Satu Dekade, RUU Perampasan Aset Terkatung-Katung
Satu dekade RUU Perampasan Aset terkatung-katung. Belum ada kabar dari Komisi III DPR, kapan RUU itu akan dibahas. Muncul dugaan, RUU ini tak kunjung dibahas karena bisa jadi bumerang bagi pembentuk UU.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F01%2F17%2F8632d55b-148b-42e9-af21-a2cd98148369_jpg.jpg)
Petugas Kejaksaan Agung memeriksa barang bukti sitaan kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang terparkir di Gedung Tindak Pidana Khusus, Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (17/1/2020). Kejaksaan Agung menyita enam kendaraan yang terdiri dari lima mobil dan satu motor Harley Davidson milik tersangka kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Barang itu disita dari kediaman Syahmirwan di Duren Sawit, Jakarta Timur. Selanjutnya, tim Kejagung menyita mobil Innova Reborn B 26 YRA dan Honda CRV dengan nomor polisi B 1065 MW serta sejumlah dokumen.
Upaya untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset sama berlikunya dengan pemberantasan korupsi di negeri ini. Lebih dari satu dekade RUU ini dikaji dan diusulkan, sampai saat ini RUU tersebut tidak kunjung masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahunan. RUU Perampasan Aset seolah kurang prioritas jika dibandingkan dengan UU Ibu Kota Negara, UU Cipta Kerja, UU Mahkamah Konstitusi, dan UU Komisi Pemberantasan Korupsi, yang semuanya tuntas dalam waktu singkat.
Kajian tentang RUU Perampasan Aset pun telah dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak 2008. Kajian tuntas pada 2012 dan telah diajukan sejak saat itu untuk menjadi legislasi prioritas. Namun, sampai saat ini RUU itu terkatung-katung.
Terakhir, RUU Perampasan Aset itu pun tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2022, yang ditetapkan pada 6 Desember 2021. Padahal, tiga hari berselang pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, 9 Desember 2021, Presiden Joko Widodo mengungkapkan permintaannya untuk meningkatkan upaya penyelamatan, pengembalian, dan pemulihan keuangan negara serta memitigasi pencegahan korupsi sejak dini. Dalam kaitan itu, pemerintah terus mendorong segera ditetapkannya Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana. RUU itu diharapkan dapat dituntaskan pada 2022.
Sekalipun tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas, upaya untuk segera membahas RUU Perampasan Aset terus digaungkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam beberapa kesempatan rapat kerja ataupun rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, PPATK dan KPK terus meminta dukungan agar RUU itu segera dibahas dan disahkan.
Baca juga : Setiap Tahun, Sebanyak Rp 37.284 Triliun Hilang akibat Korupsi

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana saat rapat dengar pendapat Komisi III DPR, Selasa (5/4/2022), mengatakan, RUU Perampasan Aset terkait telah masuk dalam long list Prolegnas 2020-2024. PPATK tengah menunggu dukungan dari Komisi III DPR agar RUU tersebut masuk dalam Prolegnas Prioritas semester II-2022 atau setidak-tidaknya Prolegnas Prioritas 2023.
”RUU itu perlu segera ditetapkan dalam rangka untuk mengantisipasi adanya kekosongan hukum dalam penyelamatan aset, khususnya aset yang dimiliki atau dikuasai oleh pelaku tindak pidana yang telah meninggal dunia serta aset yang terindikasi tindak pidana namun sulit dibuktikan pada peradilan negara,” ujarnya.
PPATK tengah menunggu dukungan dari Komisi III DPR agar RUU tersebut masuk dalam Prolegnas Prioritas semester II-2022 atau setidak-tidaknya Prolegnas Prioritas 2023.
Ia menuturkan, aset-aset yang gagal dirampas untuk negara tersebut berdampak pada status aset dimaksud yang akan menjadi aset status quo dan sangat merugikan penerimaan negara, khususnya dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari penegakan hukum.
Sementara dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan pimpinan KPK, akhir Maret lalu, Ketua KPK Firli Bahuri berharap DPR segera mengesahkan RUU Perampasan Aset dan RUU Penyadapan. ”KPK memang masih berharap dan terus berharap mohon dukungan kepada Komisi III DPR terkait dengan dua RUU yang sampai hari ini kita tunggu,” ujarnya.
