Dipaksa Mengadopsi Teknologi Digital Lebih Cepat
Teknologi digital adalah keniscayaan. Pandemi membuat penggunaan teknologi digital makin cepat dan masif. Namun, lemahnya literasi digital membuat internet dan gawai belum dimanfaatkan optimal dan bertanggung jawab.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F07%2F22%2F88666154-54e6-4c5e-9ca3-2f0206317a94_jpg.jpg)
Anak-anak bercengkerama dengan gawai di kawasan Cideng, Jakarta Pusat, Rabu (18/7/2018). Penggunaan gawai oleh anak-anak memerlukan pengawasan, panduan, dan pembatasan dari orangtua untuk mencegah dampak negatif dari paparan media sosial dan gim daring.
Pandemi memaksa semua orang lebih akrab dan lebih cepat beradaptasi dengan teknologi digital. Suka tidak suka, apa pun profesinya, dan berapa pun umur atau pendapatannya, semua dituntut memiliki dan mampu menggunakan gawai. Namun, di balik manfaatnya, banyak orang tidak siap dengan segala konsekuensi negatif gawai dan internet.
Lebih dari dua pertiga penduduk sudah memiliki akses terhadap internet pada 2019 atau setahun sebelum pandemi Covid-19. Pengguna terbesarnya adalah remaja dan penduduk dewasa muda, dari pelajar SMA, mahasiswa, hingga pekerja muda. Internet lebih banyak digunakan untuk komunikasi pesan, akses media sosial, dan mencari informasi terkait pekerjaan.
Pada Juni 2020 atau empat bulan pandemi, survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menyebut hampir tiga perempat penduduk sudah mengakses internet, naik 8,9 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun, pertumbuhannya melambat dibandingkan dengan kenaikan dari 2018 ke 2019 yang mencapai 10,12 persen.
Jelang dua tahun pandemi, Januari-Februari 2022, pengguna internet hanya tumbuh 3,32 persen. Namun, intensitas penggunaan internet selama pandemi, baik frekuensi maupun waktu penggunaan, meningkat, khususnya pada remaja dan dewasa muda di semua kelompok ekonomi. Uniknya, jumlah ibu rumah tangga pengguna internet naik drastis dari 48,2 persen pada 2019 menjadi 84,61 persen pada 2022.
Sejak sebelum pandemi Covid-19, jumlah pengguna internet di Indonesia sudah cukup tinggi. Namun, pandemi memaksa semua warga, tanpa pandang usia, pekerjaan, penghasilan, pendidikan, dan tempat tinggal, untuk cepat beradaptasi dengan gawai dan internet. Pembatasan sosial di semua bidang membuat banyak aktivitas sosial masyarakat beralih dari luring ke daring.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F23%2F349b57c3-f60f-47ce-b358-d536e4d8a78c_jpg.jpg)
Gawai menjadi medium bagi anak muda untuk bergaul.
”Pandemi makin mengukuhkan teknologi digital, internet, dan gawai sebagai keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan,” kata Koordinator Riset Kluster Transformasi Kultural dan Masyarakat Digital, Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Lugina Setyawati di Jakarta, Rabu (22/6/2022).
Pandemi makin mengukuhkan teknologi digital, internet, dan gawai sebagai keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan.
Sebelum pandemi, siapa menyangka seluruh proses belajar dan bekerja bakal berpindah melalui internet. Belanja daring, konsultasi kesehatan, rapat, reunian, ibadah, hingga silaturahmi hari raya pun dilakukan daring. Mau tidak mau, semua orang, termasuk mereka yang enggan atau warga lanjut usia, dipaksa bisa menggunakan gawai dengan segala aplikasi yang diperlukan.
Baca juga : Penggunaan Internet Melonjak, Sejumlah Negara Alami Pelambatan Akses
Jika pandemi tidak terjadi, pemanfaatan gawai dan internet semasif dan seintensif saat ini diperkirakan baru akan berlangsung beberapa tahun hingga beberapa puluh tahun ke depan.
”Percepatan penggunaan teknologi digital membawa banyak kemudahan untuk melakukan berbagai hal dengan cepat, di mana saja dan kapan saja, tanpa mengenal waktu dan batas wilayah,” kata dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta yang juga Ketua Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia, Weny Savitry S Pandia.
Tak hanya memudahkan, teknologi digital juga memunculkan peluang ekonomi baru di tengah banyaknya usaha yang berguguran selama pandemi. Usaha daring, pencipta konten dalam bentuk foto, video, ataupun siniar bermunculan. Melalui media digital juga, masyarakat saling menguatkan dan berbagi dengan sesama di tengah ketatnya pembatasan dan turunnya ekonomi.

