan pembelajaran bagi siswa,” jelas Han.