Energi Kebebasan Basoeki Abdullah Art Award
Untuk pertama kalinya, peserta kompetisi seni Basoeki Abdullah Art Award ke-5 pada 2024 ini dibebaskan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F11%2F30%2Ff3bc784e-d02d-42f4-9705-caed329e3317_jpg.jpg)
Pengunjung menikmati seni instalasi karya Suvi Wahyudianto, yang berjudul Billboard Tak Berwarna dan Utopia Pasca-Ingatan”, Kamis (28/11/2024). Karya ini ditampilkan di dalam pameran pemenang dan finalis Basoeki Abdullah Art Award di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 22 November hingga 8 Desember 2024.
Ada energi kebebasan yang begitu kuat terasa ketika kompetisi seni rupa satu-satunya milik pemerintah pusat, Basoeki Abdullah Art Award, berubah. Tahun 2024 ini, memasuki tahun ke lima penyelenggaraan Basoeki Abdullah Art Award, untuk pertama kalinya peserta tak terikat pada karya seni rupa dua dimensi atau lukisan.
Simaklah karya Suvi Wahyudianto (32), satu dari lima pemenang kompetisi tersebut. Karyanya yang berjudul ”Billboard Tak Berwarna dan Utopia Pasca-Ingatan” dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia pada 22 November sampai 8 Desember 2024 bersama karya pemenang lainnya. Begitu pula karya para finalis.
Suvi menampilkan billboard atau papan reklame yang ditopang dengan kaki-kaki besi yang kokoh. Papan berukuran cukup besar itu berupa lembaran pelat besi yang digunakan untuk mencetak foto dirinya bersama rekannya, Aloysius. Foto itu menunjukkan mereka tengah bertelanjang dada, berpose di Pantai Pemangkat, Sambas, Kalimantan Barat, pada 2023.
Baca juga: Koper Bersayap Inanike
Di bawah papan terdapat layar monitor video. Di situ diputar video pembacaan manifesto oleh Suvi. Di samping kiri dan kanannya dipampang foto aktivitas Suvi dan Aloysius.
Kisah apa yang ingin disampaikan Suvi? Cukup panjang, ceritanya. Suatu ketika, di tahun 1999, saat Suvi masih duduk di bangku SD, ia melihat warga mengungsi di rumah kakeknya. Kebetulan, kakeknya menjabat sebagai lurah Desa Pakes, Kecamatan Bangkalan, Madura.
Suvi tak mengerti peristiwa yang terjadi. Ia hanya merasa bertambah teman anak-anak pengungsi dan bisa bermain bersama mereka. Latar belakang peristiwa pengungsian tak begitu ia hiraukan. Saat tumbuh dewasa, ia makin ingin tahu tentang pengungsian yang terjadi waktu itu. Suvi akhirnya mengerti, peristiwa yang melatarbelakangi pengungsian itu adalah kerusuhan di Sambas, Kalimantan Barat, tahun 1999. Ada pertikaian horizontal berbeda etnis di sana.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F11%2F30%2F166f7b55-379e-4f14-ad54-9fe0f5dcb6df_jpg.jpg)
Pengunjung menikmati seni instalasi karya Asmoadji berjudul, Bercermin pada Sekitar”, Kamis (28/11/2024). Karya ini ditampilkan di dalam pameran pemenang dan finalis Basoeki Abdullah Art Award di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 22 November hingga 8 Desember 2024.
Dari sebuah pemberitaan media, diperoleh keterangan bahwa kerusuhan Sambas mengakibatkan 1.189 orang meninggal, 168 orang mengalami luka berat, dan 34 orang luka ringan. Sebanyak 3.833 rumah dirusak dan dibakar. Sebanyak 12 mobil dan 9 motor juga dirusak dan dibakar. Ada 58.544 orang Madura harus mengungsi keluar Sambas. Di antaranya ada yang sampai mengungsi di rumah kakek Suvi di Bangkalan, Madura.
Tragedi berdarah tidak berhenti di situ. Di Madura, khususnya Bangkalan, berembus isu ninja yang berniat membunuh para kiai.
”Soal ninja sepengetahuan saya sewaktu masa kecil itu sebagai sosok pahlawan yang baik, yang selalu membela kebaikan. Namun, saya selalu bertanya, mengapa waktu itu isu soal ninja ini justru jahat, ingin membunuh para kiai,” kenang Suvi, dalam perbincangan melalui telepon dari Yogyakarta, Jumat (29/11/2024).
Peralihan kekuasaan
Suvi saat ini pada titik kesimpulan, tragedi berdarah di Sambas tidak murni disulut oleh pertikaian horizontal. Ia membaca peristiwa konflik serupa ternyata juga terjadi di berbagai daerah lainnya di Indonesia.
Isu ninja juga tak hanya terjadi di Madura. Kesimpulannya, peristiwa itu sebagai ekor dari kekacauan proses peralihan kekuasaan politik di tahun 1998 di Ibu Kota, di Jakarta.
Sampai kini, peristiwa itu sudah belalu lebih dari 25 tahun. Apakah dampak sosialnya terkubur untuk selamanya? Ternyata tidak.
Suvi, sebagai orang yang terlahir di Madura, menggunakan pengalaman pribadinya. Ingatan tentang pengungsi dan konflik di Sambas menancap di benaknya. Ada perasaan tak enak ketika Suvi bertemu orang Kalimantan atau bersuku Dayak.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F11%2F30%2Fc0319463-0560-4c6c-9920-5ec84cf0fdda_jpg.jpg)
Pengunjung menikmati karya Agnes Hansella yang berjudul First of The Gang, Kamis (28/11/2024). Karya ini ditampilkan di dalam pameran pemenang dan finalis Basoeki Abdullah Art Award di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 22 November hingga 8 Desember 2024.
