Lembaran kulit kayu asal Kalimantan untuk eksperimentasi medium karya seni perupa foto.
Oleh
IGNATIUS NAWA TUNGGAL
·5 menit baca
KOMPAS/IGNATIUS NAWA TUNGGAL
Patung dengan bahan limbah diberi judul Bermain Roda karya Ridi Winarno, Rabu (11/12/2024). Karya ini ditampilkan di dalam pameran bersama yang bertajuk Desember Awal, di Galeri Seni Wonder, Jakarta, 5 Desember 2024 hingga 5 Maret 2025.
Kekayaan alam Kalimantan, di antaranya menghasilkan kulit kayu yang bisa diolah menjadi lembaran tipis yang lembut dan lemas untuk berbagai keperluan. Misalnya bahan baku baju adat. Masyarakat Dayak di Kalimantan menyebut baju kulit kayu seperti itu dengan nama kapua atau ampuro.
Bagi perupa foto Sjaiful Boen (54), lembaran tipis kulit kayu itu menjadi medium karya eskperimentasinya. Lembaran kulit kayu berukuran sekitar 100 cm x 300 cm dipajang secara vertikal dengan tiga panel. Warnanya kecoklatan bertekstur agak halus. Permukaannya bergambar sepotong kaki telanjang seorang perempuan.
Sedikit mengagetkan, tatkala di bagian bawahnya terdapat kain berwarna putih yang digelar sembarangan bertekuk atau berlipat-lipat. Di atas kain putih diletakkan bra dan celana dalam perempuan berwarna merah cerah.
Bagi Sjaiful, ini adalah sebuah instalasi seni yang menggambarkan ketelanjangan diri seorang perempuan. Sepotong kaki telanjang menjadi representasi tubuh yang telanjang, sedangkan bra dan celana dalam menguatkan asosiasi para pengunjungnya tentang ketelanjangan itu.
KOMPAS/IGNATIUS NAWA TUNGGAL
Seni instalasi berjudul Lust” (kanan) karya perupa foto Sjaiful Boen, Rabu (11/12/2024). Karya ini ditampilkan di dalam pameran bersama yang bertajuk Desember Awal, di Galeri Seni Wonder, Jakarta, 5 Desember 2024 hingga 5 Maret 2025.
Sjaiful memberi judul karya seni instalasi tersebut ”Lust” (Napsu/2021). Ia berbicara tentang nafsu yang hanya setipis kulit yang bisa membawa kehangatan sebuah hubungan ataupun sebaliknya. Nafsu dimaksudkan sebagai nafsu berahi yang bisa menyulut situasi baik atau buruk. Nafsu setipis kulit bagi yang tidak beruntung bisa mendatangkan malapetaka.
Sjaiful tidak melukisi permukaan kulit kayu itu, tetapi mencetak foto yang dibikinnya. Ia, selain seorang arsitek, juga sekaligus fotografer. Baginya, ia menjadi fotografer tatkala menjepret obyek dengan kamera untuk memenuhi permintaan konsumen.
”Saya menjadi seorang perupa foto ketika menggunakan hasil fotografi menjadi karya seni seperti itu,” ujar Sjaiful, Rabu (11/12/2024), di Jakarta.
Sejak periode 2010 hingga kini, Sjaiful dikenal sebagai perupa foto yang gemar bereksperimentasi untuk menciptakan sebuah karya seni. Karya seni instalasi ”Lust” menggunakan teknik cetak digital dengan mesin mata tinta yang bergerak, sedangkan medium yang diberi cetakan tetap diam.
Teknologi cetak digital mengalami perkembangan. Begitu pula dalam seni fotografi. Sjaiful rajin mengikuti sebuah festival seni fotografi di Kyoto, Jepang. Peristiwa itu memicunya untuk mengembangkan berbagai eksperimen seni fotografi di Tanah Air.
Karya Sjaiful kali ini ditampilkan dalam pameran bersama yang bertajuk Desember Awal, di Galeri Seni Wonder, Jakarta Selatan. Ini sebuah pameran perdana di ruang seni baru yang ada di Jalan RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Pameran dibuka pada Kamis (5/12/2024) dan berlangsung hingga 5 Maret 2025.
Selain Sjaiful, deretan nama seniman peserta lainnya adalah Budi Ubrux, Djemi Suhenda, Edward Chen, Hermandari Kartowisastro, Irwandi, Kun Tanubrata, Nasirun, Ridi Winarno, dan Wiediantoro. Catatan kuratorial pameran ini disampaikan Jim Supangkat.
Edward Chen, pemilik Galeri Seni Wonder, mengombinasikan galeri itu dengan usaha furnitur perkantorannya. Ruang kantor usahanya sudah memasuki usia 36 tahun. Kombinasi usaha ini menjadi sebuah sinergi yang menguntungkan bagi perupa.
”Saya juga seorang fotografer. Beberapa karya foto perjalanan saya tampilkan di dalam pameran ini, seperti ketika memotret puncak-puncak bukit di Zion National Park, Utah, Amerika Serikat, atau dari Alaska,” kata Edward.
