Lugas Saja, Lirik Lagu Sekarang Tak Perlu Berbunga-bunga
Musik juga identik dengan lirik. Di era baru ini, lirik lugas terbukti lebih menarik.
Saat menyusun lirik lagu, musisi bak pujangga yang mengekspresikan perasaan secara indah, terkadang puitis. Belakangan, muncul musisi generasi baru yang menulis lirik secara lugas, tanpa bunga-bunga. Cara ini ternyata cocok untuk pendengar era sekarang. Lirik lugas, kata mereka, lebih mudah diterima dan terhubung.
Itu dialami antara lain oleh Loka (19), penggemar band .feast. Saat hadir dalam sesi dengar album baru .feast, Membangun & Menghancurkan, di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, Kamis (22/8/2024), emosinya bergejolak. Ia menahan sesak dan berupaya agar air matanya tak tumpah lagi. ”Udah ya. Beneran enggak kuat buat (lanjutkan) ceritanya. Lagu ’Nina’ ini membekas banget,” ungkap Loka.
Loka yang merupakan kurir salah satu jasa logistik ini merasa terhubung dengan lagu ”Nina” karena ia merasa lagi itu liriknya sesuai dengan kondisinya saat ini. Pertahanannya runtuh saat lirik lagu itu sampai bagian ini: ”segala hal ku upayakan untuk melindungi/tunggu aku kembali lagi esok pagi/selalu janjiku pada dirimu/Air mata Loka mengembang/....”
Ketika lagu itu diperdengarkan, teman Loka yang duduk disampingnya menepuk-nepuk punggungnya untuk menenangkan. Namun, air matanya telanjur mengambang di pelupuk mata.
Lagu ”Nina” merupakan karya Adnan Satyanugraha (gitaris .feast) yang dipersembahkan untuk putri kecilnya. Isinya tentang cinta ayah kepada anaknya. Lirik lagu ini ternyata mengingatkan Loka pada adiknya yang masih kecil, yang sering dia tinggal kerja. Sejak ayahnya pergi meninggalkan keluarga, Loka menjadi ”pengganti” ayahnya.
Keempat personel .feast, yaitu Baskara Putra (vokal), Adnan Satyanugraha (gitar), Dicky Renanda (gitar), dan Fadli Fikriawan (bas), tersenyum saat melihat dampak dari lagu tersebut. Lagu yang mereka ciptakan murni dari pengalaman dan perasaan yang hadir dalam diri. Lagu ”Nina” sendiri merupakan karya Adnan yang dipersembahkan untuk putri kecilnya. Lirik berima yang dituangkannya diakui terinspirasi dari musik rap yang kerap didengarkannya.
”Pasti senang bisa ada pengaruh baik untuk pendengarnya. Bahkan jadi ada perluasan makna juga. Tadi, jadi buat kakak ke adiknya. Di DM juga banyak yang jadi cerita-cerita gitu. Walau ada juga yang bilang relate sama pengalamannya LDR. Kenapa jadi LDR? Tapi ya saat karya dirilis kan interpretasinya memang sesuai dengan persepsi pendengar,” ujar Fikriawan.
Mungkin ini yang disebut para ahli komunikasi dengan proses pemaknaan (meaning). Lirik yang dibuat oleh musisi bisa dimaknai ulang oleh pendengarnya secara subyektif.
Baskara menceritakan, proses penulisan lagu itu mengalir saja alias tidak terlalu banyak tendensianya. Pemilihan kata tidak neko-neko. ”Ada kata yang kalau gue nyanyiin kok rasanya enggak enak. Misalnya, kata ganti orang,” ujarnya.
Adnan menambahkan, bahkan untuk panjang kalimat atau kata itu bisa tetiba diubah. Biasanya karena saat coba dipadukan dengan aransemen musik dan dijajal dinyanyikan terasa kurang sesuai. Meski isi dari lagunya tak berubah. ”Bisa dicari padanan katanya itu,” ungkap Adnan.
Baca juga: Nadin Amizah, Cerita soal Kebahagiaan Setelah Masa yang Kelam
Penyanyi Nadin Amizah juga rupanya merasakan hal serupa. Pemilihan kata yang dilakukannya juga kerap disesuaikan dengan rasa saat menyanyikan. ”Ada kata-kata yang di mulut itu buat dinyanyiin kok jadi enggak enak gitu. Biasanya aku tulis ulang lagi tuh. Lebih ke enggak pas aja. Kalau puitis sih, enggak ya. Banyak musisi senior yang lebih puitis,” ungkap Nadin sembari tertawa ringan.
Justru baginya, lirik yang lugas dan mengalir lebih berterima dengan pendengar. Ia sebagai penulis lagu juga merasa nyaman karena lagu-lagunya biasanya memang merupakan pengalaman pribadinya yang tanpa disadarinya terhubung dengan pengalaman banyak orang.