Bertemulah Suvi dengan Aloysius, orang yang dilahirkan bersuku Dayak, di Yogyakarta. Mereka sama-sama menempuh studi pascasarjana di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Suvi bersahabat baik dengan Aloysius. Ia mengutarakan pengalamannya kepada Aloysius dan berujung pada keinginan untuk melakukan perjalanan bersama ke Sambas.
”Akhirnya, pada 2023 kami berjalan bersama selama 20 hari. Dari Yogyakarta kami naik bus angkutan umum ke Surabaya dan Madura, kemudian ke pelabuhan di Semarang menuju Pontianak,” ujar Suvi.
Dari Pontianak mereka menuju Sambas, menengok tragedi masa lalu dan melihat bibit-bibit rekonsiliasi sosial tumbuh bermekaran. Suvi melihat bibit rekonsiliasi itu juga tercipta dari persahabatannya dengan Aloysius. Dari persahabatan itu muncul keinginan untuk saling melindungi. ”Dari sinilah gagasan karya yang saya ikutkan untuk kompetisi Baoeki Abdullah Art Award,” kata Suvi.
Di dalam video, ia membacakan manifesto atau pernyataan dirinya terkait politik di masa mendatang agar tak mengulang sejarah konflik yang pernah terjadi, seperti di Sambas dan daerah lain di Indonesia. Ia mengambil bentuk billboard sebagai semiotika janji-janji politik. ”Billboard untuk menawarkan janji. Saat ini, saya menggunakan billboard untuk menagih janji-janji politik,” kata Suvi.
Energi kebebasan karya Suvi begitu kuat terasa mengingat di dalam kompetisi yang menyandang nama seniman Basoeki Abdullah, begitu pula dengan sosoknya, biasanya tak terpisahkan dari karya-karya lukisannya yang realis. Kadang, karya lukisannya lebih indah dari aslinya.
Lanskap berpasir
Pemenang berikutnya, Asmoadji (29), menampilkan karya lanskap berpasir silika yang memakan tempat cukup luas di ruang pamer Gedung A Galeri Nasional. Karya itu diberi judul, ”Bercermin pada Sekitar” (2024). Ia menggunakan media seng, kayu, kain, kabel, cermin, dan pasir silika. Dimensi ruang yang dipakai berukuran 200 cm x 300 cm x 160 cm.
Asmoadji menaburkan pasir silika di antara konstruksi miniatur bangunan dan lanskap pantai. Ia menancapkan tonggak-tonggak kayu dan membentuk permukiman masyarakat lapisan menengah ke bawah. Ia mengontraskan permukiman itu dengan rencana pembangunan megah dalam satu kawasan tersebut.
”Pada akhirnya, kawasan permukiman masyarakat kelas menengah ke bawah ini dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu rencana pembangunan gedung-gedung mahal,” kata Asmoadji. Ia mengkritik persoalan pembangunan yang masih timpang, pembangunan yang tak bisa merata. Di satu kawasan terjadi kesejahteraan yang tak seimbang.
Asmoadji menampilkan tulisan-tulisan menarik di dalam lanskap tersebut. Salah satunya, ”Dilarang Melarang”. Asmoadji menyindir kalangan menengah ke atas di dalam sebuah kawasan bakal memberikan banyak larangan. Dalam konteks berbeda, mereka juga melanggar larangan-larangan yang ada.
Baca juga: Lanskap Bali Gaya Eropa Pierre Guillaume
Tulisan berikutnya ”Tanam, Tumbuh, Hancur”. Ini terkait dengan upaya yang ditempuh atas nama penyelamatan lingkungan, baik di pantai atau daratan lainnya. Tak jarang upaya penanaman kembali menjadi semacam kedok untuk menguasai lahan. Misalnya, karena usaha penamaman kembali itu gagal sehingga sebaiknya lahan dialihfungsikan.
Karya para pemenang berikutnya, meliputi Agnes Hansel, Angela Sunaryo, dan Syaura Qotrunadha, juga menawarkan narasi yang cukup panjang. Agnes Hansella dengan karya berjudul ”First of The Gang”, Angela Sunaryo dengan karya berjudul ”Kerokan”, sementara Syaura dengan karyanya ”Alterasi Kisan Sang Pengelana”.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F11%2F30%2Fe9119203-0f3f-44be-ba16-937ddf4a2554_jpg.jpg)
Pengunjung menikmati karya Syaura Qotrunadha berjudul Alterasi Kisah Sang Pengelana, Kamis (28/11/2024). Karya ini ditampilkan di dalam pameran pemenang dan finalis Basoeki Abdullah Art Award di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 22 November hingga 8 Desember 2024.
Pameran juga menampilkan karya para finalis, yaitu Adi Gunawan, Ahmad Fauzan Azima, Amy Rahmadhita, Audya Amalia, Benny Windyo, Betiq Laiqa Fatiha, Catur Agung Nugroho, Chakra Narasangga, Chrisna Femand, Desy Febrianti, Erzhal Umamit, Evi Pangestu, Fatih Jagad Raya, I Gede Sukarya, Lejar Daniartana Hukubun, M Hafiz Maha, Muhammad Aqil Najih Reza, Muhammad Sabiq Hibatulbaqi, Nurrachmat Widyasena, Oberian Luna, TEMPA, Wildan Indra Sugara, Yeni Ulfah, dan Zakaria Pangaribuan.
Mengenai peralihan pada karya kompetisi yang lebih bebas, kurator pameran Mikke Susanto mengatakan, sosok Basoeki Abdullah secara pribadi juga menunjukkan pemikiran yang tidak terbatas. Kebebasan dalam pemikiran inilah yang ditampakkan generasi masa kini dalam menciptakan karya seni.