Keresahan Musisi di Balik Peringatan Darurat
Peringatan Darurat menjadi simbol ekspresi marah kepada pemerintah. Seniman mengamplifikasinya.
Saat merayakan usia 30 tahun dalam konser Giginfinity di Istora Senayan, Jakarta, pada Sabtu (24/8/2024) malam, Gigi memulai konser dengan menampilkan logo Garuda Biru dengan tulisan ”Peringatan Darurat”. Grup musik yang dibentuk di Bandung dan hampir tak pernah memperlihatkan sikap politiknya itu akhirnya turut bergerak.
Sekitar 7.000 penonton yang tengah menanti kehadiran mereka di panggung sontak bertepuk tangan, berteriak mengapresiasi, dan mengeluarkan ponsel untuk merekam. Suasana semakin haru ketika lagu ”Bagimu Negeri” ciptaan Kusbini mengiringi. Bulu kuduk pun merinding.
Tanpa basa-basi, grup beranggotakan Armand Maulana (vokal), Dewa Budjana (gitar), Thomas Ramdhan (bas), dan Gusti Hendy (drum) ini segera memulai konser. Logo Peringatan Darurat beserta footage tentang kekerasan aparat pun mengiringi Gigi ketika membawakan lagu ”Tak Lagi Percaya”.
Kenapa saya memilih merah? Karena merah putih dan garuda akan selalu menggawangi demokrasi di Indonesia ini.
Menjelang akhir konser, setiap personel mengungkapkan isi hati mereka. Para personel menyampaikan terima kasih atas dukungan para penggemar sehingga karier Gigi menembus masa tiga dekade. Seusai berterima kasih kepada rekan-rekan dan keluarganya, Budjana membahas gitar yang dia pakai pada malam itu.
Di panggung, saat tampil, Budjana biasa memakai gitar berwarna biru yang bermakna ketulusan. Namun, untuk momen malam itu, ia memilih gitar merah dengan sentuhan putih pada gambar Garudeya, sosok makhluk antropomorfis mitologis yang muncul dari kisah mitologi Hindu Buddha. Gitar itu dilukis oleh sahabatnya, seniman Putu Sutawijaya.
”Kenapa saya memilih merah (putih)? Karena merah putih dan garuda akan selalu menggawangi demokrasi di Indonesia ini,” kata Budjana yang langsung mendapat sambutan meriah dari penonton.
Musisi resah
Gigi yang tengah merayakan ulang tahun ke-30 itu rupanya tak mau diam-diam saja. Mereka turut bergabung dengan musisi Tanah Air lainnya yang dengan blak-blakan menyuarakan keresahan mereka terhadap ancaman demokrasi bangsa.
Selain Gigi, ada Reality Club, The Jansen, Danilla, Matter Halo, Pamungkas, Juicy Luicy, Adrian Khalif, Kunto Aji, .feast, Lomba Sihir, Barasuara, Bilal Indrajaya, Isyana Sarasvati, Eva Celia, Nadin Amizah, Fiersa Besari, hingga Feel Koplo. Dalam kesempatan berbeda tetapi dalam durasi yang tak terlalu jauh, mereka ramai-ramai memasang gambar Peringatan Darurat di layar latar panggung tempat mereka tampil.
Ajakan untuk memasang gambar Peringatan Darurat itu sebelumnya disuarakan oleh Baskara Putra, vokalis band .feast, melalui akun media sosialnya. Pada Kamis (22/8/2024), Baskara bersama para personel .feast, yaitu Awan Fikriawan, Adnan Satyanugraha, dan Dicky Renanda, juga ikut turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi di depan Gedung DPR.
Kamis malam, musisi Kunto Aji merespons ajakan itu. Di panggung Perjalanan Menawar Racun yang merupakan konser tunggalnya di Jakarta, Aji menampilkan logo Peringatan Darurat di layar latar panggungnya. Ini merupakan bentuk partisipasi aksinya karena di siang hari tak bisa ikut turun berdemo.
Esok harinya hingga Minggu, musisi lain satu per satu turut memakai logo tersebut sebagai salah satu tampilan visual panggung tempat mereka tampil. Ini dilakukan di berbagai lokasi panggung, seperti Jakarta, Yogyakarta, Cirebon, Pekanbaru, dan Bandung.
Barasuara yang tak memungkinkan memasang visual Peringatan Darurat karena set panggung yang kecil mengakali dengan mencetak banyak logo Garuda Biru bertuliskan Peringatan Darurat. Logo tersebut dibagikan ke penonton juga ditempel di gitar Iga Massardi. Mereka juga mengenakan kaus bertuliskan lirik lagu ”Etalase”, bunyinya Punya Orangtua Berkuasa, Merasa Bebas Menganiaya.
Di Bandung, Selasar Sunaryo turut memasang Peringatan Darurat. Pohon-pohon di kawasan Selasar Sunaryo dibalut kain-kain biru.