Lagu-lagu dalam tiga albumnya pun membuktikan itu. Album Selamat Ulang Tahun berkisah tentang masa kecil dan luka batinnya sebagai anak broken home. ”Mungkin karena demografi pendengarku ternyata banyak dari keluarga yang tidak utuh. Lagu di album ini jadi semacam perantara hal apa yang mereka pengin ucapkan tapi enggak bisa kalau dari apa yang sering aku terima,” tuturnya.
Dua albumnya lain adalah album mini Kalah Bertaruh bercerita tentang hubungan dengan kekasihnya. Album barunya, Untuk Dunia, Cinta, dan Kotornya, berisi tentang penerimaan diri.
Meski ia tak menampik, kutipan-kutipan yang muncul di internet, Pinterest, atau dari buku puisi yang digemarinya, seperti Joko Pinurbo dan Haidar Bagir, turut membantu kekayaan kosakata dalam membuat lirik. ”Tapi tetap cari yang lugas aja sih karena lebih mudah disampaikan,” ungkap Nadin.
Penyanyi Bernadya juga lebih sreg dengan lirik yang lugas, mengalir, dan terhubung dengan dirinya. Karena itu, ketika menulis lirik, ia mesti dalam kondisi tenang. Jika emosinya berkecamuk, ia mesti menenangkan diri sejenak dan menerjemahkan emosinya. Barulah ia memahami dirinya dan menuangkan itu ke lirik lagu.
Ia mengakui, musisi di generasinya lebih bebas menulis lirik lagu. Bahasa yang digunakan pun bahasa percakapan sehari-hari. Isu yang diangkat dalam lagu pun bukan isu besar atau bukan klimaks dari sebuah momen, melainkan momen-momen kecil menuju momen klimaks.
”Bahasa yang digunakan menurutku bukan bahasa pujangga, bukan bahasa yang puitis. Orang sekarang lebih suka sesuatu yang pas didengarkan langsung ngerti,” ujar Bernadya usai konferensi pers konser Juni Day X.
Baca juga: Musik Penyambung Lidah Kaum Resah
Ia bahkan menggunakan ”makian” untuk menggambarkan situasi berat yang tetap harus dijalani, yakni di lagu ”Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan”. Salah satu liriknya berkisah, ”Sudah gila meski tak separah itu/masih bangun dan t’rima kenyataan/....”
Lirik dan judul lagu ini rupanya beresonansi dengan banyak orang. Tak hanya viral di media sosial, lagu ini juga didengarkan banyak orang. Platform streaming musik Spotify mencatat lagu ”Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan” telah dikonsumsi 100 juta pendengar.
Bukan target
Selain .feast, Nadin Amizah, dan Bernadya, ada sejumlah musisi yang lirik-lirik lagunya menjelma viral. Sebut saja, Sal Priadi dengan dua lagu dari album barunya yang bergantian wara-wiri di media sosial. Berawal dari ”Dari Planet Lain” hingga ”Gala Bunga Matahari”. Bahkan sampai muncul curhat ”Sal” seperti yang sebelumnya ramai curhat ke Taylor Swift dengan pembuka ”Mbak Taylor”.
Keriuhan viral di jagat media ini jelas menggerek popularitas. Namun, berkarya, termasuk menulis lagu ini, bagi Sal, adalah sebuah proses kontemplasi dan healing bagi dirinya. ”Karena pada proses itulah menyelam lebih dalam, sunyi senyap yang jarang dikunjungi dalam kehidupan yang bising,” ujarnya.
Viral jelas bukan targetnya. Layaknya Nadin, Bernadya, dan .feast yang juga tak mengincar viral, proses penulisan lirik lagu ini semacam momen bercerita tanpa punya ekspektasi apa pun. Seperti ”Dari Planet Lain”, diakuinya, terjadi secara spontan karena sering melihat orang-orang yang punya pasangan unik cara mengekspresikan cintanya. Orang yang unik ini seperti alien karena berperilaku di luar kebiasaan banyak orang. ”Alien itu dari planet lain kan? Sekitar 45 menit, sekali duduk jadi liriknya,” jelas Sal.
Berbeda dengan ”Gala Bunga Matahari” yang butuh waktu 1,5 tahun mengendapkannya. ”Inspirasinya memang dari kitab suci menggambarkan tentang surga. Namun, intinya it’s about moving on dan kerinduan terhadap orang yang sudah berpulang,” ungkapnya.
Baca juga: Sal Priadi Kebetulan Berbuah Baik
Maliq & D’Essentials juga mereguk viral lewat lagu ”Aduh” yang bagian refrain-nya akrab di telinga masyarakat. ”Surga itu kamu/duniawi juga kamu/ sumpah mati, yang kumau/cuma sama kamu/....” ”Aduh” cepat naik daun setelah disematkan sebagai musik latar video dengan berbagai mood dan cerita, mulai dari video tentang pasangan, pemandangan, hingga makanan.
