Gelombang Seni Rupa di Ruang Komersial Jakarta Design Center
Karya seni dan desain berkelindan di Festival Art Love U di ruang Jakarta Desain Center.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F11%2F02%2F970871dc-e1ff-4b44-bb83-7d032a74b25e_jpg.jpg)
Patung Leopard dengan medium titanium karya Lie Nay Tjien, yang berkarya dan menetap di Bali, ditampilkan di Festival Art Love U, di Jakarta Design Center (JDC), Jakarta, Jumat (1/11/2024). Festival seni yang pertama kali digelar JDC ini diikuti 43 seniman, berlangsung pada 1-12 November 2024.
Pameran seni rupa berskala nasional hingga internasional makin marak dilangsungkan di beberapa kota besar di Indonesia saat ini. Jakarta Design Center (JDC) turut dalam gelombang ini dengan menggelar festival seni rupa untuk pertama kalinya. Sebanyak 43 seniman dan kolektif partisipan diundang dalam festival ini, seperti Joko Avianto dan Agan Harahap, yang menyajikan karya nan menggugah.
”Harapannya, festival seni rupa ini bisa berlangsung setiap tahun di sini,” ujar Direktur Utama JDC Nurul Syahri, dalam konferensi pers menjelang pembukaan Festival Art Love U, Jumat 2/11/2024, di Gedung JDC, Jakarta.
Nurul didampingi Mikke Susanto dan Gie Sanjaya selaku kurator pameran, serta dipandu moderator Bambang Asrini Wijanarko. Festival Art Love U berlangsung selama dua pekan, 1-12 November 2024, mengambil ruang-ruang tertentu yang tidak tersewakan di lantai 1 hingga 6.
JDC memiliki tujuh lantai dan satu lantai bawah tanah. Gedung ini dibangun sejak Juli 1988 dan diresmikan Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminta pada 16 Maret 1990. Jika dihitung, luas total bangunan mencapai 26.000 meter persegi di atas tanah 13.000 meter persegi. Gedung ini berada di jantung kota Jakarta.
“Selain festival seni rupa yang diharapkan berlangsung setiap tahun, juga ada festival untuk desain,” ujar Nurul.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F11%2F02%2Fbf1b8178-aa03-4077-8129-7dd56517046d_jpg.jpg)
Pengunjung menikmati seni instalasi karya Bintang Tanatimur di Festival Art Love U, Jakarta Design Center, Jakarta, Jumat (1/11/2024). Festival seni pertama JDC yang diikuti 43 seniman ini berlangsung pada 1-12 November 2024.
Direktur Festival Art Love U Rohadi mengatakan, ruang pamer yang tersebar di enam lantai menggunakan area seluas sekitar 1.500 meter persegi. Di sela ruang pamer berupa outlet atau ruang penjualan beragam kebutuhan furnitur dan interior milik para penyewa di JDC.
Karya seni dan desain berkelindan di JDC. Dalam catatan kuratorial Mikke dan Gie, menuliskan, jangan biarkan ada ruang kosong tanpa spirit seni. Jumlah warga yang tinggal di Jakarta cukup besar. Warga membutuhkan festival atau pameran seni yang bisa berguna dalam banyak hal.
JDC sebagai pusat perbelanjaan produk interior dengan mengandalkan keelokan desain mungkin saja mulai banyak ditinggalkan publik. Para penyewa banyak yang tidak memperpanjang kontrak. Para pengunjung pun kian melesu.
Baik pihak manajemen JDC maupun kurator menemukan titik temu, yakni jangan sampai ada ruang yang kosong. Ruang-ruang kosong akhirnya dimanfaatkan untuk festival seni rupa ini.
Bahkan, Nurul beberapa kali menawarkan kepada publik, terutama para seniman, untuk berpameran di JDC. Pihak manajemen sudah memutuskan lebih terbuka menerima pameran-pameran seni rupa di ruang-ruang yang kosong itu.
Budaya kontemporer
Mikke mengutarakan, seni visual saat ini tengah berada di dalam budaya kontemporer. Di dalam budaya kontemporer terdapat peluang sekaligus tantangan dalam menghadirkan beragam karya seni yang berguna di tengah keriuhan hidup di kota Jakarta.
”Tanpa seni, warga tidak mungkin merasakan indahnya hidup,” ujar Mikke, menjelang pembukaan Festival Art Love U yang dibuka Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F11%2F02%2F557182b9-d611-4245-9dfa-927bdf491669_jpg.jpg)
Seniman Made Toris Mahendra bersama kurator Festival Art Love U Mikke Susanto berpose di depan karya Made Toris, Jumat (1/11/2024). Made Toris salah satu peserta Festival Art Love U.
Budaya kontemporer menantang ekspresi bebas setiap seniman. Kolektor seni kontemporer Wiyu Wahono, saat menanti kedatangan Giring Ganesha untuk membuka festival ini, menyatakan, Festival Seni Love U masih diisi dengan ragam seni visual, baik lukisan maupun patung.
”Di dalam seni kontemporer juga memungkinkan hadirnya karya yang bisa dicium atau dibaui sehingga di dalam seni kontemporer tidak hanya persoalan seni rupa,” ujar Wiyu.
Seni kontemporer itu tidak berbatas. Di dalamnya terdapat hal paling utama berupa konteks dan pesan yang ingin disajikan kepada audiens. Estetika atau keindahan acap kali dinomorduakan. Seni pertunjukan dalam budaya kontemporer pun sering menjadi bagiannya.
Baca juga: Menebar Harapan pada Pemerintah Baru
Menurut Wiyu, peristilahan seni kontemporer sering keliru menjadi seni rupa kontemporer. Jika demikian halnya, seni itu dibatasi sebagai seni rupa dan tidak lagi menjunjung prinsip kontemporer yang bebas dan tidak ada batasan.