Sempat dilarang
Efek aksi yang dilakukan para musisi itu tak main-main. Sejumlah musisi mulai memperoleh pemberitahuan untuk tak memakai visual tersebut di atas panggung.
Hal ini salah satunya disuarakan oleh Nadin Amizah dan Fiersa Besari. Kendati demikian, keduanya tetap berhasil menampilkan visual Peringatan Darurat. Bahkan, Nadin kompak mengenakan pakaian serba hitam bersama band pengiringnya dan di tangannya terikat kain merah putih.
Upaya melarang visualisasi ini juga dirasakan Feel Koplo. Kelompok musik yang beranggotakan Tendi Ahmad, Maulfi Ikhsan, dan Wildan Sugara ini diminta menurunkan visual tersebut dari akun media sosial mereka.
”Yang meminta klien melalui event organizer (EO). Menurut kami, EO enggak salah karena mereka hanya bekerja untuk klien. Wajar, sih, mereka takut, ada pihak yang power-nya lebih besar dari mereka,” ujar Tendi.
Keputusan Feel Koplo turut berpartisipasi dalam situasi ini disebabkan mereka merasa beruntung, punya sesuatu yang bisa disampaikan kepada orang banyak, terutama melalui musik. Mereka merasa hal itu harus dioptimalkan untuk mengamplifikasi sesuatu yang benar dan baik bagi kepentingan masyarakat.
”Kami ngerasa dangdut, kan, musik rakyat. Kalau kampanye pada pakai dangdut kan ya, berarti kritik boleh pakai dangdut juga, dong, ya,” ujar Ikhsan. Mereka pun senang banyak musisi yang bisa melihat karya musik sebagai corong komunikasi rakyat, bukan hanya hiburan semata.
Apa yang diungkapkan Feel Koplo ini sejalan dengan fungsi musik seperti yang ditulis Robert Phillips dalam A Little History of Music. Musik bisa menjadi media efektif untuk menyebarluaskan pengaruh dan perjuangan.
Bahkan tak melulu harus melalui lirik. Seperti Feel Koplo dengan musik dangdutnya, Nadin Amizah dan Juicy Luicy dengan lagu cintanya, atau Kunto Aji dengan lagu kontemplatifnya. Mereka tetap bisa berkontribusi lewat visual tersebut.
Kritik dari para musisi bukan sekali dua kali saja terjadi. Tahun 2017, misalnya, Iksan Skuter pernah mengguncang panggung Synchronize Fest saat membawakan lagu kritik yang seolah berkorelasi dengan petinggi salah satu partai politik yang tengah terjerat kasus korupsi. Aksi serupa dilakukan Navicula serta Rocket Rockers. Parpol yang merasa tak terima mendatangi media yang menayangkan berita tentang aksi kritik tersebut.
Di masa Orde Baru, tentu saja, Iwan Fals, Sawung Jabo, sampai Setiawan Djodi lewat Kantata Takwa cukup tenar dengan lagu “Bento” dan “Bongkar”. Pelarangan terhadap aksi panggung mereka pun terjadi berulang kali karena dianggap menyerang pemerintah.
Betharia Sonata yang populer dengan lagu ”Hati yang Luka”—bertutur tentang kekerasan dalam rumah tangga—pun terkena imbasnya. Lagunya dianggap cengeng sehingga sempat dilarang oleh Menteri Penerangan Harmoko. Padahal, Betharia juga tidak lantang mengkritik pemerintahan, tetapi tetap saja mengalami represi karena lagu ciptaan Obbie Messakh itu.
Tak hanya lagu pop, di era Orde Baru, lagu dangdut juga punya sejarah pahit, dilarang karena dinilai dapat memobilisasi masyarakat. Padahal, liriknya kadang tak berhubungan dengan persoalan negara.
Tanpa pandang lirik, ketika musik dan aksi pemusiknya dianggap bisa memantik perhatian dan menggerakkan banyak orang, sangat mungkin ada pihak yang gerah dan ketakutan. Seperti yang dialami Feel Koplo dan musisi lain karena Peringatan Darurat ini.
Merujuk Laporan Tahunan Koalisi Seni bertajuk ”Situasi Kebebasan Berkesenian 2023: Persimpangan Politik Penuh Ketakutan”, dari 37 kasus pelanggaran kebebasan berkesenian, sebanyak 37 kasus berkaitan dengan musik. Pelakunya adalah negara melalui aparat dan peranti lainnya.
Pergerakan para musisi yang melampaui lirik dengan ramai-ramai menampilkan Peringatan Darurat menunjukkan rasa marah yang tak tertahan serta kepedulian akan kondisi negeri. Aksi mereka juga makin menguak represi terhadap seni yang nyatanya masih hinggap di negara demokrasi ini.