”Home Sweet Loan”, Cerminan Mahalnya Mimpi Kelas Menengah
Film ”Home Sweet Loan” menceritakan sulitnya beli rumah bagi penduduk kelas menengah bergaji pas-pasan.
Ada satu mimpi buruk warga kelas menengah yang terimpit gaji pas-pasan dan biaya hidup yang kian melambung: mengorbankan mimpi untuk bertahan hidup. Mimpi—sesederhana apa pun itu—rupanya adalah kemewahan bagi sebagian orang. Film Home Sweet Loan merangkumnya secara realistis, sederhana, dan dibungkus dengan rangkulan hangat bagi para pejuang kehidupan.
”Orang biasa kayak gua tuh mau mimpi aja harus tahu diri ternyata,” ucap Kaluna (diperankan Yunita Siregar) dalam film Home Sweet Loan garapan sutradara Sabrina Rochelle Kalangie. Film yang tayang per 26 September ini adalah adaptasi dari novel laris berjudul sama.
Kalimat itu adalah puncak keputusasaan Kaluna, si anak bungsu yang hidup serumah dengan orangtuanya serta dua kakaknya yang sudah menikah dan punya anak. Sebetulnya rumah itu cukup besar untuk ukuran orang Jakarta yang hidup di lahan terbatas. Namun, rumah itu sudah tua, penuh barang, dan penuh coretan para keponakan yang masih kecil.
Pada akhirnya, rumah itu jadi terlampau sempit kala dihuni sembilan orang. Kaluna bahkan tergusur dari kamarnya sendiri.
Perempuan yang sehari-hari pergi ke kantor dengan transportasi umum ini jadi berpikir, apa rasanya punya rumah sendiri? Betapa nikmatnya merebahkan diri setelah seharian bekerja, mandi air hangat, lalu masak apa pun di dapur sendiri. Itulah mimpi Kaluna.
Tetapi, yang namanya mimpi pasti baru bisa digapai setelah berjuang. Kaluna bukannya malas berjuang. Ia menabung mati-matian demi bisa mengajukan kredit pemilikan rumah alias KPR. Tak salah bahkan jika menganggap Kaluna pelit pada dirinya sendiri.
Mungkin itu juga satu-satunya cara untuk beli rumah. Di zaman sekarang, kenaikan gaji kerap tak seimbang dengan laju inflasi, apalagi dengan kenaikan harga properti. Rasanya mau menabung bagaimana pun bakal tak cukup karena ”hari Senin harga properti naik”.
”Kami riset masalah KPR dan sistem peminjaman di kantor untuk memperkuat apa yang mau ditampilkan (di film),” ucap sutradara Sabrina di Jakarta, Rabu (4/9/2024).
”Hasil risetnya memang sangat tidak mungkin (beli rumah). Aku pribadi makin pesimistis lagi (untuk beli rumah). Lucunya, saat kami nulis (skenario), enggak lama ada berita generasi Z sulit punya rumah, terus ada Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat),” ucap Sabrina yang saat ini tinggal di rumah indekos dan naik transportasi umum.
Melalui Kaluna, film ini tidak hanya menyuguhkan tantangan individu dalam mendapatkan rumah, tetapi juga menggugat perlunya perubahan sistemik dalam kebijakan perumahan di Indonesia. Tapera yang diklaim bertujuan mengurangi ketimpangan kepemilikan rumah nyatanya disangsikan publik.
Ada kekhawatiran bahwa iuran Tapera bisa bermasalah, entah berujung pada korupsi atau penyelewengan dana. Ini becermin pada kasus korupsi di program-program sebelumnya, seperti yang melibatkan PT Asuransi Jiwasraya, PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri), dan PT Taspen atau Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri.
Representasi publik
Kaluna adalah representasi sebagian penduduk Indonesia yang termasuk kelas menengah: kaya tidak, miskin juga tidak. Gaji mereka di atas upah minimum regional (UMR) dan dianggap sudah mampu membiayai hidupnya sendiri. Bantuan pemerintah kerap tak menyasar kelas menengah.
Di sisi lain, kelas menengah sebetulnya hidup di tengah banyak impitan, bahkan sulit ”naik kelas”. Kelas menengah rawan turun kelas akibat melemahnya daya beli masyarakat serta minimnya kebijakan pemerintah yang pro-kelas menengah. Ini ditandai dengan menurunnya jumlah penduduk kelas menengah.
Jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia sempat meledak pada periode 2014-2018. Pada 2014, jumlah kelas menengah 39 juta jiw` atau 15,6 persen dari total penduduk Indonesia. Pada 2018, angka ini naik signifikan menjadi 60 juta jiwa atau 23 persen dari total penduduk.
Angka ini stagnan setelah 2018. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), jumlah kelas menengah turun jadi 52 juta orang (18,8 persen dari total populasi) pada 2023. Artinya, ada 8,5 juta orang ”turun kelas” dari kelas menengah jadi calon kelas menengah dan rentan dalam lima tahun (Kompas, 7/8/2024).
Baca juga: Lampu Kuning Merosotnya Kelas Menengah Indonesia
Walau terekam dalam angka, duka kelas menengah sebetulnya tak bisa diukur. Film Home Sweet Loan menyajikan duka ini dengan hal yang dekat dengan keseharian masyarakat, seperti lelah dan panjangnya perjalanan ke kantor dengan transportasi umum yang penuh atau kerja lembur yang tak dibayar.
Masih banyak duka Kaluna-Kaluna lain di luar sana yang tak terlihat, apalagi jika ia adalah generasi roti lapis (sandwich generation). Konstruksi sosial mewajibkan anak yang telah dewasa dan mapan untuk membantu ekonomi keluarga. Itulah bentuk bakti sang anak. Tak ada ruang menjadi egois, bahkan untuk membangun masa depan sendiri.
Beban berlipat itulah yang ditanggung Kaluna. Mimpi punya rumah seolah sulit tergapai, apalagi ketika kakaknya—yang katanya mau beli tanah sendiri—ditipu dan terlilit pinjaman daring alias pinjol. Masalahnya, rumah tua keluarganya jadi taruhan. Celaka dua belas!
Tabungan yang selama ini dikumpulkan susah payah oleh Kaluna adalah cahaya di ujung lorong gelap. Namun, kenapa Kaluna mesti berkorban, padahal bukan dia yang salah? Ia dihadapkan pada pilihan sulit: mewujudkan mimpi untuk beli rumah atau menolong keluarga yang selama ini menjadikannya ”keset”.
Berurai air mata
Film Home Sweet Loan adalah film yang diramu serealistis mungkin. Sang sutradara tak memberi teknik audio atau visual khusus agar segala detail dan emosi muncul tanpa pretensi. Hal ini pula yang lantas menguras air mata penonton.
Audiens yang menangis sesenggukan terdengar jelas saat film ditayangkan secara terbatas di Jakarta, Kamis (12/9/2024) malam. Bagi mereka, Kaluna adalah mereka. Emosi dan duka terpendam mereka tumpah melalui akting Yunita Siregar yang baru pertama kali bermain film.
Di kursi bagian belakang, Yunita dan para pemeran lain, yakni Derby Romero dan Risty Tagor, juga berurai air mata. Mereka berpelukan, menepuk pundak satu sama lain, dan mengatakan bahwa cerita di film ini sangat dekat dengan kehidupan pribadi mereka.
Adapun sang produser, Cristian Imanuell, juga tak kuasa menahan tangis. Air matanya tumpah sejak peluncuran trailer dan poster film ini beberapa minggu lalu. Tangisnya kembali pecah setelah film ini ditayangkan. Bagi Cristian, filmnya kali ini adalah karya yang sangat personal. Ia tak menyebut detail cerita hidupnya, tetapi tangis Cristian sudah mewakili sebagai curahan hati alias curhat.
Baca juga: Cinta yang Sederhana dalam ”Seni Memahami Kekasih”
Dalam kesempatan sebelumnya, Cristian menyebut bahwa curhat kerap dianggap remeh dan lemah sehingga sebagian orang ragu untuk menceritakan beban hidup. Itu sebabnya ia dan rumah produksi Visinema Pictures membuat Bilik Curhat. Bilik ini tersedia di Sarinah, Jakarta, dan Bogor.
Bilik Curhat adalah tempat masyarakat bisa datang dan menceritakan beban hatinya ke depan kamera secara privat. Dalam video kompilasi (yang sudah disetujui untuk ditayangkan), ada beberapa orang muda yang menceritakan beratnya hidup sebagai generasi roti lapis. Tak sedikit yang lantas menitikkan air mata.
Selain di Bilik Curhat, ada banyak air mata yang jatuh di studio bioskop seusai penayangan film. Home Sweet Loan memeluk audiens dengan realita dan harapan. Diam-diam, film ini menampilkan bahwa tantangan besar memang hanya bisa dijalani orang yang hatinya seluas samudra dan bahunya sekokoh karang.
Walau berat, akhir terbaik akan tiba di waktu yang tepat dengan cara tak terduga. Film ini mengingatkan bahwa kita tak sendiri. Ada banyak Kaluna di luar sana yang sedang mempertaruhkan mimpinya untuk bertahan hidup. Semoga harapan segera menjamah mimpi itu….
Catatan: Artikel ini merupakan kolaborasi dengan peserta magang harian Kompas, Sophie Azzahra Ryonaputri, mahasiswa Program Studi Sastra Rusia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.