Kisah Luar Biasa Orang-orang Biasa
Film drama komedi Indonesia semakin kaya ragam. Penyebabnya, si pembuat film dan sumber referensinya semakin bervariasi.
Belakangan, racikan genre drama komedi dalam sinema Tanah Air bertambah kaya akan rasa. Sineas di balik layar mengupas hubungan antar-manusia dengan perspektif multidimensi sampai terasa realistis. Ceritanya juga berbicara tentang persoalan yang lebih besar.
Deretan sutradara, pemeran, dan produser film Seni Memahami Kekasih (2024) tertawa renyah di suatu sore di Epicentrum XXI, Jakarta, Senin (2/9/2024). Penyebabnya adalah Agus Mulyadi, si penulis Sebuah Seni untuk Memahami Kekasih. Buku tentang percintaan Agus dan istrinya ini merupakan inspirasi utama cerita dalam film tersebut.
Agus bangga sebab merasa dirinya sudah setara dengan mendiang presiden BJ Habibie. Seperti yang diketahui, kisah cinta sang presiden dan istrinya dibuat sampai jadi tiga film waralaba Habibie & Ainun (2012, 2016, 2019).
”Kalau film ini bercerita tentang orang miskin ketemu orang miskin. Saya sebagai orang yang hidup di zaman FTV, dulu itu ceritanya orang miskin ketemu orang kaya. Film ini memberikan realitas kehidupan asmara sebagian besar masyarakat Indonesia,” kata Agus.
Produser Susanti Dewi mengatakan, film-film lain pada umumnya menjual pengalaman. Namun, kali ini ia memilih pendekatan berbeda dengan memilih mengadaptasi novel karya Agus Mulyadi. ”Kalau Seni Memahami Kekasih lebih pada menjual rasa karena penonton bisa ikut senang dan sedih melihat bagaimana karakter berjalan. Ceritanya juga beresonansi dengan pasar yang lebih besar,” tuturnya.
Film lain yang sudah meluncur, Kaka Boss, ikut mengambil premis ringan yang tidak biasa muncul di sinema. Sutradara Kaka Boss, Arie Kriting menyebutkan, ide tentang film ini muncul karena adanya keinginan untuk memberikan opsi terkait representasi Indonesia timur. Film-film tentang Indonesia timur kebanyakan menyoroti tentang kesedihan dan kemiskinan. Arie ingin mempersembahkan film yang menyenangkan.
Kaka Boss mengisahkan tentang seorang ayah asal Indonesia timur yang sukses bekerja di bidang keamanan, tetapi mendapat cap preman. Ia lalu berusaha menjadi penyanyi agar putrinya bangga pada dirinya. ”Saya ingin mengimbangi narasi tentang Indonesia timur agar kita tidak terjebak dalam profil yang kelam dan suram,” ujar Arie.
Isu sosial
Konflik ringan dalam film-film tersebut sesungguhnya mengandung isu sosial yang tengah relevan bagi masyarakat saat ini. Kaka Boss boleh saja bicara tentang jatuh bangun perjuangan sang ayah merebut hati anaknya. Namun, film ini juga berbicara tentang rasisme dan stereotipe negatif pada orang Indonesia timur.
“Sumber pengembangan cerita ini berasal dari pengalaman dan gagasan yang ingin saya bawakan. Bagi saya, film adalah pertemuan antara realitas dan imajinasi. Adalah fakta bahwa banyak perantau Indonesia timur yang bekerja di sektor pengamanan, tetap saya menawarkan persepsi berbeda sehingga orang bisa menyelami perasaan mereka sebagai manusia terlepas dari latar belakang suku dan pekerjaan yang mereka geluti,” kata Arie.
Karena itulah, Arie mengembangkan karakter-karakter sebagai manusia utuh. Karakter Kaka Boss kuat, tetapi lemah saat bertemu keluarganya. Sifat kompleks karakter pendukung lainnya juga terlihat. “Ini bisa memberikan gambaran bahwa karakter manusia itu berbeda-beda dan itu mempengaruhi cara mereka mengambil keputusan,” jelasnya.
Seni Memahami Kekasih juga menciptakan beberapa karakter baru yang tidak ada dalam buku untuk menambah unsur sentimental. Tujuannya untuk memperlihatkan realitas kehidupan miris warga kabupaten-kabupaten di Jawa Tengah yang rentan pada pernikahan dini, KDRT, perceraian, kemiskinan, sampai harus menjadi pekerja migran mencari nafkah.
”Saya, Susanti, dan penulis skenario, Bagus Bramanti, tidak ingin film ini sekadar ha-ha, hi-hi. Ada hal krusial yang perlu dipikirkan,” tutur sutradara Seni Memahami Kekasih, Jeihan Angga.
Jeihan melanjutkan, penting untuk mengetahui tentang kehidupan manusia terlebih dulu sebelum membuat film. Karena pada akhirnya, drama yang paling baik sebetulnya adalah drama kehidupan. ”Makanya dalam film ini kami melakukan riset dan ada kisah yang berasal dari kehidupan personal beberapa orang yang saya kenal,” ucapnya.
Metode serupa juga muncul pada film yang akan tayang di akhir September nanti, Home Sweet Loan. Film drama komedi ini merupakan adaptasi dari novel berjudul serupa karya Almira Bastari. Film ini mengisahkan perempuan pekerja muda yang menjadi generasi roti lapis (sandwich generation) bermodalkan gaji pas-pasan.
