Menggugat Pasal Promosi Profesor ke Mahkamah Konstitusi
Saat seorang dosen menggugat pasal yang mengatur prosedur pengangkatan guru besar ke MK, Ketua MK Anwar Usman justru menerima gelar guru besar kehormatan dari Unissula, Semarang.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
Mimpi Sri Mardiyati menyandang gelar profesor kandas. Hampir 2,5 tahun lalu, usulan Rektor Universitas Indonesia agar Sri dapat menyandang jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi itu ditolak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Kini, prosedur memperoleh gelar itu ia gugat di Mahkamah Konstitusi.
Jika sebagian tokoh politik dan pejabat negara bisa berkali-kali memperoleh promosi guru besar kehormatan dari sejumlah perguruan tinggi, tidak demikian halnya dengan Sri Mardiyati. Padahal, doktor pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI) ini telah mengabdi sebagai pengajar di UI selama 40 tahun.
Butuh waktu 3 tahun bagi Sri memperoleh promosi profesor atau guru besar. Upaya itu dimulai dari usulan Dewan Guru Besar FMIPA yang menyarankan Sri untuk menambahkan publikasi di jurnal internasional bereputasi sebagai syarat usul kenaikan jenjang guru besar pada 2016. Ia kemudian membuat karya ilmiah sebagai penulis pertama dengan judul ”Solving Multiple Travelling Salesman Problem Using K-Means Clustering-Genetic Ant Colony System Algorithm” yang kemudian dimuat di Far East Journal of Mathematical Science (FJMS) Volume 102 Nomor 7 Tahun 2017.
FJMS merupakan jurnal internasional bereputasi dan persyaratan pemuatan suatu karya ilmiah di jurnal tersebut ketat dan tak mudah. FJMS terindeks di berbagai indeks jurnal internasional, seperti OCLC, Google Scholar, ProQuest dan Scilit, serta Scopus hingga Januari 2018.
Pengusulan Sri menjadi guru besar pun diproses kembali oleh FMIPA UI. Pada 14 Mei 2019, Dewan Guru Besar FMIPA UI menyatakan usulan kenaikan jabatan Sri memenuhi syarat sehingga disetujui untuk diteruskan ke Rektor UI. Rektor UI menindaklanjuti dengan mengirimkan berkas usulan kenaikan jabatan guru besar ke Tim Penilai Angka Kredit Pusat Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Namun, pada 22 Oktober 2019, usulan tersebut ditolak dengan alasan di antaranya karya ilmiah tidak baik dan tidak dapat dipakai sebagai syarat khusus.
Penolakan itu ”mengantarkan” Sri, dengan didampingi kuasa hukumnya, Maqdir Ismail, ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia mempersoalkan Pasal 50 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mengatur seleksi, pengangkatan, dan penetapan jenjang jabatan akademik tertentu ditentukan oleh setiap satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Namun, pada praktiknya, meskipun satuan pendidikan (dalam hal ini UI) telah menyetujui pengangkatan Sri menjadi guru besar, kementerianlah yang menjadi penentu. Dalam permohonan yang disampaikan, Pasal 50 Ayat (4) UU No 14/2005 dinilai tidak jelas dan menimbulkan tafsir hukum yang beragam. Oleh karena itu, MK diminta menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ”Seleksi, penetapan dan pengangkatan jenjang jabatan akademik, termasuk Guru Besar, merupakan kewenangan sepenuhnya dari Rektor sebagai pimpinan satuan pendidikan tinggi, tanpa ada campur tangan Menteri”.
MK sudah menggelar sidang tersebut sejak 16 Juni 2021 dan berakhir pada 24 Januari 2022. Namun, sidang putusan sampai saat ini belum dijadwalkan. Mengacu pada laman resmi MK saat dikunjungi 15 Maret 2022 sore, tidak ada jadwal sidang pembacaan putusan hingga akhir Maret.
Di saat uji materi campur tangan kementerian pendidikan dalam pengangkatan guru besar belum selesai, pada Jumat (11/3) Ketua MK Anwar Usman menerima gelar profesor kehormatan dari Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Semarang, Jawa Tengah.
