Agar Kasus seperti Fanny Vs Soegi Bornean Tak Terjadi, Pelajari soal Royalti
Bagaimana sih aturan soal royalti? Ini perlu dipelajari agar kasus seperti Fanny vs Soegi Bornean tak terjadi lagi.
Oleh
BUDI SUWARNA
·4 menit baca
Beberapa hari terakhir ini, jagat media sosial diramaikan oleh perseteruan antara penyanyi Fanny Soegi dan band Soegi Bornean. Fanny, mantan vokalis Soegi Bornean, mengeluh di akun X tentang pembagian royalti lagu ”Asmalibrasi” yang menurut dia tidak adil dan tranparan.
Ia menyebutkan, salah satu pencipta lagu tersebut tidak menerima royalti lagu ”Asmalibrasi” sebagaimana mestinya. Sampai-sampai, si pencipta lagu mesti berutang untuk membayar biaya sekolah anaknya.
Manajemen Soegi Bornean merespons keluhan terbuka Fanny dengan mengatakan, royalti lagu ”Asmalibrasi” sudah didistribusikan sesuai dengan nominal yang disepakati.
Kasus Fanny dan Soegi Bornean menambah panjang perseteruan soal royalti di jagat industri musik Indonesia. Juni 2024, misalnya, Ari Bias melaporkan Agnez Mo ke polisi karena menyanyikan lagu ”Bilang Saja” tanpa seizin Ari sebagai pencipta.
Pada tahun sebelumnya, Ahmad Dhani melarang mantan Once Mekel, vokalis Dewa 19, membawakan lagu-lagu Dewa 19. Dhani merasa lagu-lagu tersebut sering dibawakan Once tanpa membayar royalti.
Polemik soal royalti juga mencuat ketika Mbah Surip meninggal pada Agustus 2009. Keluarganya mengeluh karena royalti lagu tenar ”Tak Gendong” yang diciptakan dan dinyanyikan Mbah Surih, hanya Rp 112 juta.
Mengapa persoalan seperti ini sering muncul meski perlindungan terhadap hak cipta dan pembayaran royalti sudah ada aturannya?
Ada baiknya kita mempelajari aturan perundangan-undangan yang ada agar perseteruan soal hak cipta dan pembayaran royalti tidak terulang lagi.
Apa saja peraturan yang melindungi hak cipta lagu/musik?
Hak cipta atas lagu/musik dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Undang-undang tersebut menyebutkan, ada hak moral dan ekonomi pencipta dan pemegang hak cipta yang harus dilindungi.
Meski begitu, peraturan yang melaksanakan UU tersebut baru muncul pada 2021 berupa Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu/Musik.
Kehadiran PP yang sudah begitu lama ditunggu-tunggu oleh pelaku indutsri musik itu, menjadi jalan perbaikan tata kelola royalti lagu dan musik di Indonesia. Berikut beberapa hal yang bisa dipelajari dari PP Nomor 56 Tahun 2021.
Apa yang dimaksud dengan royalti?
Royalti adalah imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait yang diterima oleh pencipta atau pemillik hak terkait.
Yang dimaksud sebagai pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari penerima hak tersebut secara sah.
Bagaimana substansi pengelolaan royalti?
Pengelolaan royalti yang diatur dalam PP No 56/2021 meliputi tiga kategori. Pertama, hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta yang dikelola, mencakup pertunjukan ciptaan, pengumuman ciptaan, dan komunikasi ciptaan.
Kedua, hak ekonomi pelaku pertunjukan yang dikelola melalui penyiaran dan/atau komunikasi atas pertunjukan pelaku pertunjukan. Ketiga, hak ekonomi produser fonogram yang dikelola meliputi penyediaan atas fonogram dengan atau tanpa kabel yang dapat diakses publik.
Pihak yang wajib membayar royalti adalah setiap orang atau badan hukum yang melakukan penggunaan lagiu dan atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial. Pasal 3 ayat (2) PP No 56/2021 menyebutkan ada 14 kategori, antara lain pertokoan, perhotelan, konser musik, serta restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek.
Siapa yang menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti?
Royalti yang telah dihimpun LMKN didistribusikan kepada pencipta, pemegang hak cipta dan/atau pemilik hak terkait yang telah menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif (LMK)
Apa itu LMK?
LMK merupakan badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta dan/atau pemilk hak terkait untuk mengelola kepentingan hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.
Apakah bisa mendaparkan royalti tanpa menjadi anggota LMK?
PP No 56 Tahun 2021 hanya menyebutkan, royalti untuk pencipta, pemegang hak cipta dan/atau pemilik hak terkait yang tidak diketahui atau belum menjadi anggota suatu LKM akan disimpan dan diumumkan. Jika dalam dua tahun tetap tidak diketahui atau belum menjadi angota suatu LKM, royalti tersebut akan digunakan sebagai dana cadangan.
Dengan kata lain, tanpa menjadi anggota suatu LKM, pencipta, pemegang hak cipta dan/atau pemilik hak terkait, tidak bisa mendapatkan royalti.
Apakah aturan tentang royalti sudah bisa menjawab semua persoalan?
Meski PP No 56 Tahun 2021 disambut baik karena memberi dasar bagi perbaikan tata kelola royalti, tetapi aturan tersebut masih memiliki sejumlah kelemahan mulai pada teknis pemungutan, tarif royalti, kemampuan memonitor penggunaan lagu/musik untuk kepentingan komersial, belum adanya sistem yang dapat mendeteksi dan menghitung penggunaan lagu dan musik secara komersial, hingga pendistribusian hasil royalti.
Selain itu, belum ada regulasi khusus yang mengatur royalti pada jagat digital. Padahal, begitu banyak lagu/musik yang berseliweran secara gratis di media sosial. Akibatnya publik termanjakan pada sesuatu yang bersifat gratisan, tak berbayar, alias cuma-cuma.
Persoalan lainnya, banyak pencipta lagu/musisi belum ”ngeh” dengan royalti. Kalaupun sudah ”ngeh” mereka mesti menghadapi aturan yang buat orang awan, cukup njelimet dan bikin pening kepala.