Upaya penanggulangan demam dengue melalui 3M plus sudah digaungkan sejak lama. Namun, hingga saat ini kasus dengue masih tinggi di masyarakat, Pendampingan diperlukan untuk memastikan gerakan tersebut bisa berkelanjutan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Pasien DBD dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek, Bandar Lampung. Kamis (31/1/2019). Selama Januari, terdapat 41 pasien DBD yang dirawat di rumah sakit tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Penyakit dengue atau yang dikenal dengan demam dengue merupakan penyakit endemis di Indonesia. Berbagai upaya penanggulangan yang dilakukan selama ini dinilai kurang efektif untuk menekan kasus penularan di masyarakat. Butuh pendampingan yang berkelanjutan agar gerakan penanggulangan dengue bisa lebih optimal.
Kasus dengue sampai pada minggu ke-22 tahun 2022 secara kumulatif terlaporkan 45.387 kasus dengan 432 kematian. Kasus dengue ini dilaporkan dari 449 kabupaten/kota di 34 provinsi. Adapun kasus tertinggi terjadi di Kota Bandung, Kota Bekasi, Sumedang, Kota Depok, dan Cirebon.
Pelaksana Tugas Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Tiffany Tiara Pakasi menyampaikan, pemerintah telah berkomitmen untuk menekan laju penularan dengue di Indonesia. Dalam rencana dan strategi nasional penanggulangan dengue 2021-2025, telah ditargetkan incidence rate (IR) demam berdarah dengue bisa mencapai kurang dari atau sama dengan 10 per 100.000 penduduk. Sementara saat ini, IR yang dilaporkan masih 16,51 per 100.000 penduduk.
”Berbagai penguatan akan dilakukan dalam upaya pengendalian dengue. Dalam strategi nasional penanggulangan dengue, sudah disebutkan beberapa langkah yang akan dilakukan, antara lain penguatan pengendalian vektor, penguatan sistem surveilans dan manajemen KLB, dan peningkatan partisipasi dan kemandirian masyarakat,” ujarnya dalam Peringatan Hari Dengue Asean di Jakarta, Rabu (15/6/2022).
Tiara menuturkan, sosialisasi terus dilakukan ke masyarakat untuk mencegah penularan dengue melalui pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M plus. Upaya tersebut sudah digaungkan sejak lama, yakni dengan menguras, menyikat, dan menutup tempat penampungan air, mendaur ulang sampah yang dapat menampung air, serta menggunakan kelambu ataupun memelihara ikan pemangsa jentik di kolam.
Selain itu, gerakan satu rumah satu jumantik juga semakin diperkuat. Gerakan ini membutuhkan peran serta dan pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian nyamuk dengue dalam lingkungan rumahnya sendiri. Diharapkan, gerakan ini menjadi budaya dalam setiap keluarga.
Pendampingan
Menurut Tiara, meskipun gerakan tersebut sudah lama disosialisasikan dan dilakukan di masyarakat, hal itu belum terimplementasi dengan optimal. Kondisi sosial budaya di masyarakat turut memengaruhi.
”Kunci yang penting yakni pendampingan. Jadi memang harus ada champion di masyarakat, seperti dari universitas atau perwakilan masyarakat. Gerakan ini juga harus terus dikawal sehingga kerja sama dari berbagai pemangku kepentingan amat diperlukan,” katanya.
Kunci yang penting yakni pendampingan. Jadi memang harus ada champion di masyarakat, seperti dari universitas atau perwakilan masyarakat. Gerakan ini juga harus terus dikawal sehingga kerja sama dari berbagai pemangku kepentingan amat diperlukan.
Direktur Sinkronisasi Urusan Pembangunan Daerah III Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Budiono Subambang menuturkan, komitmen dari pemerintah daerah terus didorong dalam percepatan penanggulangan dengue. Kebijakan terkait upaya penanggulangan DBD perlu disusun dengan melibatkan semua sektor terkait, mulai dari masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi agama, organisasi profesi, swasta, dan dunia usaha.
”Komitmen yang kuat dari kepala daerah sangat penting dalam penanggulangan demam berdarah dengue, khususnya di wilayah endemis. Itu dapat diwujudkan dengan penyediaan sumber daya yang baik, seperti tenaga kesehatan, obat, alat kesehatan, dan biaya operasional,” katanya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Petugas melakukan pengasapan di kompleks perumahan di kawasan Lengkong Gudang Timur, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (7/2/2019).
Ketua Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (Itagi) Sri Rezeki Hadinegoro mengatakan, manajemen infeksi virus dengue sangat kompleks. Itu mulai dari aspek epidemiologi, manajemen vektor terintegrasi, pengendalian lingkungan, layanan pasien, laboratorium, dan pengendalian vektor, yakni nyamuk Aedes aegypti.
Manajemen vektor
Ia berpendapat, manajemen vektor terintegrasi merupakan hal utama yang harus diperhatikan. Aspek ini pula yang dapat menentukan keputusan atas program yang harus dilaksanakan dalam penanggulangan dengue sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Karena itu, semua langkah yang dinilai dapat menurunkan penularan dengue perlu didata, termasuk dalam mencegah KLB, upaya mengontrol nyamuk Aedes, dan ketersediaan infrastruktur air bersih.
Perundang-undangan yang terkait juga diperlukan sebagai payung hukum dalam pelaksanaan penanggulangan dengue. ”Masalahnya saat ini sudah terjadi kejenuhan kapasitas di masyarakat untuk melaksanakan program secara berkesinambungan. Perlu inovasi yang mendukung,” kata Sri.
Ia menuturkan, program pencegahan penularan dengue dapat dipertahankan secara berkesinambungan apabila ada komitmen yang kuat dan terarah untuk mencapai penurunan kasus dan kontrol vektor. Dengan begitu, perubahan perilaku di masyarakat dapat terwujud dalam jangka panjang.
Pendanaan untuk distribusi dan penyebarluasan program juga diperlukan, khususnya untuk pelatihan dan monitoring. Insentif pun dapat diberikan sebagai motivasi yang berkesinambungan untuk petugas yang terlibat.
”Pencegahan infeksi dengue memerlukan berbagai aspek yang harus berjalan dan terintegrasi. Partisipasi masyarakat dan mobilisasi masyarakat sangat penting agar program ini berjalan berkesinambungan,” tutur Sri.