Rektor Unissula Gunarto menyebutkan, Anwar Usman perlu diangkat sebagai profesor kehormatan karena sudah memiliki kualifikasi akademik doktor, punya kompetensi dan/atau prestasi eksplisit serta pengetahuan yang luar biasa. Selain itu, Ketua MK tersebut juga dinilai memiliki pengalaman yang relevan serta mendapat pengakuan nasional dan internasional, juga bermanfaat bagi kemajuan di bidang hukum.
Dalam sambutannya, Anwar Usman mengaku merasa haru, bangga, dan penuh sukacita menerima SK penetapan status profesor kehormatan dari Unissula. Ia mengaku telah berkali-kali menerima tawaran, baik lisan maupun tertulis, dari berbagai universitas negeri dan swasta untuk dikukuhkan sebagai guru besar sejak 4 atau 5 tahun lalu, tetapi ia selalu menolak.
Ada beberapa pertimbangan yang membuat ia akhirnya bersedia menerima gelar profesor kehormatan, di antaranya aktivitas hakim konstitusi sangat dekat dengan dunia keilmuan. Tak hanya di bidang hukum, tetapi juga berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara lain yang diatur dalam berbagai regulasi yang tidak jarang berujung pada pengujian konstitusionalitas di MK.
Ia bahkan mengutip kata-kata dari hakim konstitusi jilid pertama, Laica Marzuki, bahwa menjadi hakim konstitusi seperti menjadi mahasiswa S-4. Sebab, ruang sidang MK dipenuhi dengan diskusi dan perdebatan di antara para ahli dalam bidang masing-masing yang digeluti.
Berpotensi langgar etik
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana sangat menyayangkan keputusan Ketua MK menerima gelar profesor kehormatan dari Unissula. Selain tidak sensitif, tindakan tersebut tidak bijak, bahkan berpotensi melanggar kode etik hakim konstitusi. Sebagai satu-satunya jabatan publik yang bersyarat ”negarawan”, hakim konstitusi selayaknya mencontohkan nilai-nilai kenegarawanan itu dengan standar etika yang jauh di atas rata-rata.
Di tengah minimnya etika bernegara yang salah satunya ditandai dengan maraknya gratifikasi politik, hakim konstitusi, terlebih ketua MK, sebaiknya memberikan suri teladan dengan menolak pemberian gelar itu. Dengan tetap menerimanya, Ketua MK menjadi tidak sensitif dan tidak bijak serta kehilangan kesempatan memberikan teladan etika moralitas yang seharusnya ditegakkan.
Bahkan, keputusan tersebut berpotensi melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Peraturan MK No 9/2006, khususnya Prinsip Integritas Butir 3 yang melarang hakim konstitusi menerima hadiah atau manfaat dari ”pihak yang berperkara atau pihak lain yang memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung terhadap perkara yang akan atau sedang diperiksa”.
Menerima gelar profesor kehormatan di tengah pemeriksaan perkara yang terkait dengan jenjang jabatan akademik adalah nyata-nyata berpotensi pelanggaran prinsip integritas sesuai Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
”Ketua MK tentu mengerti, saat ini MK sedang ditunggu putusannya dalam perkara nomor 20/PUU-XIX/2021, yang menguji UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Lebih khusus lagi, pasal yang diuji adalah Pasal 50 Ayat (4) yang terkait dengan jenjang jabatan akademik. Oleh karena itu, menerima gelar profesor kehormatan di tengah pemeriksaan perkara yang terkait dengan jenjang jabatan akademik adalah nyata-nyata berpotensi pelanggaran prinsip integritas sesuai kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Sudah sepatutnya, Ketua MK diproses sidang etika atas potensi pelanggaran tersebut,” tutur Denny.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, yang juga juru bicara MK, enggan berkomentar saat dimintai tanggapan mengenai persoalan tersebut. Apalagi, ia menjadi salah satu anggota panel dalam perkara UU Guru dan Dosen. Selain itu, mendapatkan gelar profesor kehormatan merupakan urusan individual. Ia menyarankan agar menanyakan langsung kepada penerima gelar.