Tragedi Tak Terperi dari Titik Nol Gaza
Kehidupan dan kematian hanya berjarak sehelai rambut di Gaza. Bagaimana pengungsi Gaza menjalani kehidupan seperti itu?

”Hell's Heaven” dalam proyek film Palestina, From Ground Zero, yang diputar di Festival Film Ajyal 2024. Karakter dalam film itu tidur di dalam kantong mayat.
Kehidupan macam apa yang dijalani penghuni di kamp-kamp pengungsian yang dikepung tentara Israel? Film From Ground Zero menunjukkan jawabannya langsung dari titik nol di Gaza.
Di antara dengung suara drone, rentetan senapan, dan ledakan bom, para pengungsi Palestina bercerita tentang bagaimana pendudukan Israel mengakibatkan penderitaan kemanusiaan yang tidak terperi. Ancaman serangan tentara Israel yang bertubi-tubi membuat jarak antara kehidupan dan kematian hanya ”sehelai rambut”.
Duka karena kehilangan orang terkasih jadi makanan sehari-hari. Mimpi dan harapan yang tumbuh pada pagi hari tiba-tiba lenyap disapu gelombang bom pada malam harinya. Semua dituturkan langsung dari titik nol, Gaza, oleh orang-orang yang langsung mengalaminya.
Film From Ground Zero menjadi salah satu film yang paling menarik perhatian pada Festival Film Ijyal 2024 yang digelar Doha Film Institute di Doha, Qatar, pada 16-23 November 2024. Film ini lahir dari proyek Masharawi Fund yang didirikan pada November 2023 oleh Rashid Masharawi, sutradara kelahiran Gaza yang tinggal Ramallah, Palestina.
Lewat proyek itu, Rashid memberikan ruang bagi para sineas Gaza untuk mendokumentasikan kerusakan fisik dan mental, terutama sejak Israel mulai menyerang Gaza habis-habisan pada Oktober 2023. Rashid mengurasi karya mereka dan memilih 22 film pendek dengan genre dan gaya berbeda, yang dibuat dengan susah payah oleh para sineas Gaza di tengah situasi pendudukan.

Salah satu adegan ”Farah and Myriam” dalam proyek film From Ground Zero. From Ground Zero terdiri atas 22 film pendek yang dibuat para sineas di Gaza dalam situasi pendudukan.
From Ground Zero dibuka dengan ”Selfie” yang bercerita tentang bagaimana keadaan para pengungsi Gaza lewat sudut pandang seorang perempuan. Ia bercerita secara reflektif tentang perang yang menghancurkan segalanya. Semua warga Gaza pasti pernah merasakan pedihnya kehilangan orang tercinta, kehilangan rumah dan kampung halaman, bahkan kehilangan harapan. Lewat penuturannya, ia ingin semua orang di dunia tahu bagaimana dalamnya penderitaan orang-orang Gaza. ”War is ugly, truly ugly,” katanya.
”Selfie” menjadi pengantar yang jernih sebelum penonton diajak untuk menyaksikan aneka kisah miris warga Gaza lainnya, yang sebagian masuk kategori di luar nalar. Film ”24 Hours” karya Alla Damo, misalnya, menceritakan kisah temannya, Mosab al-Nadi, yang tiga kali dalam sehari terkena serangan bom Israel dan tiga kali terkubur di bawah reruntuhan bangunan. Luar biasanya, ia selalu selamat. Meski begitu, sebagian anggota keluarganya tewas.
Baca juga: "Sudan, Remember Us", Ketika Puisi Menjadi Alat Revolusi
Film lainnya juga menggambarkan betapa bayang-bayang kematian begitu dekat di Gaza. Kenyataan ini diwakili oleh cerita dua anak kecil dalam film ”Farah and Myriam” yang setiap malam tiba, berpikir akan mati atau mendapat kabar tentang kematian orang-orang terdekatnya. Pada kisah lain, ”Hell’s Heaven” menyajikan gambaran yang agak absurd tentang jarak kematian dan kehidupan. Dikisahkan seorang laki-laki yang baru bangun tidur bingung, ia mendapati dirinya berada di dalam kantong mayat.
Ia mencoba menelusuri apa yang ia lakukan sebelumnya. Langkah kakinya membawa dia ke lembaga layanan pengurusan jenazah. Di situ dia mengambil kantong mayat. Petugas menegurnya, tetapi ia bersikeras mengambilnya. ”Bukankan saya mendapatkan ini kalau saya seorang martir? Buat dia, kantong mayat itu menjadi tempat beristirahat yang nyaman di saat dingin.

Salah satu ”Sorry Cinema” dalam kumpulan proyek film From Ground Zero. Proyek ini menghasilkan 22 film pendek karya sineas Gaza.
Meski kumpulan proyek From Ground Zero dibuat di tengah pendudukan tentara Israel, film ini tidak menampilkan mayat atau gambar-gambar mengerikan. Suasana pendudukan yang mencekam hanya ditampilkan lewat suara drone yang mendengung hampir di setiap film, gedung-gedung yang hancur, dan sesekali suara tembakan senapan atau bom. Selain itu, hampir tidak ada pembicaraan di wilayah politik. Para pembuat film fokus mengungkap derita akibat perang, ketakutan, trauma, dan frustrasi massal yang dirasakan anak-anak hingga orang dewasa di kamp-kamp pengungsi Gaza.
Film ”Soft Skin”, misalnya, mengungkap bagaimana kondisi mental anak-anak yang mengikuti sesi pemulihan trauma di kamp pengungsi Gaza. Salah seorang anak bercerita, setiap malam ibunya akan menuliskan namanya di tubuhnya dengan arang. Tujuannya jika ia terkena bom dan tubuhnya hancur, paling tidak sebagian tubuhnya masih bisa dikenali.
Namun, apa yang dilakukan ibunya membuat dia tidak bisa tidur karena selalu membayangkan kematian. Akhirnya, suatu malam, ia menghapus tulisan itu sekadar agar bisa tidur. Rasa trauma dan frustrasi mendalam juga digambarkan oleh ”Sorry Cinema” dan ”No Signal”.
Daya tahan Gaza
Meski begitu, hidup mesti terus berjalan. Pada beberapa film, para sineas menggambarkan daya tahan warga Gaza dalam menghadapi situasi yang sangat sulit bahkan mengancam eksistensi mereka. ”Everything is Fine” memotret kemampuan ini dengan baik lewat cerita tentang seorang komika yang hatinya membuncah saat mendapat tawaran manggung di lokasi yang amat berbahaya.

Salah satu adegan ”Overburden” dalam proyek film From Ground Zero. From Ground Zero terdiri atas 22 film pendek yang dibuat para sineas di Gaza dalam situasi pendudukan.
Di tengah kamp pengungsian yang serba terbatas, ia mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Ia bertaruh nyawa sekadar untuk mandi saat serangan udara datang. Lantas ia pergi dengan pakaian terbaik.
Pembantaian berbeda dari (peristiwa) apa pun yang telah terjadi sebelumnya karena hal ini disiarkan secara langsung. Kita semestinya tidak melihat hal seperti ini, dan yang membunuh kami bukan hanya pendudukan Israel, melainkan juga sikap diam Arab.
Ada pula cerita tentang Ahmed dalam ”The Teacher”, seorang profesor terhormat yang tinggal di kamp pengungsian. Tiap pagi ia sabar mengantre makanan, air, dan mengecas telepon genggam bersama pengungsi lainnya. Siapa pun dengan latar belakang kelas apa pun mengalami hal yang sama. Ia tolak tawaran dari bekas muridnya yang ingin membantunya karena ia merasa semua orang sama-sama hidup susah.
Sebagian orang memang memilih untuk tidak larut dalam kesedihan dan rasa frustrasi. Film ”No” mengambarkan bagaimana seorang sineas Gaza mencoba membangun keceriaan di tengah situasi yang muram lewat musik dan cerita-cerita gembira. Ia percaya, dengan begitu kebahagiaan akan segera datang.
Baca juga: "Brief History of a Family", Duri dalam Daging Keluarga Modern China
Rashid Masharawi mengatakan, apa yang terjadi di Gaza mesti ditunjukkan ke mana pun. ”Pembantaian berbeda dari (peristiwa) apa pun yang telah terjadi sebelumnya karena hal ini disiarkan secara langsung. Kita semestinya tidak melihat hal seperti ini, dan yang membunuh kami bukan hanya pendudukan Israel, melainkan juga sikap diam Arab,” tambahnya dalam konfrensi pers di Doha, Selasa (19/11/2024).
Membuat film di Palestina sangat sulit, terlebih di Gaza dalam situasi seperti sekarang ini. Pembuat film mesti memiliki rencana A, B, bahkan C. Itu pun belum tentu jalan. Dia mengapresiasi para sineas Gaza yang telah bekerja keras menyuarakan apa yang terjadi di Gaza lewat bahasa film.
Sampai sekarang, belum diketahui kapan penderitaan mendalam yang dialami warga Gaza akan berakhir. Jangankan bicara soal masa depan, bicara soal apakah mereka akan selamat nanti malam saja, mereka tidak bisa membayangkan. Situasi seperti ini ditangkap dengan baik oleh film ”Taxi Wanissa”, semacam gerobak sewa yang ditarik oleh keledai.
Film itu baru sebagian kelar karena saat akan shooting untuk bagian penutup, tokoh sais, Ahmed, yang mengendarai ”Taxi Wanissa”, tewas terkena serangan bom. Sebagai pengganti ending film itu, sang sutradara Etimmad Wishah berbicara di depan kamera. Ia menuturkan pengalaman sulitnya membuat film dan kesedihannya kehilangan Ahmed. Dia bilang, testimoninya adalah ending dari film ”Taxi Wanissa”.