Ombang-ambing Dekonstruksi Film ”Kabut Berduri”
”Kabut Berduri” menjadi karya Indonesia yang masuk 10 besar film terlaris Netflix di pekan ketiganya. Penasaran?
Apa yang terlihat oleh mata sering bukan yang sesungguhnya. Banyak lapisan yang menyelubungi, hingga antara yang nyata atau tidak, benar atau salah, justru campur aduk melahirkan bias makna, bahkan tujuan.
Premis ini muncul seusai menyaksikan film Kabut Berduri yang tayang di Netflix sejak 1 Agustus 2024. Sepanjang film berdurasi 112 menit ini, kabut benar-benar hadir melingkupi aneka persoalan yang dipaparkan dan dijahit oleh Edwin selaku sutradara.
Berawal dari adanya jasad dengan tubuh dan kepala yang berbeda identitas, konflik menyebar dari pembunuhan menjadi banyak dan beragam problematika. Mulai dari perdagangan orang, sengketa lahan dengan masyarakat adat, pembalakan liar dan kebakaran hutan yang sejalan dengan bisnis sawit ilegal, borok aparat dari polisi dan tentara, kesetaraan jender, hingga friksi tentang perbatasan Indonesia-Malaysia.
Baca juga: ”Kuasa Gelap”, Bukti Film Horor Melakukan Diversifikasi
Bahkan, prolog mengenai Partai Komunis Kalimantan Utara atau Paraku membuat tebakan dan ekspektasi makin liar. Padahal, nukilan Paraku, sejatinya pengantar masuk ke sosok mistis Ambong yang dipercaya hadir meski tak berwujud dan menjadi pengikat jalinan cerita.
Meski berkisah tentang sepak terjang detektif, film keluaran Palari Films ini bukan tipikal serial Criminal Minds, Crime Scene Investigation, atau semacam Sherlock Holmes yang menyuguhkan konklusi pelaku di akhir cerita. Seperti judulnya, semua di dalamnya penuh kabut tanpa ada kesimpulan yang memuaskan.
Mereka yang berharap ada pengungkapan perkara atau ada pendalaman pada satu isu tentu akan jatuh kecewa. Namun, justru semua yang dijahit Edwin lewat tokoh detektif Sanja (Putri Marino) tersebut adalah realitas bagi sesungguhnya kondisi Indonesia.
Apakah kasus tentang perdagangan orang di negeri ini pernah tuntas? Apakah sengketa lahan dengan masyarakat adat menemukan solusi yang tepat? Bagaimana dengan polemik pembangunan Ibu Kota Nusantara?
Saya tidak ingin mengeksotiskan Kalimantan yang memang sudah eksotis juga, ya.
Apakah cukong pembalakan liar dan kebakaran hutan dapat dibongkar? Apakah suap aparat bisa diberantas? Bagaimana dengan seksisme yang masih menimpa perempuan? Bagaimana pula dengan masalah-masalah di perbatasan Indonesia-Malaysia? Semuanya saling bertaut satu sama lain.
Sungguhpun demikian, meski dalam film ini tokoh-tokoh culas yang nyatanya berkaitan dengan aneka masalah ini harus kehilangan nyawa atau gila di dalam penjara, bukan berarti persoalannya rampung karena praktiknya masih berjalan.
Pemilihan Kalimantan sebagai sentral penceritaan berangkat dari riset antropolog Dave Lumenta. Edwin, Dave, dan Ifan Ismail berdiskusi lalu meramu cerita berdasarkan latar Kalimantan dan karut-marut persoalannya. ”Saya tidak ingin mengeksotiskan Kalimantan yang memang sudah eksotis juga, ya,” ujar Edwin.
Karena itu, tumpukan problem yang identik dengan Kalimantan yang digerakkan kasus pembunuhan pun disuguhkan. Ini kemudian menghubungkan Sanja, Panca Nugraha (Lukman Sardi), Thomas (Yoga Pratama), Silas (Yusuf Mahardika), Agam (Kiki Narendra), Umi (Siti Fauziah), hingga Bujang (Yudi Ahmad Tajudin).
Dekonstruksi makna
Lalu, apa kaitan Ambong dengan rentetan hal ini? Dalam salah satu adegan, ketika dilanda ketakutan, Sindai (Ratu Nadya Rachma) berulang kali mengucap, ”Ambong pasti melindungi.” Meski kemudian, muncul pertanyaan dari Arum (Paula Rontoi), anak perempuan bisu yang bersama Sindai, yang mempertanyakan apakah Sindai pernah melihat Ambong.
Tentu saja, tak pernah ada yang melihatnya, termasuk Sindai, mengingat Ambong adalah semacam mitos yang berangkat dari salah satu petinggi Paraku yang berhasil kabur dari kejaran tentara karena dianggap sakti. ”Ketika jauh dari pusat, hal-hal mistis semacam ini memang makin hidup,” ujar Edwin.
Baca juga: Film Horor (Hampir) Selalu Berjaya, Bagaimana Genre Lainnya?
Hal ini mengingatkan pada pidato kebudayaan Mochtar Lubis di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1977 yang dibukukan dalam Manusia Indonesia. Ada sejumlah ciri manusia Indonesia. Ciri keempat menyebutkan manusia Indonesia masih percaya takhayul.
Akan tetapi, alih-alih menampik keberadaan Ambong dan berusaha kembali pada fana, mengikuti alur film yang penuh nuansa suram ini, pemikiran terus diobrak-abrik dan suka tidak suka terseret pada sesuatu yang tanpa perlu hadir, tapi menegaskan keberadaannya melalui dugaan karma buruk yang menimpa tokoh demi tokoh.
Tiap pemaknaan yang muncul pun seketika mentah ketika berhadapan dengan barisan fakta lain. Ibarat teori dekonstruksi milik Jacques Derrida yang menganggap makna tidak bisa diputuskan karena interpretasi terus berganti, termasuk oposisi biner dalam konteks benar-salah yang juga tak berlaku dalam Kabut Berduri.
Sedikit contoh, fokus yang semula disiapkan untuk mengungkap kasus pembunuhan bisa dipastikan bergeser ketika memasuki adegan Umi dan tiga anak perempuan yang hendak dijual. Hasrat membongkar sindikat perdagangan orang kemudian tumbuh.
Begitu pula dengan penokohan, simpati dan empati yang muncul ketika melihat Sanja datang untuk membongkar kasus. Kegigihannya melawan atasan yang seksis dan doyan suap hingga ngotot menangkap mafia daerah memiliki interpretasi dan pemaknaan positif.
Walakin, ketika Sanja mengungkap masa lalunya bahwa karena dia polisi lalu bisa bebas dari kasus yang membelitnya, perspektif positif kemudian runtuh. Bahkan bisa jadi ada penonton yang mengucap, ”Ah, ternyata semua aparat memang sama saja.” Upaya Sanja memperbaiki diri dengan ejawantah kegigihan itu rasanya pun tak serta-merta mengembalikan interpretasi positif seperti semula.
Hal serupa muncul juga di tiap tokoh yang diciptakan. Masing-masing tak ada yang sempurna dan tiap interpretasi ataupun pemaknaan mudah dihancurkan untuk menemukan makna baru. Thomas, misalnya. Gerak-geriknya yang mencurigakan menimbulkan tanya, tapi rupanya ia memiliki alasan yang akhirnya melahirkan empati pada katakternya.
Sama juga seperti Ambong yang penuh misteri dan teka-teki. Apabila berlandas pada konsep differance yang juga dikenal lewat Derrida, Ambong ini hadir dalam ketiadaan. Bahkan, meski hanya sesekali disebut, penyebutannya selalu pada sejumlah momen krusial.
Konsep differance ini juga berlaku pada kesimpulan dari kasus pembunuhan berantai yang ditangani Sanja. Orang-orang selalu mengacu pada pengungkapan dan penjelasan, padahal tak semuanya bisa berujung pada pengungkapan karena tumpang tindih interpretasi dan pretensi untuk saling menutupi.
Layaknya kabut, persoalan di negeri ini pun demikian. Fakta terbolak-balik hingga maknanya sukar diputuskan. Siapa yang berambisi? Siapa yang culas? Siapa yang sebenarnya bertujuan mulia? Semuanya samar dan jika memaksakan keingintahuan bisa berujung luka karena duri yang melingkupi.