UU Provinsi Kalsel Digugat ke MK Terkait Perubahan Kedudukan Ibu Kota
Perubahan kedudukan ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan dari Banjarmasin ke Banjarbaru ditentang sejumlah pihak. Mereka mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalsel ke MK.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Perubahan kedudukan ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru ditentang sejumlah pihak. Melalui kantor hukum Borneo Law Firm, mereka mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan ke Mahkamah Konstitusi.
UU Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan, yang ditetapkan dan berlaku pada 16 Maret 2022, memuat perubahan kedudukan ibu kota provinsi. Pada Pasal 4 UU No 8/2022 disebutkan ibu kota Provinsi Kalsel berkedudukan di Kota Banjarbaru.
Direktur Utama Borneo Law Firm Muhamad Pazri mengatakan, pihaknya membawa amanah para tokoh, warga Kota Banjarmasin, dan warga Kalsel yang tidak setuju perubahan kedudukan ibu kota Provinsi Kalsel.
”Kami mendukung dan mempertahankan agar ibu kota Kalsel tetap berkedudukan di Banjarmasin,” katanya lewat pernyataan tertulis yang diterima di Banjarmasin, Minggu (24/4/2022).
Menurut Pazri, Borneo Law Firm bersama Forum Kota Banjarmasin serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Kota Banjarmasin sudah datang ke Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta pada Jumat (22/4). Tujuannya, menyerahkan kelengkapan dokumen asli permohonan uji materi atau judicial review, surat kuasa asli, dan dua koper bukti surat judicial review.
”Kami menyerahkan berbagai dokumen ke MK setelah mendaftarkan permohonan judicial review secara daring (online) melalui web Sistem Informasi Penanganan Perkara Elektronik (Simpel) MK pada 19 April 2022,” katanya.
Dengan demikian, sudah terdaftar secara resmi dua permohonan ke MK, yaitu permohonan atau gugatan pengujian formil perkara nomor 52 dan permohonan pengujian materiil perkara nomor 53 terhadap UU No 8/2022 tentang Provinsi Kalsel, yang mengubah kedudukan ibu kota provinsi ke Banjarbaru.
”Semua akan kami buktikan dengan berbagai macam dalil, bukti-bukti, serta saksi-saksi fakta yang kuat. Kami optimistis judicial review ini dikabulkan MK dan kedudukan ibu kota Provinsi Kalsel tetap di Kota Banjarmasin,” ujarnya.
Pazri membeberkan beberapa alasan kuat untuk melakukan judicial review. Pertama, karena proses pembentukan UU Provinsi Kalsel tidak berdasar secara filosofis, sosiologis, yuridis, dan historis, serta bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal itu sangat merugikan hak konstitusional masyarakat Banjarmasin dan Kalsel.
Kedua, sangat banyak dugaan kejanggalan. Awalnya Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut terdiri dari 58 pasal, tetapi ketika disahkan menjadi UU hanya terdiri dari 8 pasal. UU itu juga tidak mengakomodir kebutuhan Kalsel, terutama sebagai daerah penyangga ibu kota negara di Kalimantan Timur.
”Pembentukan UU Provinsi Kalsel tidak sesuai prosedur dan mekanisme. Pembahasannya juga sangat cepat, tidak terbuka atau transparan, serta tidak ada partisipasi publik,” katanya.
Mencederai sejarah
Selanjutnya, menurut Pazri, di dalam naskah akademik RUU Provinsi Kalsel tidak ada kajian dan pembahasan khusus tentang pemindahan ibu kota Provinsi Kalsel ke Banjarbaru. Tidak ada pula rapat paripurna dan persetujuan pembiayaan dari DPRD Provinsi Kalsel terhadap perpindahan ibu kota provinsi.
Selain itu, tidak ada surat keputusan (SK) Gubernur Kalsel tentang perpindahan ibu kota serta persetujuan atau dukungan dari bupati, wali kota, dan DPRD kabupaten/kota se-Kalsel.
”Kami menduga ada kepentingan oknum-oknum tertentu memindahkan ibu kota provinsi ke Banjarbaru. Karena itu, pembentukan UU Provinsi Kalsel mencederai dan menghilangkan sejarah Banjar,” ujarnya.
Ketua Forum Kota Banjarmasin Syarifuddin Nisfuady mengatakan, permohonan uji materi ke MK menunjukkan keseriusan warga mengembalikan kedudukan ibu kota Provinsi Kalsel ke Kota Banjarmasin.
Menurut Ketua Kadin Kota Banjarmasin Muhammad Akbar Utomo Setiawan, gugatan ini sebagai bentuk nyata perjuangan agar ibu kota Provinsi Kalsel tetap di Banjarmasin. ”Kalau ibu kota provinsi tetap di Banjarmasin, akan membangkitkan perekonomian dan UMKM, terlebih Banjarmasin adalah contoh dan ikon Kalsel,” ujarnya.
Lebih cocok
Ketua DPRD Provinsi Kalsel H Supian HK justru menyambut positif pemindahan ibu kota dari Banjarmasin ke Banjarbaru. Ia beralasan Banjarbaru lebih cocok dalam pengembangan ibu kota yang lebih maju di masa depan.
”Dengan perpindahan ibu kota Provinsi Kalsel ke Banjarbaru, Banjarmasin bisa lebih fokus dikembangkan sebagai kota niaga atau perdagangan dan jasa karena memiliki pelabuhan,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Selain itu, menurut Supian, penduduk Kota Banjarmasin sudah padat. Sementara Banjarbaru masih memiliki lahan yang luas sehingga mudah untuk pengembangan. Selama ini, Banjarbaru juga merupakan daerah yang sedang tumbuh dan berkembang.
”Ide Banjarbaru sebagai ibu kota provinsi atau pusat pemerintahan Provinsi Kalsel sudah sejak era Gubernur Murdjani (1950-1953). Karena itu, sejak dulu ada beberapa kantor Pemprov Kalsel yang berkedudukan di Banjarbaru,” katanya.
Pada masa Gubernur Kalsel Rudy Ariffin (2005-2015) pusat perkantoran pemprov dibangun di Banjarbaru. Pembangunan itu kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Kalsel saat ini, Sahbirin Noor. Jarak antara Banjarmasin dan Banjarbaru juga relatif dekat, sekitar 35 kilometer.
”Jangan terlalu mempersoalkan pemindahan ibu kota Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru. Mari kita fokus membangun Kalsel sebagai gerbang ibu kota negara agar semakin maju dan lebih mapan,” kata politikus senior Partai Golkar itu.