Penetapan RUU TPKS sebagai RUU usul inisiatif DPR adalah sebuah kemajuan. DPR diharapkan segera melanjutkan proses pembahasan dan pengesahan UU TPKS yang sudah dinantikan para korban kekerasan seksual.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat mendapat apresiasi dari kalangan publik serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atas ditetapkannya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai RUU usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat. DPR diharapkan segera melanjutkan tahapan proses legislasi agar proses pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual segera berjalan.
DPR mesti secepatnya mengirim surat kepada Presiden sehingga Presiden segera menugaskan kementerian yang akan mewakili pemerintah untuk membahas Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) bersama DPR.”Tentunya kami selalu siap apabila nantinya Presiden memerintahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk menyusun daftar isian masalah (DIM) dari RUU TPKS,”ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Puspayoga, Selasa (18/1/2022).
Bintang mengatakan, penetapan RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR sudah dinanti sejak lama, terutama oleh para korban kekerasan seksual. Karena itu, keputusan Rapat Paripurna DPR pada Selasa siang sangat berarti bagi para korban kekerasan seksual.
”Ini merupakan angin segar bagi upaya menuntaskan kekerasan seksual, terutama yang dialami perempuan dan anak. Kekerasan seksual juga sering kali berdampak kepada seluruh keluarga,”ujar Bintang.
Ini merupakan angin segar bagi upaya menuntaskan kekerasan seksual, terutama yang dialami perempuan dan anak. Kekerasan seksual juga sering kali berdampak kepada seluruh keluarga.
Untuk itu, Bintang berharap proses pembahasan dari RUU TPKS nantinya dapat berjalan lancar, menemukan kesepahaman di dalam pembahasan setiap pasal pengaturannya, mulai dari aspek pencegahan, penanganan, hingga pemulihan dan rehabilitasi.
Untuk mempercepat pembahasan RUU TPKS, Kementerian PPPA juga telah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga yang terkait melalui Gugus Tugas Percepatan Pembahasan RUU TPKS.
FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga melintas di depan mural berisi seruan untuk mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang dibuat di tembok Stadion Kridosono, Yogyakarta, Senin (10/1/2021). Berbagai elemen masyarakat terus menyuarakan urgensi pengesahan RUU TPKS melalui bermacam media seiring terus berulangnya kemunculan kasus kekerasan seksual, terutama terhadap perempuan dan anak-anak.
Perspektif korban
Kalangan organisasi masyarakat sipil yang selama ini mendampingi dan mengadvokasi para korban kekerasan seksual memberikan apresiasi tinggi kepada pimpinan DPR yang akhirnya memenuhi janji menetapkan RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR. Pemerintah diharapkan memastikan DIM yang menjamin perlindungan korban, keluarga, pendamping, dan saksi.
”RUU TPKS adalah perjuangan panjang, kerja keras banyak pihak, mengandung kepedihan derita korban tanpa jeda. Karena itu, harapan besar UU TPKS ini sepadan dengan perjuangannya, dapat menjamin masa depan Indonesia yang penuh rasa aman, adil, setara, dan maju bagi semua,”ujar Misiyah, Direktur KAPAL Perempuan, yang juga hadir dalam rapat paripurna di DPR, Selasa.
Jaringan Pembela Perempuan Korban Kekerasan Seksual juga mengapresiasi langkah DPR yang mengesahkan RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR, yang selama delapan tahun diperjuangkan. Oleh karena itu, publik diajak mengawal bersama-sama agar RUU TPKS dapat dibahas dan disahkan sesuai dengan tujuan pembentukan RUU TPKS.
Memastikan RUU ini tidak memasukkan isu-isu kesusilaan agar tidak tumpang-tindih dengan UU atau RUU KUHP yang telah mengakomodasi tindak pidana kesusilaan, seperti perzinaan atau penyimpangan seksual atau sejenisnya yang tidak relevan.
”Pengaturan kesusilaan berpotensi memperkuat stigma serta reviktimisasi korban, membuat korban enggan melaporkan kasusnya untuk mendapatkan hak-hak dan keadilan, serta berpotensi menghapus impunitas para pelaku kekerasan seksual,”ujar Sri Nurherwati, yang juga komisioner Komnas Perempuan periode 2015-2019.
Kompas/Wawan H Prabowo (WAK)
Para demonstran yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil (Gemas) berdemonstrasi menuntut pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (Sekarang RUU TPKS) di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (17/9). Mereka meminta DPR segera membentuk Tim Perumus RUU PKS dengan melibatkan masyarakat selama proses pembahasan RUU PKS.
Perbaiki substansi
Apresiasi kepada DPR juga disampaikan Forum Pengada Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan (FPL). Bahkan, apresiasi secara khusus diberikan kepada perempuan-perempuan DPR dari Fraksi PDI-P, PKB, Nasdem, PAN, Demokrat, Gerindra, Golkar, dan PPP.
Meski demikian, FPL mendorong DPR membahas RUU TPKS dengan cepat agar tahun ini, setidaknya pertengahan 2022, sudah UU TPKS yang benar-benar melindungi korban sudah disahkan.
”Proses pembahasan harus dilakukan secara terbuka, melibatkan peran serta masyarakat, khususnya lembaga layanan, penyintas, dan keluarga korban, mengingat ada beberapa hal krusial yang belum terakomodasi dalam draf yang dikeluarkan DPR tanggal 8 Desember 2021 lalu,” ujar Novitasari dari FPL.
DPR juga harus melakukan perbaikan substansi draf RUU TPKS yang belum mengakomodasi semua elemen kunci, di antaranya memasukkan lima bentuk kekerasan seksual, mulai dari pemerkosaan, pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan pemaksaan perkawinan sebagai bentuk kekerasan seksual.
Selain merumuskan kembali sejumlah pengaturan dalam draf RUU TPKS, DPR diharapkan menghilangkan pasal asas iman, takwa, dan akhlak mulia yang dimasukkan dalam draf RUU TPKS karena tidak sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU No 12/2011.