Dalam paparannya, KPK membutuhkan UU Perampasan Aset karena Indonesia memiliki keterbatasan dalam melakukan penyelamatan aset. Selain itu, tindak pidana bermotif ekonomi yang semakin kompleks membutuhkan pendekatan baru yang perlu dukungan dari instrumen regulasi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F12%2F18%2F1656ecb8-34a4-49cf-8a20-6a47858a4443_jpeg.jpg)
Suasana diskusi pada peluncuran Indeks Persepsi Publik Indonesia Anti Pencucian Uang dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme (IPP APUPPT) Indonesia 2018 oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di Jakarta, Selasa (18/12/2018).
Temuan PPATK
Dari sisi substansi, kata Ivan, instansi-instansi yang terlibat dalam pembahasan RUU Perampasan Aset telah sepakat bulat dan tidak ada penundaan isu. Demikian pula persyaratan formal sudah dipenuhi semua, termasuk adanya rancangan utuh berikut naskah akademiknya. Dengan demikian, ia berharap RUU Perampasan Aset bisa masuk dalam Prolegnas Prioritas 2022 saat ada revisi pada pertengahan tahun ini.
”Kami melihat masih ada persepsi yang salah, sebagian menganggap RUU Perampasan Aset akan menjadi ’jebakan’ bagi penyelenggara negara. Masih sedikit yang memahami isi RUU ini,” ujarnya di Jakarta, Selasa (19/4/2022).
Secara umum, kata Ivan, RUU Perampasan Aset ditujukan bagi kepentingan penyitaan dan perampasan aset yang berasal dari tindak pidana. Apalagi dalam perkembangan hukum secara global saat ini, dalam rangka pengembalian harta kakayaan yang berasal dari tindak pidana, perampasan aset dapat dilakukan secara langsung terhadap properti atau kebendaan (in rem), selain terhadap individual (in personam).
Temuan PPATK menunjukkan, banyak pelaku tindak pidana pencucian uang yang bersembunyi di balik harta kekayaan berbentuk aset yang tidak dapat dikembalikan pada negara. Di sisi lain, ada kekosongan hukum yang harus diselesaikan dengan pengesahan RUU Perampasan Aset. Saat ini ada banyak buronan kasus korupsi yang kabur ke luar negeri, padahal aset hasil kejahatan mereka bisa ditemukan. Namun, saat ini, perampasan aset hasil kejahatan belum bisa dilakukan karena harus dikaitkan dengan tindak pidana yang mereka lakukan, sementara pelaku kabur sehingga asetnya belum bisa disita selama belum ada putusan pengadilan.
RUU Perampasan Aset bisa menjadi jalan keluar untuk menyita aset hasil tidak pidana karena bisa diambil tanpa harus menunggu terduga pelaku kejahatan itu diproses hukum. Melalui mekanisme pengadilan, aset bisa segera disita dengan tetap memberikan kesempatan bagi pihak-pihak yang mengklaim kepemilikan asetnya.
Baca juga : Aset Koruptor dan Pemulihan Kerugian Negara

Tim Satgas Hak Tagih Piutang Negara BLBI menyita aset tanah di kawasan perumahan Karawaci, Tangerang, Banten, Jumat (27/8/2021).
Dengan demikian, penyelamatan aset melalui UU Perampasan Aset tidak akan dikaitkan secara langsung dengan kesalahan dari pelaku kejahatan yang mungkin sulit dibuktikan dalam sidang pengadilan, melainkan kerugian negara secara nyata yang telah terjadi. Maka, tujuan dari pendekatan baru dalam RUU ini adalah kembalinya aset hasil pidana kepada negara untuk dapat dipergunakan bagi kepentingan publik, khususnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sepekan setelah penetapan Prolegnas Prioritas 2022, Desember lalu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD mengatakan, pemerintah berkeinginan untuk kembali mengajukan RUU itu menjadi Prolegnas Prioritas tahunan pada 2022. Pada 2021, sidang kabinet memutuskan bahwa dalam upaya meningkatkan pencegahan dan pemberantasan korupsi, pemerintah akan mengajukan dua RUU. Satu, RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana. Kedua, RUU tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal.
”Nah, pada periode Presiden Jokowi yang pertama, RUU Perampasan Aset ini sudah disepakati di DPR. Cuma, di pemerintah sendiri ada perbedaan satu hal saja, yakni soal aset yang dirampas itu disimpan dan dikelola di mana. Apakah akan disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara (rupbasan), atau badan pengelola aset di Kejaksaan Agung, ataukah di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN),” katanya (Kompas, 14 Desember 2021).
