Menumbuhkan Lini Baru
Gigantik. Begitulah kesan saat menelisik aktualisasi Lini Natalini Widhiasi untuk menjelmakan eskapisme yang luar biasa.
Lini Natalini Widhiasi telah melampaui pencarian jati diri berkreasinya dengan media yang jauh lebih eksploratif, bahkan rekreatif. Pengembaraan spiritual sang perupa dituangkan dalam pameran bertajuk ”Infinity Yin Yang” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat.
Lini tak henti-hentinya dikerubuti tamu, teman, dan kerabat. Ia dengan ramah melayani mereka berfoto, mengobrol, atau sekadar menyapa selama paling tidak dua jam sejak pameran itu dibuka, Selasa (3/9/2024). Suatu kali, Lini malah sampai setengah ditarik, tetapi tetap tergelak.
Obrolah hangat dan derai tawa kian riuh rendah lantaran kawan-kawan Lini nun jauh dari Surabaya, Yogyakarta, Bandung, hingga Denpasar ikut nimbrung. Sebagian undangan pun asyik berpose di depan karya seni. Seorang pengunjung bahkan sampai rebahan demi menggapai potret yang estetis.
Demikian daya tarik karya-karya Lini yang sungguh menggoda pengunjung untuk mengabadikan keindahannya dengan mengunggah deretan foto bokeh ke internet. Wajar mengingat aneka karya Lini tergolong monumental dengan refleksi logam yang memikat.
Di sudut Gedung A tersebut, misalnya, ”Upside Down Mind”, meruyakkan kilau spektrum bercahaya bak pelangi. Karya berwujud piramida terbalik itu berfondasi kawat kasa dengan lempengan-lempengan aluminium jajaran genjang berlapis hologram yang tumpang tindih.
Panjang dan lebar karya yang merepsentasikan pikiran kontradiktif tersebut masing-masing 2,5 meter dengan tinggi sekitar 3,5 meter. Terlebih, ”Upside Down Mind” dengan laburan silver metalik menggantung di langit-langit hingga termasuk kreasi yang paling menyita perhatian.
Selaras dengan gagasan itu, karya-karya lainnya terlihat rapi, tetapi beberapa lagi menyuguhkan kekarutmarutan. Benang merahnya, sentuhan Lini menyorongkan pesona yang sama dengan ukuran kolosal. Di ambang memasuki pameran saja, kepala sudah diajak untuk menengadah.
Baca juga: Menembus Batas melalui Yin Yang
Pagi-pagi, pengunjung sudah disambut dengan ”Awakening” yang menjulang hingga setinggi 4,62 meter dan panjang 2 meter. Pas betul dengan kebangkitan Lini setelah hiatus menghelat pameran tunggalnya selama lebih kurang dua dekade. Ia memfilosofikan penghabisan sekaligus sebagai permulaannya.
”Pamerannya jadi momen yang sangat penting. Banyak input didapat yang termaktub dalam karya-karya saya,” ujar perempuan yang dulu dikenal sebagai pelukis tersebut. Saat energi yang tertumpuk akhirnya menggelegak, dua dimensi alias kanvas ternyata sudah tak cukup lagi untuk menampung ekspresi Lini.
Gigantik. Begitulah kesan ketika menelisik aktualiasi Lini untuk menjelmakan eskapismenya yang luar biasa kuat. Ia menyodorkan 12 judul besar, masing-masing terdiri atas beberapa fragmen. Tak jarang, ia membubuhi kelir-kelir yang tak lazim macam kuning pastel, biru pucat, atau merah marun.
Sayap malaikat
Tak heran, sayap mewujud elemen paling penting untuk menjembarkan ide Lini yang tengah merayakan kebebasannya. Sayap pula yang melambangkan perubahan halus dan pemikiran lembut. Ia, umpamanya, menumpahkan kreativitas dalam ”Suffer-Hope-Glory”.
Tafsir setiap pengamat akan karya seni tentu berbeda-beda, tetapi sintesis Lini soal penderitaan, harapan, dan kejayaan itu sangat kasat mata merepresentasikan rajawali. Kepala raja langit tersebut tertelungkup memandang tajam tubuh gelisah yang meronta-ronta untuk terlepas dari kungkungannya.