Masalah generasi roti lapis selama ini menjadi momok masyarakat untuk ‘naik kelas’. Efeknya bermacam-macam. Salah satunya, banyak yang mesti berjuang mati-matian untuk mempunyai rumah sendiri. Realitas itulah yang tergambarkan dalam film Home Sweet Loan.
”Film ini berguna untuk menyentuh dan merepresentasi orang yang selama ini belum disentuh. Dengan meng-acknowledge perasaan kita ada, valid, dan terjadi di banyak orang, kita bisa mulai melihat apa yang akan kita lakukan setelahnya,” ujar sutradara Home Sweet Loan, Sabrina Rochelle Kalangie.
Merayakan lokalitas
Meski mengisahkan cerita yang bersifat universal, para sineas menyajikan cerita dalam balutan unsur lokalitas yang menunjukkan keberagaman masyarakat. Kaka Boss dan Seni Memahami Kekasih bergabung dengan film lainnya yang telah melakukan pendekatan serupa, contohnya Uang Panai' (2016), Yowis Ben (2018), Ngeri-Ngeri Sedap (2022), dan Srimulat: Hil yang Mustahal-Babak Pertama (2022).
”Keberagaman budaya yang kita miliki ini membawa kita pada keberagaman karakteristik masyarakat sehingga melahirkan kecenderungan tertentu ketika menyikapi sebuah situasi. Cara orang Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Indonesia Timur merespons sesuatu pasti berbeda. Penting untuk kita munculkan sehingga kita bisa saling mengenal dan memahami. Film adalah salah satu medium paling ideal untuk merekam itu semua,” tutur Arie.
Susanti menambahkan, kekayaan budaya merupakan sumber menarik bagi pembuat film dalam membuat sebuah cerita. ”Kami suka mencari cerita yang menarik dan penting untuk diceritakan dan untuk dibuat menjadi sebuah film,” katanya.
Baca juga: Menimbang-nimbang Rasa Kemanusiaan
Unsur lokalitas juga muncul dalam serial drama komedi, seperti Induk Gajah (2023-2024) garapan Muhadkly Acho. Induk Gajah adalah adaptasi dari novel milik Iragita Sembiring yang mengisahkan dinamika kehidupan seorang perempuan Batak muda.
Sang tokoh utama tertekan karena harus hidup berdasarkan ekspektasi orangtua, masyarakat, dan adat istiadat. Dalam wawancara pada akhir Juli 2024, Acho mengatakan, Induk Gajah memotret masalah penerapan adat istiadat dan tradisi antara generasi tua dan generasi muda saat ini.
”Jadi, orangtua enggak bisa lagi seolah pasang pagar sendiri dan asal bersikap, gue enggak mau tahu karena gue yang benar dan elu yang salah. Lewat film ini pengennya bisa mengajak semua pihak sama-sama berpikir ulang kalau adat istiadat seharusnya mewarnai kehidupan bersama dan bukan malah membebani,” tambah Acho.
Semakin bervariasi
Pengamat sekaligus peneliti film Hikmat Darmawan menjelaskan, fenomena semakin beragamnya perspektif dalam cerita drama di sinema Indonesia tidak lepas karena latar sang pembuat film yang makin beragam. Begitu pula dengan sumber rujukan kuat yang menjadi inspirasi cerita film.
Jika melihat ke belakang, ia menuturkan, produksi film sempat terpuruk pada tahun 1990-an di era Reformasi. Namun, karya-karya para sineas, misalnya Garin Nugroho, Riri Riza, dan Mira Lesmana, menjadi fondasi perfilman Indonesia yang membuatnya berkembang sampai saat ini. Sebutlah Petualangan Sherina (2000) dan Ada Apa dengan Cinta? (2002).
Pembuat film di kancah sinema ikut berkembang sampai sekarang. Ada sineas yang merupakan lulusan sekolah film, seperti Garin, penggemar film seperti Joko Anwar, dan juga komika seperti Raditya Dika serta Ernest Prakasa.
”Jadi, sekarang pembuat film yang mendominasi di Indonesia adalah orang dari sekolah film, komunitas film, penggemar film, komika, dan lainnya. Sekarang tidak lagi sebatas anak film atau teater bikin film atau anak sastra menulis film, tetapi sekarang orang yang belajar film secara formal dan informal bisa membuat bermacam-macam cerita,” tutur Hikmat.
Baca juga: Bualan-bualan dalam Obyektifikasi Perempuan
Hikmat melihat, dalam membuat film, para sineas tersebut menggunakan rujukan yang beragam sehingga menghasilkan cerita bervariasi dengan gaya masing-masing. Sineas lulusan film, umpamanya, biasanya mendapat inspirasi dari film-film dunia, novel, dan buku bacaan. Sementara itu, para komika kebanyakan membuat film dari observasi kehidupan sehari-hari.
”Belum lagi ada berbagai produk intellectual property (IP) dari medium lain. Atau bahkan, media sosial juga ikut menyumbang dengan cerita-cerita yang diklaim sebagai kisah nyata. Fenomena ini membuat pasar film kita sedang kuat sekali,” kata Hikmat.
Menurut Hikmat, fenomena kehadiran komika ke film sejak tahun 2010-an khususnya membuat wajah sinema Indonesia lebih inklusif. Selain kerap mengangkat unsur lokalitas, wajah para pemain dalam film juga tidak mengikuti standar kecantikan aktor dan aktris yang konvensional sehingga penonton terasa lebih dekat dengan cerita.