Relevansi Sekolah Kejuruan dengan Industri Perlu Diperkuat
Kompetensi lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) yang tidak relevan menyebabkan minimnya serapan di dunia kerja. Dari survei angkatan kerja nasional (Sakernas), angka pengangguran SMK lebih tinggi daripada SMA.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Suasana forum kajian pembangunan bertajuk “Revitalisasi SMK untuk Menjawab Tantangan Pasar Tenaga Kerja”, di Jakarta, Kamis (26/9/2019).
JAKARTA, KOMPAS – Relevansi pendidikan kejuruan terhadap kebutuhan industri di Indonesia perlu diperkuat agar lulusan sekolah kejuruan mampu terserap secara optimal. Untuk itu, perlu adanya perbaikan secara menyeluruh. Mulai dari penyesuaian kurikulum, penyediaan sarana dan prasarana yang mumpuni, serta peningkatan kualitas tenaga pengajarnya.
Kompetensi lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) yang tidak relevan menyebabkan minimnya serapan di dunia kerja. Dari survei angkatan kerja nasional (Sakernas), angka pengangguran SMK lebih tinggi daripada SMA. Pada Agustus 2018 tercatat, angka pengangguran SMK sebesar 11,24 persen dan SMA, 7,95 persen.
Pemerhati dan Konsultan Pendidikan, Petra W Bodrogini dalam Forum Kajian Pembangunan bertajuk “Revitalisasi SMK untuk Menjawab Tantangan Pasar Tenaga Kerja”, di Jakarta, Kamis (26/9/2019) menuturkan, ada tiga hal pokok yang perlu diubah untuk memastikan relevansi sekolah menengah kejuruan.
Ketiganya, memastikan tersedianya ruang bagi inovasi, perbaikan sistem yang lebih luas, dan berorientasi pada belajar sepanjang hayat.
“Revitalisasi SMK dilakukan utamanya untuk memperbaiki mismatch (ketidakcocokan) antara yang disediakan di sekolah dengan yang dibutuhkan industri. Inovasi ini bisa diwujudkan dengan pemanfaatan media digital dalam menjembatani lulusan yang mencari kerja dengan kebutuhan industri. Perbaikan sistem pun bisa difokuskan pada sekolah yang produktivitasnya rendah,” katanya.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Kurikulum pendidikan SMK dan pengangguran terbuka lulusan SMK.
Menurut Petra, tantangan dalam upaya revitalisasi SMK adalah penerapan sistem pendidikan. Sistem yang dibentuk harus bersifat fleksibel agar mudah beradaptasi dengan perkembangan dunia usaha yang berubah cepat.
Terkadang, hambatan pada pengembangan sistem pendidikan tidak hanya karena masalah pembiayaan pengadaan sarana dan prasarana sekolah tetapi juga sistem pengadaan yang berlaku. Keterbatasan sarana dan prasarana jangan sampai menghambat pengembangan kompetensi siswa.
“Persepsi penyelenggaraan pendidikan dan masyarakat terhadap pendidikan kejuruan yang menganggap tidak kompeten dan kurang mumpuni juga harus dihapuskan. Karena itu, siswa SMK harus dipastikan mendapatkan bimbingan karir yang kuat serta memiliki keterampilan yang unggul,” ucapnya.
Peneliti senior Article 33 Indonesia, Lukman Hakim menambahkan, pembenahan kurikulum SMK tidak akan berpengaruh signifikan mendorong relevansi pendidikan kejuruan jika tidak diimbangi dengan pembenahan pada ketersediaan fasilitas sekolah dan tenaga pendidik yang berkualitas. Sebagian besar siswa SMK saat ini belajar di sekolah yang dinilai kurang berkualitas.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Data akreditasi SMK.
Berdasarkan Data Pokok Direktorat Pembinaan SMK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dari sekitar 5 juta siswa SMK, sekitar 2,5 juta siswa di antaranya bersekolah di SMK yang tidak terakreditasi. Lainnya, sekitar 1,4 juta berada di SMK akreditasi A, 817.000 siswa di SMK akreditasi B, 134.000 siswa di SMK akreditasi B, dan sisanya di SMK yang belum terakreditasi.
“Masalah lainnya adalah ketersediaan guru produktif yang kompeten. Jumlah guru produktif sebenarnya sudah memadai, namun distribusinya belum merata dan sebagian tidak produktif,” kata Lukman.