”Seni dalam budaya kontemporer ini cukup relevan dihadirkan di JDC yang selama ini dikenal sebagai ruang komersial,” ujar Wiyu.
Wiyu belum mengetahui arah pengembangan festival seni di JDC. Bahkan, Wiyu juga belum mengetahui siapa yang menjadi pemilik gedung itu.
Tidak berselang lama, hadirlah Siswono Yudo Husodo di JDC. Menteri Negara Perumahan Rakyat periode 1988–1993 dan Menteri Transmigrasi periode 1993–1998 ini rupanya pemilik JDC. Siswono tidak langsung memasuki gedung, tetapi menikmati karya seni fasad berupa instalasi seni bambu yang digarap seniman Joko Avianto.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F11%2F02%2F332f5c53-350c-4aec-9bf8-7ac21bfc2972_jpg.jpg)
Karya seni tiga dimensi berjudul ”The Borneo", karya Joko Avianto, ditampilkan di Festival Art Love U, di Jakarta Design Center, Jakarta, Jumat (1/11/2024).
Joko meliuk-liukkan bambu seperti rajutan. Ia menggunakan teknik modul bambu pecah. Instalasi seni bambunya sebagai simbol kekhawatiran akan tergerusnya kreativitas penduduk dalam peralihan industrialisasi.
Joko mengkhawatirkan penyusutan vegetasi hutan bambu yang berdampak pada kehidupan masyarakat di sekitarnya. Penduduk makin meninggalkan budaya bambu dan bertransformasi ke dalam industri manufaktur.
Karya instalasi Joko tidak hanya ditempatkan di fasad gedung. Di salah satu ruang pamer juga terdapat karya seni kontemporer Joko yang dibuat dengan rotan sintetis berwarna cokelat alami, serta warna merah dan putih.
Karya itu diberi judul ”The Borneo” karena memang mewujudkan bentuk Pulau Borneo atau Kalimantan. Ukuran karya itu 185 x 30 x 200 cm sebagai topografi karya seri daging sapi yang dibikin sebelumnya.
Di sisi luar karya itu, Joko menggunakan jalinan rotan sintetis alami, sedangkan di bagian dalamnya ia merajut dengan rotan sintetis berwarna merah dan putih. Dari segi media, Joko memperlihatkan ironi makin memudarnya rotan asli hingga tergantikan rotan-rotan sintetis.
Kerusakan hutan Kalimantan yang menyimpan kekayaan hasil bumi juga makin mengkhawatirkan. Apalagi rencana perpindahan ibu kota negara ke wilayah Kalimantan dikhawatirkan memicu eksploitasi dan peralihan fungsi hutan di sana.
Konteks kekinian
Menyaksikan karya-karya yang dipamerkan di enam lantai tersebut, sebagian besar ragamnya karya dua dimensi berupa gambar dan lukisan. Kemudian ada seni instalasi, perca, patung, atau rajutan benang seperti yang ditampilkan secara interaktif oleh kolektif RajutKejut.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F11%2F02%2Fec43bad8-84d9-456b-b149-16626056ce79_jpg.jpg)
Karya seni interaktif, ”Sesaji Bhumi”, karya kolektif RajutKejut ditampilkan di Festival Art Love U, Jakarta Design Center, Jakarta, Jumat (1/11/2024).
Kolektif yang terdiri dari ibu-ibu yang memiliki hobi merajut itu menampilkan karya yang diberi judul ”Sesaji Bhumi” (2024) dengan media benang serat akrilik berukuran lebar 120 cm dan tinggi 200 cm.
Karya itu berbentuk separuh kerucut dengan bagian luarnya dilapisi rajutan bunga-bungaan. Di bagian atas separuh kerucut tadi diberi lubang yang ditujukan untuk kepala pengunjung supaya bisa berpose di situ. Selebihnya, karya-karya rajutan mereka ada yang dilekatkan di dinding atau sketsel pembatas ruang.
Di antara karya dua dimensi, karya seniman Agan Harahap mewarnai konteks kekinian yang bersinggung dengan konflik antara Palestina dan Israel. Ia menampilkan karya yang diberi judul ”Psalm 23 : 4” dengan media cetak di atas kertas berukuran 42 cm kali 60 cm.
Karya itu menggambarkan figur Yesus dengan tangan kiri membopong domba kecil, sedangkan tangan kanannya memegang senjata AK-47 rancangan Mikhail Kalashnikov. Kerudung kepala Yesus menggunakan kafiyeh Palestina bermotif warna putih hitam.
”Kurator Mikke Susanto sempat meminta karya lama, tetapi saya tetap mengajukan karya saya yang terbaru ini,” ujar Agan.
Baca juga: Herman Priyono dan Chakra Narasangga Melukis Mimpi
Agan menggunakan teknologi aplikasi kecerdasan artifisial (artificial intelligence/AI) untuk gambar tersebut. Ia terinspirasi bacaan kitab suci umat Kristen dari Mazmur Bab 23 Ayat 4, mengisahkan Yesus sebagai gembalaku, maka takkan kekurangan aku.
Agan membaca lebih lengkap lagi dan menemukan ayat yang mengisahkan tongkat dan gada Yesus, yang memberi perasaan aman bagi domba-dombanya. Dalam konteks kekinian, tongkat dan gada itu seperti senjata untuk menyelamatkan kawanan domba atau anak buah yang harus dilindunginya.
”Dengan AI, muncul gambar seperti itu. Gambar hasil AI ini saya unggah pula ke Instagram, dan banyak yang protes,” ujar Agan.
Karya Agan menunjukkan karya seni kontemporer yang cukup rumit. Namun, konteks dan pesan kekiniannya memberikan renungan yang mendalam.