Regulasi diri
Namun, tak ada teknologi yang sempurna. Di balik manfaat yang dibawa, teknologi pasti memiliki sisi kelam yang sering kali tidak diantisipasi.
Di awal pelaksanaan program belajar dari rumah, banyak siswa menyambut antusias karena merasa tak perlu bangun pagi atau berlelah-lelah menempuh jalan ke sekolah. Seiring waktu, kegagapan pengajaran daring membuat siswa sulit memahami pelajaran, mudah lelah, dan stres. Tiadanya tatap muka langsung juga memunculkan kesepian dan keterasingan di antara siswa.
Baca juga : Gawai yang Kian Mencandu
”Ketiadaan interaksi langsung membuat siswa tidak mendapat energi dari orang lain hingga membuat mereka mudah capai serta motivasi belajar atau menyelesaikan tugas menjadi rendah,” tambah Weny.
Bekerja dari rumah pun setali tiga uang. Jam kerja menjadi sangat fleksibel. Banyak pekerja dituntut siap sedia dengan panggilan kantor atau rapat dari pagi hingga malam. Konflik antarpekerja naik akibat banyaknya kesalahpahaman dan pola komunikasi digital terbatas. Produktivitas dan kesejahteraan pekerja pun turun.
Waktu penggunaan gawai pun meningkat, khususnya di kalangan remaja dan dewasa muda. Sebagian besar bukan untuk belajar, bekerja, atau mengerjakan tugas, melainkan untuk bermedia sosial, menikmati aneka hiburan, atau bermain gim sebagai pelarian dari stres yang dihadapi.
Tingginya intensitas itu memicu ketagihan gawai yang ujungnya memaparkan mereka pada berbagai masalah baru. Tugas terbengkalai, kurang tidur, hingga memperparah gangguan mental yang muncul. Intensitas komunikasi langsung dengan orang lain yang tinggal satu rumah pun berkurang hingga meningkatkan risiko konflik dan kekerasan dalam keluarga.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F02%2F13%2F6c1e110c-072e-4706-b2f7-9f95b0363e55_jpg.jpg)
Pelajar menggunakan layanan internet gratis yang disediakan di Kantor Dinas Komunikasi dan Informatika DI Yogyakarta, Yogyakarta, Rabu (13/2/2019). Pemerintah terus menambah titik jaringan internet nirkabel gratis di sejumlah ruang publik untuk meningkatkan akses informasi bagi masyarakat serta menambah daya tarik wisata Kota Yogyakarta.
Dunia siber juga menjadi tempat yang rentan terhadap tindak kejahatan, mulai dari perundungan, pelecehan, berita bohong (hoaks), kecurangan (fraud), penipuan (scam), ujaran kebencian, hingga diskriminasi. Kondisi itu menempatkan netizen Indonesia berada di peringkat ke-29 dari 32 negara yang disurvei dalam soal Indeks Keadaban Digital 2021.
Menurut Weny, banyaknya orang terjebak dalam penggunaan gawai berlebih dan perilaku tidak bertanggung jawab karena dipicu oleh rendahnya kemampuan meregulasi diri. Kemampuan ini akan menentukan kapan seseorang berhenti menggunakan gawai, mengerjakan tugas, atau menikmati hiburan, serta memilah apa yang pantas untuk diunggah atau sopan berkomentar.
”Regulasi diri membuat seseorang mampu menilai, memutuskan, atau mengevaluasi tindakan yang dilakukan,” katanya. Kemampuan ini terbentuk sejak kecil dari didikan orangtua dan pengaruh lingkungan sekitar.
Literasi digital
Di sisi lain, rendahnya kemampuan membaca membuat banyak netizen malas membaca hingga kemampuan berpikir kritis mereka lemah. Tayangan video dan audio yang memanjakan banyak indera makin mudah mengaduk emosi mereka dan kian menyulitkan menalar. Akibatnya, mereka mudah terpancing, termakan hasutan, hingga melakukan hal-hal di luar logika di internet.
Baca juga : Kecanduan Internet pada Anak Sama Buruknya dengan Kecanduan Narkoba
Lemahnya kemampuan berpikir kritis itu juga terjadi pada generasi Z yang merupakan digital native alias sudah akrab dengan teknologi sejak lahir. Studi Lugina dan rekan di Medan, Jakarta, Bandung, dan Makassar pada pemilu presiden terakhir menunjukkan masih banyak anak muda yang gemar meneruskan (forward) informasi tanpa memikirkan atau mengeceknya lebih dulu.

Koordinator Kelompok Kerja Psikologi Moralitas, Ikatan Psikologi Sosial Indonesia, Subhan El Hafiz seperti dikutip Kompas, 29 Maret 2021, menilai netizen Indonesia masih menganggap dunia maya sebagai dunia yang berbeda dengan dunia nyata. Padahal, dunia maya adalah dunia baru yang sejatinya juga nyata.
