”Body Mapping” Seni Difabel
Metode ”body mapping” memantik ide karya seni rupa secara inklusif dan berkolaborasi bagi penyandang disabilitas.
Sebuah metode inklusi dan kolaborasi dengan penyandang disabilitas melalui aktivitas seni rupa dikenalkan. Metode itu dinamai body mapping. Semuanya dimulai dari percakapan untuk memantik ide ekspresi yang kemudian diwujudkan bersama menjadi karya seni rupa.
Ada pertanyaan yang dilontarkan seorang fasilitator kepada penyandang disabilitas netra. Pertanyaan itu, siapakah sosok yang paling berperan dan mendukung semua keinginan dan aktivitasnya selama ini?
Jawaban yang diberikan, ibu. Kemudian berlanjut dengan perbincangan tentang apa saja yang ingin diberikan kepada ibu. Penyandang disabilitas netra itu ingin memberikan bunga kepada ibunya. Dan, inilah yang kemudian diekspresikan bersama.
Fasilitator itu menggambar sosok pemuda penyandang disabilitas netra tersebut di atas kertas berukuran A3. Setelah gambar itu selesai, ia memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk memilih tiga jenis bunga, yakni melati, kamboja, dan kenanga.
Baca juga: Keterhubungan Modernitas dan Tradisi
Dipilihlah kamboja. Bunga kamboja diarahkan untuk diletakkan di atas kertas bergambar sosok pemuda itu. Bunga ditaruh di bagian gambar tangan kanan.
Adegan berikutnya, penyandang disabilitas netra diminta meletakkan sehelai daun. Ia memilih daun dan diletakkan di atas dada gambar itu. Jadilah, karya seni rupa dengan metode body mapping berupa gambar seorang pemuda yang membawa kembang di tangannya. Bunga itu ingin dipersembahkan kepada ibunya yang selama ini dengan penuh kasih sayang membesarkan dan mengasuhnya.
Ada lagi. Dua orang dengan difabel rungu berkolaborasi menciptakan karya seni rupa. Seorang fasilitator memantik ide melalui perbincangan tentang apa yang diharapkan mereka selama ini.
Ternyata keduanya menggambarkan suasana di sebuah rumah di atas kertas gambar berukuran A3 pula. Di situ digambar tiga orang yang sedang asyik bercengkerama. Kemudian di dinding rumah terpajang beberapa lukisan.
Mereka menggambarkan suasana pameran lukisan di dalam rumah. Mereka membayangkan orang-orang seisi rumah dan tetangga di sekitarnya menikmati lukisan-lukisan. Di situ terlihat betapa kuat kerinduan seorang pencipta karya seni untuk diapresiasi sesama di sekitarnya. Akan tetapi, pada kenyataannya banyak hal telah membatasi rasa keinginan seperti itu.
Metode body mapping diadopsi JDA dari sebuah metode riset untuk melihat sisi trauma atau harapan yang dimiliki seorang penyandang disabilitas.
Karya seni para penyandang disabilitas acapkali dikesampingkan keluarga sendiri dan orang-orang terdekat di sekitarnya. Padahal, dari situlah semuanya bermula. Apresiasi dan dukungan keluarga menjadi titik awal kiprah para penyandang disabilitas dalam berkarya.
Aneka warna
Dari metode body mapping itu masih ada delapan karya lagi. Semuanya berjumlah 10 karya dan ditampilkan di dalam pameran bersama bertajuk ”Warna-warna Volume II: Purparagam Seni Disabilitas” di Galeri Dialogue, Kemang, Jakarta. Pameran ini berlangsung 14 Agustus hingga 13 Oktober 2024.
Pameran ini melibatkan sekitar 30 penampil. Sesuai dengan tema ”Pusparagam Seni Disabilitas”, karya-karya yang ditampilkan di pameran ini memang benar-benar menunjukkan pusparagam atau aneka warnanya.
Karya seni dengan metode body mapping ditampilkan komunitas Jogja Disability Arts (JDA) di bawah asuhan Nano Warsono, seorang akademisi seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
”Metode body mapping diadopsi JDA dari sebuah metode riset untuk melihat sisi trauma atau harapan yang dimiliki seorang penyandang disabilitas,” ujar Nano dalam perbincangan dengan Kompas, Jumat (16/8/2024), di Jakarta.
Dengan metode body mapping ini pula pada 7 sampai 17 September 2024 nanti kami akan mempresentasikannya di Dadafest, Liverpool, Inggris.
Metode itu diadopsi dari riset Triarani Utami dalam beberapa tahun belakangan ini. JDA mengembangkan metode ini dengan melibatkan tujuh seniman difabel, yaitu Edi Priyanto, I Made Jery Juliawan, Salsatul Hidayah, Sukri Budi Dharma, Winda Karunadhita, Wiji Astuti, dan Zakka Nurul Giffani Hadi. Mereka membentuk proyek yang dinamai Prism dan berhasil memperoleh dana hibah Connection Through Culture (CTC) dari British Council untuk kolaborasi artistik dan pertukaran budaya.
