Menengok Kembali Cianjuran
Pameran seni rupa Cianjuran menengok kembali riwayat Cianjur yang dulu pernah menjadi ibu kota Karesidenan Priangan.
Salah satu agenda pameran seni rupa untuk rangkaian kegiatan Bandung Art Month 7 pada 2024 diberi tajuk Cianjuran. Ini menarik, ketika khalayak tidak hanya disuguhi lukisan, tetapi diajak menengok kembali riwayat Cianjur yang dulu pernah menjadi ibu kota Karesidenan Priangan, sebelum dipindahkan ke Bandung pada 1864.
Salah satu alasan pemindahan ibu kota tersebut adalah untuk menghindari dampak vulkanik Gunung Gede pada waktu itu. Ketika menengok kembali Cianjur kali ini dikaitkan dengan seni rupa Cianjuran di masa kolonial, karya-karya lukisan pada waktu itu memuja eksotisme tropika dengan tiga jurus berupa gunung, matahari, dan sawah padi. Ini kemudian populer sebagai lukisan mooi indie atau hindia molek.
Cianjuran: Pameran Seni Rupa, demikian tajuk pameran tersebut. Ini digelar di Galeri Thee Huis, Taman Budaya Jawa Barat, Bandung, berlangsung antara 10 dan 25 September 2024. Ada enam peserta asal Cianjur, yakni Adam Jabbar, Alexander Christoper, Arya Posa, Roni Buya, Tedy Ch, dan Widhi NRS.
Kompas mengunjungi pameran itu, Kamis (12/9/2024) siang. Tidak banyak pengunjung terlihat. Deretan lukisan di ruang pajang menampakkan karakter masing-masing seniman. Ada kecenderungan gaya lukisan mereka beraliran abstrak. Setidaknya, lukisan-lukisan abstrak mendominasi.
Jika ditilik, semestinya Cianjuran identik dengan mooi indie, ternyata itu tidak melekat selamanya. Kurator pameran, Diyanto, menegaskan, seni rupa Cianjuran di sini bukanlah suatu langgam atau gaya lukisan. Akan tetapi, Cianjuran yang mengacu pada konteks kewilayahan dan sejarah yang melingkupinya. Dari lukisan-lukisan mooi indie yang bisa menjelajah sampai Eropa menjadi abstrak ini suatu perubahan yang menarik untuk ditengok.
Priangan di masa kolonial menjadi kawasan subur untuk perkebunan komoditas yang laku di pasaran Eropa, seperti kopi, teh, tebu untuk gula, dan kina. Pemerintah kolonial Hindia Belanda mengoptimalkan usaha-usaha perkebunan itu. Banyak investor asal Belanda didatangkan dan menanamkan modal mereka. Banyak yang kemudian menetap di Priangan, tetapi ada pula yang hanya singgah untuk berplesiran.
Konon, plesiran orang-orang Belanda itu layaknya turisme yang memicu tumbuhnya ekonomi pariwisata. Di antaranya mereka membutuhkan oleh-oleh khas dari bumi Priangan. Salah satunya, lukisan eksotik tropika mooi indie tadi.
Baca juga: Penghargaan untuk Seniman Muda
Gaya lukisan dengan tiga jurus gunung, matahari, dan sawah tentu tidak mudah didapatkan dari seniman-seniman di Eropa. Lukisan-lukisan mooi indie menjadi sebuah kemewahan tersendiri bagi mereka. Setidaknya, dengan mengoleksi lukisan mooi indie menunjukkan kelas tertentu di Eropa karena itu menunjukkan pengalaman mereka pernah melancong ke dunia Timur.
Di Priangan, lukisan-lukisan mooi indie memberi berkah tersendiri, seperti di Jelekong, wilayah Bandung Selatan, yang masih eksis sampai sekarang. Di sana masih terdapat masyarakat pembuat lukisan tersebut. Mereka secara komunal melukis mooi indie serta pengembangannya yang disesuaikan pasar, di antaranya lukisan bercorak Bali.
Pilar budaya
Salah satu peserta pameran, Adam Jabbar, menceritakan, adanya tiga pilar budaya Cianjur yang terus digemakan sampai sekarang mungkin saja turut berpengaruh terhadap perkembangan seni rupa di sana. Ketiga pilar budaya tersebut meliputi ngaos, mamaos, dan maenpo. Ketiganya bermakna sebagai upaya melestarikan kegiatan mengaji Al Quran, berpantun, dan pencak silat dengan nilai kekhasan tidak untuk menyakiti lawan.
”Mungkin saja ada aspek religiositas yang memengaruhi perkembangan seni rupa di Cianjur seperti dari mooi indie menjadi abstrak seperti sekarang. Akan tetapi, saya sendiri merasakan pertumbuhan seni abstrak terpengaruh selama saya menempuh studi dan berinteraksi di Bandung,” ujar Adam.