Lini telah meretas belenggu dari kesejarahan kreativitas masa silam yang tersendat-sendat karena kesibukan mengurus anak-anak dan kehidupan sosialnya. ”Saya pernah mengunjungi Kabah dan melihat malaikat di sudut Yamani. Sayap-sayapnya besar sekali. Sangat merasuki pikiran saya,” ujarnya.
Elemen lain, muka menyamping, tak kalah penting jika menilik Lini yang lebih sigap menangkap mimik, kebanyakan dari sisi kiri obyeknya. Cemberut, diam, mengoceh, jemu, menunduk, bersedih, atau terdiam, malah tampak buntu tatkala ia menatap lawan bicaranya dari depan.
Inspirasi serupa dihamparkan dalam ”Spirit Journey”, ”Couple”, ”Passion and Hope”, dan ”Opposite”. Ia bahkan memadukan kedua anasir utama itu berwadahkan ”Whispering Good and Bad” lewat sayap-sayap kokoh yang menggamit dua sejoli dengan wajah bersirobok.
Demikian pula dalam ”Feminine I”, termasuk ”Yin Yang”, yang mencantumkan bulu-bulu laksana garuda. Kemerdekaan Lini ikut dikukuhkan ”Peace” dan ”Tree of Life” dengan kawanan burung yang melayang bebas dari sarangnya menuju angkasa lepas.
Berutang banyak
”Saya vakum karena waktu akhir kuliah harus menikah. Punya anak lagi dan lagi yang saya besarkan dengan cinta, tetapi enggak punya kesempatan melukis,” tuturnya. Ia memang dikenal sebagai pelukis cilik dengan talenta fantastis pada dekade 1970-an hingga memukau I Gusti Nyoman Lempad hingga Affandi.
Mereka menjuluki Lini pelukis ajaib, bahkan sang guru. Darah seni mengalir dari pasangan pelukis Anastasia Moentiana dan Tedja Soeminar tersebut. ”Saya berutang banyak sekali setelah enggak melukis. Ayah malah menagih, masa dua jam saja enggak ada waktu,” kenangnya.
Seusai anak-anak sudah mandiri, waktu Lini berangsur-angsur senggang, tetapi kepekaannya sudah pudar. Masa kanak-kanak telah hilang berganti dengan realitas kedewasaan. ”Waktu saya menemukan roso lagi, problemnya jadi serius. Keterbatasan dua dimensi sangat mengganggu saya,” katanya.
Kanvas nyatanya mengotak-ngotakkan daya cipta Lini. Sekat-sekat pun diterobos untuk berinovasi hingga seni tanpa batas diraih dengan menjajal macam-macam medium, bahkan sampai berpameran. Ia mulai menemukan renjana barunya saat diminta mempercantik arsitektur dengan interior yang berundak-undak.
Akhirnya, aluminium dan stainless steel atau baja tahan karat menjadi pelampiasan. Kegundahan dan kegelisahan pun usai saat kenihilan justru ia maknai dengan jeda yang amat penting untuk berlari lebih kencang. Yin yang menyeimbangkan benak Lini yang telah merengkuh kebahagiaan dengan idealismenya.
Pelaku budaya Pustanto turut bernapas lega karena perjuangan berat Lini berbuah manis setelah mengajukan proposalnya tiga tahun lalu. Pameran tunggal seni rupa aluminium yang pertama di Indonesia itu berlangsung hingga 3 Oktober 2024.
Baca juga: Lini Natalini Widhiasi, Bermalam di Galeri
Kurator ”Infinity Yin Yang”, Citra Smara Dewi, mengakui rekor terlamanya mendampingi seniman untuk memasang displai selama lebih dari sepuluh hari. “Biasanya, dua sampai tiga hari saja. Saya juga sudah hampir setahun jadi kurator pameran Lini,“ ujarnya.
Pamong Budaya Ahli Utama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Siswanto, mengungkapkan peran negara untuk memfasilitasi seniman dan budayawan. “Seperti saat ini, pamerannya bisa menumbuhkan Lini baru,“ ucapnya sambil tersenyum.
Catatan: Artikel ini merupakan kolaborasi dengan peserta magang harian Kompas, Andrei Wilmar, mahasiswa Jurusan Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara.