”Brief History of A Family”, Duri dalam Daging Keluarga Modern China
Dua remaja, yang sama-sama produk kebijakan satu anak di China, tidak terbiasa berbagi ruang dengan anak-anak lainnya.
Oleh
BUDI SUWARNA
·6 menit baca
DOHA FILM INSTITUTE
Salah satu adegan dalam Brief History of a Family.
Kebijakan satu anak yang diberlakukan Pemerintah China selama lebih dari tiga dekade sejak 1979 ternyata memunculkan problem psikologi berlapis pada keluarga kelas menengah China masa kini. Problem ini ditangkap oleh sutradara Jianjie Lin lewat Brief History of a Family, film drama yang sarat kejutan.
Brief History of a Family pertama kali ditayangkan di Festival Film Sundace pada Januari 2024. Film produksi patungan antara China, Qatar, Denmark, dan Perancis ini juga diputar di Festival Film Ajyal 2024 yang digelar Doha Film Institute di Doha pada 16-23 November 2024. Sebagaimana film-film lainnya yang diputar di Festival Film Ajyal tahun ini, Brief History of a Family juga bertutur tentang daya tahan dan kreativitas manusia dalam menghadapi tekanan.
Film dimulai dengan adegan ketika remaja laki-laki berusia 15 tahun, Yan Shuo (Xilun Sun), berlatih pull up di sisi lapangan basket sekolahnya. Tiba-tiba ia jatuh setelah terkena lemparan bola basket. Kaki Shuo pun terluka. Tu Wei yang merasa bersalah karena membuat Shuo terluka menawarkan bantuan. Setelah itu, ia mengajak Shuo mampir ke rumahnya dan main gim bersama.
Meski satu sekolah, hubungan keduanya selalu canggung. Dua remaja yang sama-sama produk kebijakan satu anak di China itu tidak terbiasa berbagi ruang dengan anak-anak lainnya di rumah. Di sekolah pun seperti itu. Mereka tidak bergaul dan sibuk dengan urusan dan problem masing-masing.
Kehadiran Shuo di rumah Wei menjadi awal dari rentetan drama psikologis yang berlapis-lapis di film itu. Orangtua Wei, tuan dan nyonya Tu, yang merupakan simbol keluarga kelas menengah atas China, sejak awal menaruh simpati kepada Shuo yang menceritakan dirinya berasal dari keluarga bermasalah. Ibunya sudah meninggal, sementara ayahnya sering mabuk-mabukan dan memukulinya.
Setelah pertemuan pertama itu, nyonya Tu yang penuh kasih meminta Shuo untuk sering-sering datang ke rumahnya. Makin sering Shuo datang, makin besar perhatian yang diberikan nyonya dan tuan Tu. Apalagi, Shuo pintar mengambil hati keduanya. Shuo, misalnya, bercerita kepada nyonya Tu bahwa ayahnya jarang memasak dan setiap hari ia biasa makan nasi dengan kecap. Dia berterima kasih sekali diberi makanan enak oleh nyonya Tu.
ARSIP DOHA FILM INSTITUTE
Salah satu adegan dalam Brief History of a Family.
ARSIP DOHA FILM INSTITUTE
Salah satu adegan dalam Brief History of a Family.
Sementara itu, ketika Shuo mengobrol dengan tuan Tu, ia masuk ke dalam topik yang disukai tuan Tu, yakni musik klasik dan kaligrafi. Bahkan, ia mulai belajar membuat kaligrafi kepada tuan Tu. Sesuatu yang tidak mungkin mau dilakukan oleh anaknya sendiri, Wei.
Singkat kata, di mata nyonya dan tuan Tu, Shuo adalah anak manis, sopan, pintar berbahasa Inggris, dan punya mimpi besar. Shuo menjadi gambaran anak ideal bagi pasangan suami istri itu. Berbeda dengan anaknya, Wei, yang sepanjang hari hanya main gim, manja, dan nilai akademisnya pas-pasan. Makin lama, Wei dan Shuo seperti bumi dan langit di mata nyonya dan tuan Tu.
Namun, semakin hanyut dalam cerita film itu, penonton pelan-pelan akan disadarkan bahwa Shuo tidak semanis yang dikira. Ia remaja yang misterius dan punya kemampuan memanipulasi orang lain. Bermodal kemampuan itu, ia mulai mengontrol keluarga Tu dengan menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian.
Suatu hari, Shuo yang mengaku habis dipukuli ayahnya datang ke rumah keluarga Tu dengan luka-luka lebam di punggung. Nyonya Tu merawatnya dengan kasih sayang yang besar dan makin menaruh empati kepada Shuo yang menderita di usia semuda itu. Nyonya tu mendesak suaminya untuk melaporkan ayah Shuo ke polisi atau datang ke rumah Shuo dan berbicara dengan ayahnya.