Karena waktu itu belum sepakat antara Kemenkumham, Kementerian Keuangan, dan Kejaksaan Agung, pengajuannya sebagai Prolegnas Prioritas ditunda. ”Akan tetapi, sekarang pemerintah sudah kompak mengenai RUU tersebut. Lalu, DPR-nya masih meminta untuk ditunda,” ujarnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F07%2F20%2FScreen-Shot-2021-07-20-at-12.27.12_1626761328_png.jpg)
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan ucapan selamat hari raya Idul Adha 1442 Hijriah.
Mahfud mengatakan, pemerintah akan mengajukan kembali RUU Perampasan Aset pada revisi Prolegnas Prioritas 2022. Namun, sampai masa persidangan IV tahun sidang 2021-2022 DPR ditutup, pada 14 April, belum ada agenda revisi Prolegnas Prioritas tahunan.
Sebelumnya, saat dikonfirmasi mengenai RUU Perampasan Aset, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Pangeran Khairul Saleh mengatakan, pada prinsipnya dirinya mendukung dan akan mendorong upaya RUU Perampasan Aset dijadikan prioritas untuk dibahas.
”Sebagaimana kita amati bahwa hukuman badan belum mampu memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi, dan tindak pidana ekonomi lainnya. Kita juga melihat bahwa pendekatan hukum pidana belum mampu menyelesaikan persoalan kerugian negara secara cepat,” katanya.
Mahfud mengatakan, pemerintah akan mengajukan kembali RUU Perampasan Aset pada revisi Prolegnas Prioritas 2022. Namun, sampai masa persidangan IV tahun sidang 2021-2022 DPR ditutup, pada 14 April, belum ada agenda revisi Prolegnas Prioritas tahunan.
Khairul menilai, apabila RUU Perampasan Aset ini telah disahkan, regulasi itu menjadi salah satu instrumen hukum untuk memaksimalkan pengembalian kerugian negara dari hasil tindak pidana, dapat menjadi faktor penjera (deterrant factor), bagi pelaku tindak pidana korupsi, dan tindak pidana ekonomi lainnya yang banyak merugikan negara.
”Saya melihat UU ini juga nantinya diharapkan dapat menyelesaikan pemulihan aset kerugian negara dari kejahatan-kejahatan ekonomi yang masih terus merajalela secara cepat,” katanya. Namun, untuk dapat menjadi RUU yang dibahas di tingkat komisi, perlu ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR dalam mengusung RUU ini menjadi Prolegnas Prioritas.
Baca juga : Komitmen Pemerintah Ajukan RUU Perampasan Aset Diragukan
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F30%2F90af8b5a-44f0-4ac7-b518-a31c94e22594_jpg.jpg)
Suasana rapat kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/3/2022).
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, pun sependapat dengan PPATK dan KPK. Ia menilai, RUU Perampasan aset merupakan salah satu RUU yang mendesak untuk segera dibahas dan disahkan. Komitmen itu bahkan ditunjukkan dengan menjadikan RUU Perampasan Aset sebagai salah satu dari 13 RUU yang diusulkan Nasdem masuk dalam Prolegnas 2020-2024.
Menurut dia, diperlukan payung hukum yang bisa memberikan efek jera bagi koruptor. RUU Perampasan Aset dinilai merupakan solusi untuk membatasi buron kasus korupsi mengakses harta mereka di tengah pelarian. ”Salah satu yang ditakuti koruptor adalah tidak bisa menikmati hartanya. Maka, RUU Perampasan Aset bisa memberikan efek jera,” ujarnya.
Namun, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, mengatakan, belum ada kabar lanjutan mengenai pembahasan RUU Perampasan Aset. Sekalipun sudah masuk dalam Prolegnas 2020-2024 dan Presiden Jokowi mengharapkan RUU itu tuntas pada 2022, belum ada komunikasi antara pemerintah dan DPR untuk membawa RUU Perampasan Aset masuk dalam Prolegnas Prioritas.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman mengatakan, RUU Perampasan Aset memainkan peranan penting dalam pemberantasan korupsi. RUU ini dapat menjadi pengubah permainan (game changer) dalam penanganan kasus korupsi. Sebab, RUU Perampasan Aset menerapkan metode pembuktian terbalik.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F09%2F17%2Fc6650257-39d0-49d4-ad7f-eed2d2555a4d_jpg.jpg)
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Zaenur Rohman, memberikan keterangan kepada wartawan mengenai penolakan terhadap revisi UU KPK, di Tugu Yogyakarta, Selasa (17/9/2019).