Adam pindah dari Cianjur ke Bandung pada 1988 dan kembali menetap di Cianjur mulai 2004 sampai sekarang. Untuk pameran Cianjuran ia menampilkan tiga seri lukisan abstrak berukuran besar. Ketiga lukisan abstrak itu diberi judul A Story of Whiskey, Mystic, and Men No 1-3 (2020). Media yang digunakan cat akrilik di atas kanvas berukuran 284 cm x 184 cm untuk dua lukisan, sedangkan satunya lagi dengan dua panel berukuran masing-masing 155 cm x 140 cm.
”Saya melukiskan perjalanan spiritual saya. Di situ ada kemabukan, tetapi lebih pada kemabukan hal duniawi, seperti mabuk jabatan,” ujar Adam, yang tidak menamatkan studi S-1 di Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Pasundan, Bandung.
Peserta berikutnya, Christoper Alexander. Christ, sapaan laki-laki kelahiran Cianjur pada 1999 ini, menuntaskan studi di dua fakultas sekaligus, Fakultas Hukum serta Fakultas Kependidikan dan Ilmu Keguruan di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, periode 2017-2022.
Ia kemudian kembali dan menetap di Cianjur. Di Cianjur, Christ membuat sangar melukis dan galeri. ”Awal melukis karena hobi. Kemudian setelah lulus kuliah saya merasa terpanggil untuk memajukan seni rupa di Cianjur,” ujarnya.
Christ memahami riwayat seni rupa Cianjur yang pernah masyhur di masa kolonial. Melalui pameran Cianjuran kali ini ia berharap adanya kebangkitan kembali atau renaisans.
”Saat ini di kota Cianjur saya memperkirakan ada 30 sampai 40 perupa yang aktif melukis dan memamerkannya,” kata Christ.
Ia melihat memang ada kecenderungan gaya melukis abstrak di antara para perupa yang tinggal di Cianjur. Ia melihat hal itu sebagai dampak kewilayahan Cianjur yang diapit dua kota besar Bandung dan Jakarta sebagai pasar karya seni abstrak.
Christ sendiri mengembangkan karya seni abstrak dan bukan abstrak. Karya abstrak berjudul Old Forgotten (2024) ditampilkan di pameran ini. Karya ini dengan medium cat akrilik di atas kanvas berukuran 120 cm x 120 cm dengan warna dasar biru toska. ”Biru toska untuk menggambarkan suasana kedamaian,” ujarnya.
Lukisan lainnya dengan warna dasar biru toska, di antaranya diberi judul Lonely Road (2024), dengan media cat akrilik di atas kanvas berukuran 50 cm x 40 cm. Di situ Christ melukiskan figur seseorang dalam ukuran kecil berada di sebuah Lorong.
Kemudian karya yang diberi judul Empty (2024) dengan media cat akrilik di atas kanvas berukuran 50 cm x 40 cm pula. Christ melukiskan figur seseorang yang tampak kecil dengan seluruh warna dasar biru toska.
”Perkembangan seni rupa di Cianjur sebagai sang liyan ini perlu diketengahkan kembali agar masuk ke dalam peta perbincangan seni rupa Indonesia,” ujar Diyanto.
Menyebar
Bandung Art Month 7 yang digelar mulai Agustus hingga September 2024 ini setidaknya menghadirkan sekitar 28 kegiatan dan pameran yang menyebar di berbagai tempat di Bandung. Agenda ini menampilkan tema Asik.
Selain mengunjungi pameran Cianjuran di Taman Budaya Jawa Barat, Kompas sempat mengunjungi beberapa pameran lainnya. Di antaranya di Galeri Grey yang ada di Kawasan Braga. Di situ digelar pameran bertajuk Reimmaginare Renaissance dengan dua pameran kelompok dan satu pameran tunggal Toni Antonius bertajuk Reimaging the Past: Contemporary Reflection on Grandeur.
Baca juga: Menumbuhkan Lini Baru
”Saya mencoba mengenalkan teknik melukis dengan kolase, kemudian memperbesar skala dengan proyektor untuk kemudian dilukis,” ujar Toni Antonius, yang menampilkan gaya melukis romantisme Barat di masa renaisans.
Berikutnya, pameran tunggal Arkiv Vilmansa di Paviliun Sunaryo. Arkiv menampilkan patung-patungnya yang terinspirasi Mickey Mouse, sosok kegemarannnya di masa kecil. Kemudian pameran tunggal Cosilia Wu bertajuk Photothread di Orbital Dago.
Setiap pameran terasa mengusung problematika sekaligus keasyikan masing-masing. Bandung Art Month 7 memberikan cakrawala seni rupa yang tanpa batas.