Belum sempat hal itu dilakukan, Shuo datang lagi dan mengabarkan bahwa ayahnya baru saja mati dalam sebuah kecelakaan. Pengakuan Shuo itu membuat nyonya Tu benar-benar syok. Dia membayangkan anak malang itu akan tinggal sendirian. Maka, ia segera berbicara kepada suaminya untuk mengadopsi Shuo.
Kebijakan satu anak
Di sinilah, dengan halus sutradara dan penulis skenario Brief History of a Family menyisipkan konteks sosial-politik dalam film ini. Melihat suaminya ragu untuk mengadopsi Shuo, nyonya Tu mengungkap trauma lamanya akibat kebijakan satu anak di China yang dimulai tahun 1979 untuk menekan angka kelahiran di negara itu. Setelah Wei lahir, dia mengandung anak kedua. Namun, suaminya meminta kandungannya digugurkan demi mematuhi kebijakan satu anak di China sekaligus memuluskan karier suaminya sebagai ahli biologi ternama negeri itu.
ARSIP DOHA FILM INSTITUTE
Salah satu adegan dalam Brief History of a Family.
Peristiwa pengguguran itu menorehkan luka batin yang dalam bagi nyonya Tu selama bertahun-tahun. Apalagi, setelah kebijakan satu anak di China dicabut pada 2015, ia merasa tidak sanggup lagi untuk mengandung anak kedua seperti halnya yang dilakukan beberapa kolega seumurannya. Ia sudah terlalu tua. Maka, jalan paling realistis untuk memiliki anak lagi adalah dengan mengadopsi Shuo.
Singkat cerita, Shuo akhirnya diadopsi oleh keluarga Tu. Akan tetapi, nyonya dan tuan Tu tidak menyangka keputusan itu memukul mental Wei yang sudah lama mencium karakter manipulatif Shuo. Sialnya, kedua orangtuanya begitu percaya kepada semua cerita Shuo.
Dia merasa Shuo telah merebut cinta dan perhatian dari orangtuanya dan semua ruang di keluarga itu. Hal itu dilakukannya dengan sangat sistematis. Ketika statusnya baru menumpang tinggal pun, Shuo sudah berani mengatur Wei apakah perlu mematikan lampu kamar atau tidak sebelum tidur. Ketika ditawari mau memakai kaus pinjaman yang mana, Shuo malah menunjuk kaus yang sedang dipakai Wei. Hal ini membuat Wei benar-benar senewen dan merasa Shuo sengaja membuat dia tidak nyaman di rumahnya sendiri.
Siapa pun yang menjadi nomor dua selalu bisa menemukan jalan kemenangan.
Wei makin yakin Shuo ingin merebut tempatnya di keluarga itu ketika ingat bahwa Shuo pernah mengatakan, ”Siapa pun yang menjadi nomor dua selalu bisa menemukan jalan kemenangan.”
Secara konteks peristiwa, kalimat itu dikatakan Shuo ketika ia mengalahkan Wei dalam permainan semacam halma tradisional China. Ia menang setelah ia menyuruh Wei menjadi orang pertama yang memainkan koin, sedangkan ia orang kedua. Namun, makna kalimat yang disampaikan oleh Shuo dengan tegas itu bisa diartikan lain, yakni bahwa Shuo yang datang sebagai ”anak kedua” akan mengalahkan Wei sebagai anak pertama dan satu-satunya di keluarga Tu.
Makin hari Wei makin gusar dengan kehadiran Shuo, terlebih ayahnya terus menekan dia untuk belajar sekeras mungkin, termasuk bahasa Inggris, agar bisa kuliah di luar negeri. Padahal, cita-cita Wei hanya ingin menjadi atlet anggar.
Kegusaran Wei memuncak ketika orangtuanya mengajak Shuo berlibur ke luar kota, sementara Wei tidak ikut dengan alasan sedang mempersiapkan diri mengikuti ujian. Liburan itu membuat Shuo makin dekat dengan orangtua Wei, sementara Wei makin frustrasi karena posisinya di keluarga sudah benar-benar direbut.
Kemarahan Wei benar-benar meledak ketika kedua orangtuanya merayakan ulang tahun Shuo di rumah. Ia bereaksi hingga masuk rumah sakit. Namun, momen itu jadi ”kemenangan” Wei dalam kompetisinya dengan Shuo.
Sebagai film drama psikologis yang berlapis-lapis, Jianjie berhasil mengungkap luka batin dari masing-masing tokoh serta penyebabnya. Dengan luka batin seperti itu mereka menjalani hidup dengan caranya masing-masing.
Jianjie menjalin problem-problem itu dengan amat rapi sambil terus menyisipkan misteri sampai akhir. Sebagian kisah dituturkan secara simbolik atau menggunakan percakapan-percakapan dengan kalimat bersayap sehingga susah bagi penonton untuk menebak jalan cerita selanjutnya sampai akhir. Apalagi, semakin lama semakin kelihatan bahwa tokoh-tokoh yang diceritakan dalam film itu memiliki kemampuan manipulatifnya sendiri-sendiri.
Lantas di antara mereka siapa yang sebenarnya paling manipulatif? Silakan tonton dan mencari jawabnya.