”Dengan metode body mapping ini pula pada 7 sampai 17 September 2024 nanti kami akan mempresentasikannya di Dadafest, Liverpool, Inggris,” kata Nano.
Metode body mapping bertumpu pada kekuatan dialog, kemudian terjadilah karya bersama atau kolaborasi. Ini memungkinkan terjadinya inklusi di antara sesama penyandang disabilitas ataupun pembauran bersama sesama lainnya.
Baca juga: Menggugat Generasi Gemoy
Di dalam pameran ”Warna-warna” ini, inklusi dan kolaborasi juga bisa dilihat dari peserta penyandang cerebral palsy Faisal Rusdy bersama seniman RE Hartanto di bawah program Open Arms, Selasar Sunaryo, Bandung. Faisal memiliki hambatan motorik tangan sehingga ia melukis dengan mulut atau kakinya. Faisal piawai dalam melukis bercorak realis.
Dalam kolaborasi bersama Hartanto, mereka menampilkan dua lukisan realis dengan figur Faisal sedang duduk di atas kursi roda. Satu karya dilukis dengan baju keseharian apa adanya, sedangkan satunya lagi dilukis dengan kostum serta bertopeng tokoh Joker dalam seri film Batman.
Lukisan Faisal mengenakan kaus berwarna biru diberi judul Potret Aal (2024), dengan cat akriliks di atas kanvas berukuran 100 sentimeter (cm) x 100 cm. Dicantumkan lukisan ini sebagai karya kolaborasi Faisal dan Hartanto dengan dibantu F Henirman, Nisa Restu, Justine Tabah, Ada Khansa, dan Febrianty. Begitu pula, sama untuk lukisan berikutnya yang diberi judul Potret Aal Sebagai Joker.
Direktur Program Open Arms Agung Hujatnikajennong mengisahkan, proses inklusi di antara Faisal dan Hartanto ini berlangsung cukup menarik. Faisal melukis di studio Hartanto. Hartanto sebagai salah satu pelukis mapan di Bandung pun memfasilitasi akses bagi Faisal.
Ia mengubah akses masuk studionya menjadi jalur ramah bagi pengguna kursi roda seperti Faisal. Tidak berhenti di situ. Faisal dengan keterbatasan motorik membuatnya melukis dengan badan menelungkup. Hartanto merancang palet khusus untuk mencampur warna yang bisa diletakkan di dagu sehingga Faisal dapat menggunakannya sambil duduk di kursi roda.
”Kita berharap ke depan inklusi bersama penyandang disabilitas bisa dijalani bersama seniman-seniman profesional lain,” kata Agung.
Diskriminasi
Ekspresi pengalaman dari dalam diri sendiri menjadi sebagian besar tema lukisan peserta pameran ini. Akan tetapi, ada juga karya-karya yang dipamerkan mengambil tema isu sosial, seperti diskriminasi terhadap perempuan difabel.
”Saya meriset diskriminasi terhadap perempuan difabel ternyata lebih berlapis-lapis ketimbang pada laki-laki penyandang difabel,” ujar Budi Sukri Dharma, atau yang akrab disapa Butong.
Butong menampilkan karya seni patung yang diberi judul No Choicd, Figth. Ia menggunakan media resin untuk membentuk patung figur perempuan berukuran 50 cm x 20 cm x 25 cm. Di tangan patung perempuan itu terdapat rantai yang terputus. Butong ingin melukiskan perjuangan seorang perempuan difabel memutus rantai belenggu kehidupannya.
”Saya mengambil contoh diskriminasi perempuan difabel yang berlapis-lapis, mungkin terjadi sejak berada di antara teman pergaulan sebaya secara inklusif. Mereka sering menolak keikutsertaan perempuan difabel dalam pergaulan, bisa karena dianggap tidak asyik, atau hal yang lainnya,” kata Butong.
Saya akan berusaha supaya pameran ’Warna-warna’ berikutnya tidak berselang enam tahun, tetapi lebih cepat lagi.
Melalui judul patung No Choice, Fight (Tidak Ada pilihan, Lawan), Butong ingin menyerukan, ketika dihadapkan persoalan diskriminasi seperti itu, tidak ada pilihan lain selain melawan. Melawan dengan cara yang elegan, dengan menampilkan kualitas diri dan potensi, di antaranya melalui penciptaan karya seni.
Karya-karya lain di dalam pameran Pusparagam Seni Disabilitas ini mendapat apresiasi publik. Ini sebagai pameran ”Warna-warna” yang kedua, setelah diinisiasi penyanyi Andien Aisyah pada pameran 2018, enam tahun lalu.
”Saya akan berusaha supaya pameran ”Warna-warna” berikutnya tidak berselang enam tahun, tetapi lebih cepat lagi,” ujar Andien, ditemani penyanyi Yuni Shara di saat pembukaan Pusparagam Seni Disabilitas, 14 Agustus 2024.
Pameran Warna-warna menunjukkan, ketika fasilitas dan kesempatan itu datang dan diberikan kepada penyandang disabilitas, maka prestasi mereka akan bermunculan. Akan tetapi, semua itu masih bersifat sporadis oleh sekelompok masyarakat, belum terlihat program yang lebih besar seperti dari pemerintah.