Hal yang sama terulang kembali di lagu ”Kita Bikin Romantis” yang video klipnya rilis pada April 2024. Lagu ini juga viral di media sosial. Publik memotong bagian hook lagu yang catchy untuk disematkan di video tentang hubungan romantis hingga tentang kelucuan hewan peliharaan.
Viralnya dua lagu ini membuat Maliq & D’Essentials seakan punya momentum baru untuk melompat lebih jauh di usianya yang ke-22 tahun. Audiens mereka meluas, bahkan mencapai kelompok ibu-ibu yang mengenal mereka dengan sebutan ”mas romantis”.
Drumer Maliq & D’Essentials, Widi Puradiredja, mengatakan, Kamis (22/8/2024) malam, mereka manggung di acara ulang tahun ibu-ibu di bilangan Senayan, Jakarta. Tentu saja, ”Aduh” dan ”Kita Bikin Romantis” ada dalam daftar lagu yang akan dinyanyikan. Ini juga sesuai dengan permintaan sang ibu. ”Waktu awal-awal viral, pas manggung, sering banget ibu-ibu tuh biasa aja sebelum lagu ’Kita Bikin Romantis’ dan ’Aduh’. Pas lagu ’Kita Bikin Romantis’’ sret! (mereka mengeluarkan ponsel pintar), terus (bikin) konten. Begitu kelar lagunya, bubar. Bu! Belum kelar ini (manggungnya)!” kata Widi sambil tertawa.
Namun, kesuksesan dua lagu ini ternyata membuat Widi pernah ”dicolek” warganet galak yang tidak suka lagu ”Aduh” dan ”Kita Bikin Romantis”. Alasannya, lirik lagunya tidak puitis, tidak seperti Maliq & D’Essentials biasanya. Beberapa orang bilang liriknya cringe alias bikin meringis.
Hal itu wajar saja bagi pendengar Maliq & D’Essentials di era 2010-an. Mereka terbiasa dengan Maliq & D’Essentials yang romantis dan puitis. Kala itu, band yang digawangi enam orang ini melukiskan ”surga” dengan berbagai kiasan, seperti ”Nirwana” dan ”Setapak Sriwedari”. Lirik lagu surga itu kamu jadi terasa supergamblang.
Baca juga: Maliq & D'Essentials dan Pop Hari Ini
Widi mengatakan, mereka tidak berpikir macam-macam saat membuat lagu ”Aduh” dan ”Kita Bikin Romantis”. Lagu ini ditulis dengan proses yang spontan, organik, dan tanpa pretensi. Acuan band ini saat menulis lirik hanya tidak boleh menyinggung pihak lain. Angga Puradiredja, vokalis Maliq & D’Essentials, yang pertama kali merapal kalimat surga itu kamu yang lantas jadi lirik lagu ”Aduh” yang tercipta hanya dalam satu jam.
”Kami enggak terlalu peduli bahwa lirik itu cheesy atau gamblang atau biasa saja. Yang penting perasaannya nyampe. Lu enggak perlu banyak bumbu,” ujar Widi.
Di sisi lain, lagu ”Aduh” dan ”Kita Bikin Romantis” menyuburkan lagi nama Maliq & D’Essentials di kalangan pendengar muda. Agar tetap relevan dengan hidup, band ini berprinsip bahwa mereka tidak boleh tua. Jiwa mereka harus tetap muda.
Caranya ialah dengan berada pusaran tren dan menjalani sendiri tren itu, baik tren gaya berpakaian, tren pemasaran lagu, maupun tren rekayasa suara (sound engineering). ”Prinsip Maliq, enggak pernah ikutin tren, tetapi lu harus trendi,” ujarnya.
Penanda zaman
CEO Juni Records Adryanto Pratono berpendapat, lirik lagu adalah penanda setiap zaman. Masuk ke era 2000-an, lirik dengan banyak metafora mulai ditinggalkan, jika tidak ”didaur ulang”. Penggunaan bahasa yang gamblang di masa kini dianggapnya sebagai penanda era baru, yakni era peralihan generasi milenial ke generasi Z.
”Menurut saya, era setelah pandemi ke sini memang liriknya total berubah. Secara tata bahasa, generasi Z lebih lugas. Ada frase yang biasa enggak kita pakai (di lagu), misalnya makian. Makian enggak harus ’kencang’, seperti ’sialnya’,” katanya lagi.
Ia menambahkan, kebebasan musisi untuk menulis lirik lagu yang luwes dan lugas umumnya terjadi di musisi yang berkarya secara independen. Ini karena mereka punya kebebasan lebih dibandingkan musisi di bawah label besar. Namun, semakin banyaknya lirik lagu yang lugas dan luwes tak dimungkiri bakal jadi haluan baru bagi label untuk membebaskan musisinya menulis lirik serupa.