Akibatnya, banyak warganet atau netizen bersikap mendua. Di dunia maya dengan anonimitasnya, mereka lancar menghina, merendahkan, dan menebar fitnah alias flaming. Namun, saat bertemu langsung, umumnya hanya diam. Keributan yang kerap terjadi di media sosial sering kali tidak terjadi di dunia nyata. Namun, perilaku ini bak bara dalam sekam yang bisa sewaktu-waktu memantik keributan.
Upaya membangun sikap kritis terhadap informasi apa pun di internet itu makin menemukan esensinya karena dunia digital bekerja dengan algoritma atau cara tertentu yang sering kali tidak disadari penggunanya. Padahal, ”Secanggih apa pun teknologi digital tetaplah buatan manusia hingga perlu diwaspadai pola kerjanya,” kata Lugini.
Melimpahnya informasi di internet memunculkan budaya pengenyahan atau cancel culture. Seseorang yang tidak suka terhadap satu informasi bisa dengan mudah mengabaikannya. Perilaku ini akan dibaca algoritma digital hingga mesin akan membanjiri pengguna tersebut dengan informasi sesuai preferensi atau yang disukainya saja.
Budaya pengenyahan ini pada akhirnya akan membentuk filter bubble hingga informasi yang diterima seseorang bersifat seragam. Mereka akan kesulitan mendapat perspektif berbeda, memandang segala sesuatu secara hitam-putih, mudah terjebak hoaks, menjadi sasaran empuk pengiklan, tidak peduli sekitar, dan yang pasti menjadi sulit berpikir kritis.

Durasi penggunaan internet yang aman untuk anak.
Media sosial juga memunculkan perilaku fear of missing out atau FOMO, rasa takut dan cemas akan ketinggalan sesuatu. Sikap ini sering menurunkan rasa percaya diri seseorang karena tidak menjadi bagian apa yang sedang hit atau menjadi tren.
FOMO makin menemukan momentumnya di tengah kuatnya budaya flexing alias pamer di internet. Banyak orang tidak menyadari jika flexing hanya dijadikan alat seseorang agar bisa diterima lingkungannya dengan berpura-pura kaya atau sukses serta dijadikan alat promosi atau pemasaran produk tertentu.
Akibatnya, banyak orang terjebak membeli produk tertentu yang sejatinya tidak dibutuhkan atau belanja impulsif, berinvestasi dengan hal yang tidak dipahami, hingga berutang meski tidak membutuhkan. Perilaku ini menguat dengan berkembang prinsip you only live once (YOLO) di kalangan anak muda hingga mereka sulit berpikir panjang.
Dampak negatif dunia digital itu hanya bisa ditekan jika masyarakat memiliki literasi digital yang baik. ”Internet bisa diberdayakan untuk membawa perubahan positif menjadi masyarakat yang kreatif, kritis, reflektif, dan bertanggung jawab,” tambah Lugini.
Namun, upaya itu tentu tidak mudah. Selain rendahnya budaya baca, kesenjangan digital di Indonesia cukup tinggi. Jika kesenjangan digital tingkat pertama yang berupa keterbatasan akses bisa cepat dipenuhi dengan pembangunan infrastruktur yang masif dan ekonomi, kesenjangan digital tingkat kedua dan ketiga butuh usaha ekstra dan panjang.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F03%2F18%2F176ea424-111d-4f59-9d65-7a226c97460e_jpg.jpg)
Siswa SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo, Annada, berolahraga dengan dipandu gurunya secara daring di Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (18/3/2021). Pemerintah menyiapkan pembukaan kembali sekolah tatap muka saat pandemi. Salah satu persiapan adalah memvaksin guru-guru.
Kesenjangan digital tingkat kedua terjadi jika seseorang memiliki akses internet dan gawai, tetapi hanya mampu menggunakan atau tidak memiliki kemampuan reflektif atas informasi yang beredar. Sementara kesenjangan digital tingkat ketiga adalah orang yang memiliki akses, tetapi belum bisa mengoptimalkan gawai yang dimiliki untuk menghasilkan keuntungan.
”Literasi digital menjadi solusi untuk hidup berdampingan dalam pemanfaatan teknologi,” kata Weny.
Kini, kita tidak mungkin mundur lagi dan menghindar dari internet dan gawai. Bagaimanapun, teknologi digital telah memberikan ruang ekspresi dan kreasi baru sebagai perpanjangan dunia nyata. Karena itu, hanya mereka yang bisa mengoptimalkan pemanfaatan teknologi digital dan menekan konsekuensi negatifnya yang akan jadi pemenang. Sejahtera lahir dan batin dengan digital.