Proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia mengalami hambatan. Namun, kondisi serupa terjadi di berbagai belahan dunia. Elemen masyarakat sipil diharapkan bersatu dan membawa agenda baru.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Diskusi publik bertajuk "Tantangan Gerakan Sosial dan Demokrasi di Indonesia", Senin (11/4/2022), yang diselenggarakan oleh Public Virtue Research Institute, Centra Initiative, dan Transparency International Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Krisis dalam kehidupan berdemokrasi tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga secara global. Demokratisasi di Indonesia mengalami hambatan karena kurangnya gerakan bersama masyarakat sipil memperjuangkan agenda reformasi.
Hal itu terungkap di dalam diskusi publik bertajuk ”Tantangan Gerakan Sosial dan Demokrasi di Indonesia”, Senin (11/4/2022), yang diselenggarakan Public Virtue Research Institute, Centra Initiative, dan Transparency International Indonesia. Diskusi dilakukan berdasarkan buku yang ditulis Olle Törnquist berjudul In Search of New Social Democracy: Insights from the South - Implications for the North.
Törnquist mengatakan, krisis yang dialami demokrasi sosial terjadi secara global. Proses demokratisasi gelombang ketiga yang terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia, tidak meyakinkan, khususnya terkait dengan gagasan kebijakan neoliberalisme dan gagasan lainnya.
Meski demikian, Törnquist tidak sependapat dengan penilaian bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Sebab, demokrasi di Indonesia belum sampai pada situasi yang seburuk itu.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Olle Törnquist, penulis buku berjudul In Search of New Social Democracy: Insights from the South - Implications for the North, dalam diskusi publik bertajuk "Tantangan Gerakan Sosial dan Demokrasi di Indonesia", Senin (11/4/2022), yang diselenggarakan Public Virtue Research Institute, Centra Initiative, dan Transparency International Indonesia.
”Saya tidak setuju bahwa demokrasi yang terjadi di Indonesia adalahregresi. Ini bukan kondisi yang terburuk dibandingkan yang lain karena masih ada ruang. Betulada represi, tetapi masih ada ruang untuk bertindak,” kata Törnquist.
Baca juga :
Mengukur Demokrasi Indonesia
Menurut Törnquist, persoalan demokrasi di Indonesia adalah kurangnya gerakan oposisi yang tidak hanya sebatas oposisi di parlemen. Törnquist melihat perlunya gerakan baru dari berbagai elemen masyarakat untuk menggabungkan dan membawa isu sosial dan ekonomi serta mengombinasikan antara hak asasi manusia dan hak sipil.
Perlu gerakan baru dari berbagai elemen masyarakat untuk menggabungkan dan membawa isu sosial dan ekonomi serta mengombinasikan antara hak asasi manusia dan hak sipil.
Untuk melakukan gerakan demokrasi sosial tersebut, lanjut Törnquist, seluruh elemen harus bergabung menjadi satu gerakan bersama menjadi satu aliansi besar, baik oleh kaum intelektual, pemikir, maupun aktivis. Namun, untuk menuju ke sana tidak ada jalan pintas karena gerakan demokrasi sosial harus dilakukan secara bersama-sama.
Krisis demokrasi sosial
Ketua Dewan Pengurus Public Virtue Research Institute Usman Hamid sependapat dengan situasi demokrasi sosial yang mengalami krisis. Krisis demokrasi sosial itu merupakan dampak dari krisisnya demokrasi liberal yang telah terjadi sebelumnya.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Ketua Dewan Pengurus Public Virtue Research Institute Usman Hamid dalam diskusi publik bertajuk "Tantangan Gerakan Sosial dan Demokrasi di Indonesia", Senin (11/4/2022), yang diselenggarakan oleh Public Virtue Research Institute, Centra Initiative, dan Transparency International Indonesia.
”Demokrasi liberal itudemokrasi berbasis liberalisasi politik, di mana negara diminimalkanperannya. Demokrasi liberal tidak selalu buruk karena demokrasi liberalberguna bagi kaum progresif dalam menjatuhkan sistem otoriter.Liberalisasi politik memungkinkan untuk mewujudkandemokrasi sosial,” tutur Usman.
Liberalisasi politik tersebut juga terjadi di Indonesia. Namun, gelombang ketiga demokrasi dianggap gagal karena tidak ditopang dengan kebijakan ekonomi kerakyatan, melainkan mengedepankan modal asing dan upah buruh murah. Liberalisasi kemudian justru mengalami kegagalan ketika demokrasi liberal tidak bisa mewujudkan keadilan sosial.
Gelombang ketiga demokrasi dianggap gagal karena tidak ditopang dengan kebijakan ekonomi kerakyatan, melainkan mengedepankan modal asing dan upah buruh murah. Liberalisasi kemudian justru mengalami kegagalan ketika demokrasi liberal tidak bisa mewujudkan keadilan sosial.
Meski demikian, Usman menilai bahwa Törnquist memberikan ruang optimisme dalam mewujudkan keadilan sosial, seperti terwujudnya mekanisme jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kini, diperlukan aliansi yang lebih luas dan kuat serta penyatuan agenda sektoral menjadi agenda reformasi bersama.
Peneliti Senior Centra Initiative dan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiatri, berpandangan, agenda reformasi yang berjalan di Indonesia dinilai tidak jelas. Meski di awal reformasi tampak menjanjikan, Aisah menilai yang terjadi kemudian adalah stagnasi, bahkan regresi.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Peneliti Senior Centra Initiative dan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiatri, dalam diskusi publik bertajuk "Tantangan Gerakan Sosial dan Demokrasi di Indonesia", Senin (11/4/2022), yang diselenggarakan oleh Public Virtue Research Institute, Centra Initiative, dan Transparency International Indonesia.
”Menurut saya, tidak ada transformasi yang jelas dari agenda reformasipolitik kita. Tidak ada grand design reformasi yang diinginkan sehingga semisal pada 10 tahun atau 20 tahun kemudian dievaluasi,” kata Aisah.
Tidak adanya desain besar reformasi tersebut berdampak secara sektoral, khususnya dalam hal revisi undang-undang terkait partai politik dan pemilu dilakukan sesuai kebutuhan politik saja.
Tidak adanya desain besar reformasi tersebut berdampak secara sektoral, khususnya dalam hal revisi undang-undang terkait partai politik dan pemilu dilakukan sesuai kebutuhan politik saja. Sementara substansi mengenai pembangunan demokrasi elektoral dibangun dan dievaluasi justru tidak tersentuh.
Di sisi lain, masyarakat sipil semakin tidak berdaya berhadapan dengan oligarki yang semakin solid sehingga tidak bisa mengimbanginya. Demikian pula di parlemen terjadi koalisi gendut.
Tak tersambung
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Danang Widoyoko berpandangan, saat ini terjadi perbedaan antara aktivis masyarakat sipil yang lama dan para aktivis baru. Berbagai inisiatif yang muncul di era sebelumnya tidak tersambung dengan isu para aktivis generasi baru.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Danang Widoyoko yang bergabung secara virtual dalam diskusi publik bertajuk "Tantangan Gerakan Sosial dan Demokrasi di Indonesia", Senin (11/4/2022), yang diselenggarakan oleh Public Virtue Research Institute, Centra Initiative, dan Transparency International Indonesia.
”Saat ini muncul aktivisme baru, gerakan baru yang sepertinya tidak tersambung. Itu problem kegagalan kita dalam membangunborder alliance,” kata Danang.