”Jadi seorang penyelenggara negara atau siapa pun yang diduga memiliki harta hasil kejahatan, dia harus membuktikan asal-usul perolehan harta tersebut. Bahwasanya itu bukan hasil tindak pidana. Jika dia tidak bisa membuktikan, harta itu dapat dirampas oleh negara,” kata Zaenur.
Dengan metode ini, penerapan ketentuan dalam RUU Perampasan Aset diyakini akan bisa mengembalikan kerugian keuangan negara secara optimal. Selama ini, pemberantasan korupsi dinilai belum optimal dalam pengembalian kerugian keuangan negara. Dengan RUU tersebut, situasi akan berubah.
Selain diproses secara hukum pidana, kepemilikan harta atau aset itu dapat pula dirampas secara perdata. Artinya, seorang pelaku tindak pidana ekonomi dapat dikenai pidana, sekaligus hartanya dirampas oleh negara, jika terbukti perolehannya dengan cara melanggar hukum.
Zaenur mengatakan, RUU Perampasan Aset ini terutama akan sangat membantu untuk mengembalikan aset dan kerugian keuangan negara dari tangan pelaku kejahatan yang melarikan diri ke luar negeri, menghilang, atau meninggal. Sebab, dengan prosedur hukum yang ada saat ini, hal itu tidak dimungkinkan kecuali telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Dengan adanya RUU Perampasan Aset, aset-aset dan harta hasil kejahatan itu dapat langsung dirampas menjadi milik negara tanpa harus ada putusan pengadilan yang mengikat. Misalnya, karena pelaku melarikan diri, meninggal, dan menghilang, hartanya tetap dapat dirampas lantaran tidak lagi diperlukan putusan yang berkekuatan hukum tetap terhadap yang bersangkutan.
Bisa jadi bumerang
Tidak segera dimasukkannya RUU Perampasan Aset ke dalam Prolegnas Prioritas menunjukkan rendahnya komitmen pembentuk UU dalam pemberantasan korupsi. ”Saya tidak melihat ada itikad baik dari pemerintah dan DPR. Kenapa mereka tidak semangat segera membahas RUU ini, padahal ini dapat menjadi game changer dalam upaya pemberantasan korupsi,” katanya.
Zaenur menduga, RUU Perampasan Aset tak segera dibahas karena bisa menjadi bumerang bagi pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR. Penegak hukum dapat dengan mudah merampas harta mereka, para pembentuk UU itu, jika diketahui harta yang dimiliki merupakan hasil korupsi.
Baca juga : Perampasan Aset Koruptor Butuh Keseriusan Negara

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai, tak segera dibahasnya RUU Perampasan Aset menunjukkan masih kuatnya perilaku koruptif dalam tata kelola pemerintahan. Oleh sebab itu, RUU Perampasan Aset belum menjadi kebutuhan pembuat UU, yakni pemerintah dan DPR. Bahkan, jika RUU itu segera disahkan, bisa jadi ada anggapan UU tersebut justru merugikan mereka.
Perlu ada tekanan publik agar pemerintah dan DPR merasa ada kebutuhan bersama terhadap RUU Perampasan Aset. Bahkan jika mereka bisa segera mengesahkan, parpol-parpol mendapatkan keuntungan politik karena dianggap serius memberantas korupsi.
Jika Presiden memang memiliki komitmen politik yang kuat, sudah waktunya mendorong pembahasan RUU Perampasan Aset. Dominannya partai politik koalisi pendukung pemerintahan semestinya dimanfaatkan untuk memudahkan jalan menuju pengesahan RUU itu. Langkah ini sekaligus membuktikan bahwa Presiden Jokowi dengan koalisi dominannya tak hanya bergerak cepat dalam UU yang dibutuhkan pemerintah, tetapi juga UU yang dibutuhkan publik terkait dalam upaya pemberantasan korupsi.
”Perlu ada tekanan publik agar pemerintah dan DPR merasa ada kebutuhan bersama terhadap RUU Perampasan Aset. Bahkan jika mereka bisa segera mengesahkan, parpol-parpol mendapatkan keuntungan politik karena dianggap serius memberantas korupsi. Citra yang muncul ketika merevisi UU KPK pun bisa berubah,” ucap Lucius.