Karya foto peristiwa yang lain juga ditampilkan peserta pameran Hermandari Kartowisastro dan Djemi Suhenda. Ekspresi berbasis seni fotografi seperti dilakukan Sjaiful juga ditempuh peserta lain, yakni Irwandi dan Kun Tanubrata.
Batas yang hilang
Karya seni lain yang ditampilkan, selain berbasis karya fotografi, juga berupa lukisan dan patung. Jim Supangkat menandai, di dalam pameran ini batas-batas seni menghilang, khususnya di antara seni fotografi dan lukisan.
”Pada tahun 1990-an fotografi bahkan muncul sebagai primadona. Bukan hanya menjadi media alternatif, melainkan fotografi membawa kembali seni kepada konteks,” kata Jim.
Seni yang membawa kembali ke konteks ini seiring dengan seni kontemporer. Konteks mengacu pada kegunaan atau manfaat bagi audiens karya seni tersebut. Bagi Jim, sekarang ini gejolak pemberontakan yang menyuarakan kembali ke konteks sudah menyurut. Akan tetapi, ekspresi di dalamnya selalu menarik.
Perupa Nasirun menampilkan tiga karya lukisan berjudul ”Dua Bangunan yang Disucikan di Muka Bumi (Buroq)”, ”Hari Ba’an Dewi Sri”, dan ”(Baru) Gegayuhan”. Nasirun memainkan narasi tradisi yang cukup kontekstual ketika estetika dari tradisi di dalam seni modern mulai dijadikan anomali. Kontekstualitas karya Nasirun mengetengahkan kontradiksi tradisi dengan dunia modern.
Karya lukisan manusia-manusia berlapis teks-teks koran dari perupa Budi Ubrux makin kentara membawa konteks kekiniannya. Lewat lukisan yang diberi judul ”Urip Mung Mampir Nambang” (Hidup Hanya untuk Mampir Menambang/2024), Ubrux memberi konteks dan pesan melalui teks di dalam koran yang menyelimuti sosok manusia yang dilukisnya.
Dari salah satu obyek manusia ada kutipan judul teks koran yang dilukiskan Ubrux berbunyi, ”Orang yang Difitnah dan Dapat Membuat Kebenarannya adalah Orang yang Berjiwa Besar”. Di bawahnya Ubrux melukis tokoh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dengan baju putih dan celana kolor putihnya, didampingi dua orang. Gus Dur sedang melambaikan tangan. Ini mengingatkan pada peristiwa Gus Dur meninggalkan istana kepresidenan ketika dia dilengserkan sebagai presiden.
KOMPAS/IGNATIUS NAWA TUNGGAL
Lukisan Budi Ubrux berjudul Urip Mung Mampiur Nambang, Rabu (11/12/2024). Karya ini ditampilkan di dalam pameran bersama yang bertajuk Desember Awal, di Galeri Seni Wonder, Jakarta, 5 Desember 2024 hingga 5 Maret 2025.
Melalui lukisan itu, Ubrux membawa kembali ke konteks kekinian terkait dengan program pemerintah yang memperbolehkan ormas atau Lembaga keagamaan untuk ikut menambang kekayaan bumi. ”Hidup Hanya Untuk Mampir Menambang”, sebuah kritikan terhadap kebijakan perihal tambang, dikaitkan dengan lembaga keagamaan tersebut.
Perupa Wiediantoro menghadirkan tiga lukisan diberi judul ”Harapan Bahagia”, ”Meraih Harapan”, dan ”Bulan Separuh Bayang”. Melalui ”Bulan Separuh Bayang”, Wiediantoro membawa kembali kepada konteks alam yang memberi keindahan, tetapi mulai dilupakan.
”Karya ini mengingatkan masa kecil saya ketika terjadi bulan purnama. Bulan itu memberi separuh bayang, membawa keindahan dari semesta. Menikmati keindahan dari alam semesta ini sekarang sudah tidak pernah lagi diajarkan orangtua kepada anak-anaknya,” kata Wiediantoro.
Ia menyinggung perubahan sosial yang mendorong generasi sekarang tidak lagi peduli dengan alam. Generasi sekarang lebih asyik dengan perubahan teknologi informasi.
Pameran Desember Awal juga menampilkan salah satu patung karya Ridi Winarno berjudul ”Bermain Roda”. Ridi memakai barang-barang bekas, seperti pompa air kuno yang berkembang di tahun 1980-an, menjadi bagian tubuh patung. Di depannya ada pelah atau lingkaran roda.
Patung itu mengasosiasikan seorang anak yang bermain pelah sambil berlari-lari. Ini mengingatkan masa kecil Ridi yang dulu juga gemar bermain pelah di kampungnya, di Kulon Progo, Yogyakarta. Melalui patung ini, Ridi membawa konteks limbah yang terbuang tidak selamanya menjadi barang yang tidak berguna.