Pasca Pencabutan Ribuan Izin Usaha, Masyarakat Adat Menantikan Pengembalian Tanah Ulayat
Pemerintah mencabut ribuan izin hak penguasaan lahan di sektor usaha pertambangan, kehutanan, dan perkebunan. Masyarakat adat menuntut sikap tegas pemerintah dalam memastikan pengembalian tanah ulayat.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pencabutan lebih dari 2.000 izin hak penguasaan lahan di sektor usaha pertambangan, kehutanan, dan perkebunan oleh pemerintah masih menyisakan ketidakpastian. Masyarakat adat menantikan pengembalian tanah ulayat yang sebelumnya dimanfaatkan untuk beragam investasi tersebut.
Sejumlah lahan yang izinnya dicabut itu di antaranya tersebar di Papua dan Papua Barat. Namun, masyarakat belum mendapatkan kepastian melalui regulasi yang mengatur pengembalian tanah ulayat berdasarkan wilayah adat milik marga atau keret.
Ambo Klagilit, pemuda adat Malamoi di Kabupaten Sorong, Papua Barat, mengatakan, pasca pencabutan sejumlah izin usaha di sana, belum ada kebijakan politik yang nyata untuk mengembalikan tanah ulayat kepada masyarakat adat. “Saat ini muncul pertanyaan besar di internal masyarakat Suku Moi. Apakah lahan yang izin usahanya sudah dicabut itu nantinya dikembalikan ke masyarakat adat atau tidak?” ujarnya dalam seminar web ‘Pencabutan Izin, Land Bank, dan Masa Depan Masyarakat Adat’ yang digelar Greenpeace Indonesia, Kamis (24/2/2022).
Ambo menuturkan, sejumlah warga justru tidak mengetahui pencabutan izin usaha di wilayah adatnya. Mereka baru mengetahui setelah adanya gugatan yang dilayangkan perusahaan pemegang izin usaha sebelumnya kepada Bupati Sorong.
Masyarakat menuntut sikap tegas pemerintah dalam memastikan pengembalian tanah ulayat. Apalagi, saat ini terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah yang merupakan badan hukum yang dibentuk pemerintah pusat dengan kewenangan khusus mengelola tanah.
Peraturan tersebut merupakan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. “Masyarakat kemudian berpikir apakah ini usaha untuk menggeser (izin) satu perusahaan lalu memasukkan perusahaan lain? Atau sengaja tanah ditelantarkan untuk kemudian dikuasai lagi oleh negara melalui Bank Tanah,” ujarnya.
Untuk menjawab kekhawatiran itu, pemerintah diminta segera mengambil langkah konkret dalam menentukan hak penguasaan lahan. Jika tidak, penyerobotan lahan ulayat berpotensi berulang.
“Kurang kontrolnya pemerintah membuat masyarakat adat terus menjadi korban atas nama investasi. Selain itu, pengawasan terhadap investor ataupun perusahaan yang memperoleh izin usaha juga minim,” jelasnya.
Ambo menambahkan, kepastian hukum pengembalian tanah ulayat sangat mendesak. Hal ini diperlukan agar masyarakat bisa mandiri mengelola wilayah adatnya untuk mendukung kehidupan mereka.
“Sejangkal tanah pun di Papua tidak ada yang kosong. Semuanya ada pemiliknya dan mempunyai sejarah dan cerita dengan manusianya,” katanya.
Menurut Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada Maria SW Sumardjono, kekhawatiran masyarakat adat kehilangan hak atas tanah ulayatnya dapat dipahami. Menurut dia, regulasi mengenai Bank Tanah belum memberikan jaminan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan akan tanah untuk kepentingan investasi dan kepentingan masyarakat adat.
“Bank Tanah dan hak MHA (masyarakat hukum adat) ini ibarat jauh panggang dari api. UU Cipta Kerja dan aturan pelaksanaanya tak mengatur tegas tentang MHA dan hak ulayat. Jika tanah ulayat dibutuhkan untuk penyediaan tanah dalam operasional Bank Tanah, MHA berpotensi dirugikan,” jelasnya.
Menurut Maria, restitusi atau pengembalian tanah ulayat seharusnya dapat dilakukan. Apalagi, di sejumlah kawasan izin usaha, masyarakat adat yang dahulu melepas lahan menjadi tanah negara masih berada di sekitar kawasan tersebut.
Ia pun mengusulkan, jika dimanfaatkan pihak ketiga, tahan ulayat tidak perlu dilepaskan menjadi tanah negara. “Selain itu perlu mengatur tentang bentuk dan jenis ganti rugi kepada MHA jika tanah ulayatnya diperlukan untuk kepentingan umum,” ucapnya.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo mengatakan, pencabutan izin usaha sebaiknya dianggap sebagai bagian dari proses perizinan biasa yang semestinya dilakukan. Namun, yang harus diperhatikan, kemungkinan penyimpangan, baik dalam pencabutan izin maupun alokasi hutan atau lahan setelah izin dicabut.
“Sebab, bila hal itu terjadi, perizinan berikutnya yang memanfaatkan lahan bekas yang dicabut izinnya tersebut dapat mengalami hal serupa,” ujarnya.