Menggugat dengan Kuburan Massal
Patung karya Dolorosa Sinaga dan Budi Santoso menggugah kesadaran adanya pelanggaran hak asasi manusia.
Ada kuburan massal di depan Galeri Nasional Indonesia. Tentu itu hanyalah patung; patung yang berbentuk buku tebal dan besar. Di bagian atasnya menyembul bentuk balok persegi panjang seperti batu nisan. Di atas balok itu tubuh seorang perempuan tertelungkup. Di bawahnya ada peti terisi tubuh-tubuh mati.
Patung itu karya Dolorosa Sinaga (72) yang diberi judul ”Monumen Pembantaian Massal Indonesia 1965-1966”. Ukurannya cukup besar. Panjangnya 351 sentimeter (cm). Lebarnya 276 cm. Tingginya 147 cm. Tahun pembuatan patung itu 2024 dengan media fiberglass.
Di dekatnya disertakan kutipan dari Dolorosa sebagai berikut, ”Monumen Genosida 65. Kasus pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia dan simpatisannya tahun 1965-1966 sampai hari ini belum mampu diselesaikan negara. Buku ini adalah monumen bagi mereka yang dibungkam tanpa peradilan dan disiksa dengan kejam… Dan, seterusnya.”
Lewat karya seni patung itu, Dolorosa menggugat negara. Masih di dalam kutipan itu, ia menyebutkan negara agar menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dibungkam selama 59 tahun sampai sekarang. Kini, satu per satu para penyintas tragedi 1965-1966 itu meninggal dan membawa harapan ke kuburnya masing-masing. Bagi yang masih hidup, kondisinya begitu renta.
”Dengan patung ini, saya ingin menyadarkan publik akan adanya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang tidak pernah diselesaikan negara. Saya menyertakan patung seorang perempuan untuk menyatakan dengan kesadaran seperti itu kita akan ada harapan kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Tubuh perempuan adalah kehidupan,” ujar Dolorosa dalam perbincangan dengan Kompas, di Jakarta, Rabu (24/7/2024).
Di pelataran Galeri Nasional Indonesia (GNI), patung Monumen Pembantaian Massal Indonesia 1965-1966 bersanding dengan dua patung karya Dolorosa lainnya yang juga berukuran besar. Kedua patung itu diberi judul ”Monumen Penghilangan Paksa di Indonesia” (2024) dan ”Monumen Tragedi Semanggi 1998” (2024).
Baca juga: Melawan Perundungan dengan Karya
Berikutnya, masih ada dua patung luar ruang yang ditempatkan di amfiteater GNI karya Budi Santoso, murid Dolorosa. Dua patung karya Budi meliputi ”Dialog dengan Tuhan” (2024) dan ”Historical Moment” (2024).
Patung-patung luar ruang itu ditampilkan di antara 53 karya patung lainnya ke dalam pameran yang bertajuk ”Patung dan Aktivisme: Dolorosa Sinaga dan Budi Santoso”. Pameran ini diselenggarakan di Gedung A GNI, 19 Juli-19 Agustus 2024.
Keluarga
Budi Santoso (44) merupakan seniman muda asal Cilacap, Jawa Tengah, yang menggeluti seni patung dan kini menetap di Yogyakarta. Budi menuntaskan studi di Jurusan Seni Patung Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (1999-2007).
”Karya-karya patung saya mengangkat isu keluarga dan lingkungan. Isu-isu itu tidak jauh pula dengan isu perempuan karena saya memang terpengaruh dengan seni patung Dolorosa,” ujar Budi.
Budi menceritakan, selama studi di ISI Yogyakarta, ia bergabung dengan komunitas seni Taring Padi. Tahun 2000, ia mengikuti kegiatan komunitas ini di Jakarta dan mulai dikenalkan dengan Dolorosa.
Sejak itulah Budi sering mondar-mandir antara Yogyakarta dan Jakarta. Di Jakarta, ia mengunjungi studio Somalaing milik Dolorosa serta menimba dan mengasah kemampuan seni patungnya dari Dolorosa.
Perjalanan Budi seperti itulah yang kemudian mengantar terjadinya pameran ini. Dolorosa dan Budi menjalani interaksi bersama selama 24 tahun dan berbuah karya seperti yang dipamerkan sekarang.
Jika karya-karya patung Dolorosa begitu lantang menyuarakan pemenuhan hak asasi manusia di negeri ini, karya-karya Budi seperti melembutkannya dengan tema yang lebih universal tentang perempuan, keluarga, dan lingkungan. Namun, kadang kala sulit pula untuk membedakan karya Dolorosa dan Budi. Terutama beberapa patung perempuan karya Budi memiliki bentuk kemiripan dengan karya Dolorosa.
Alexander Supartono sebagai kurator pameran ini menyebut kerja di antara Dolorosa dan Budi adalah kerja bersama. Ada adopsi dan adaptasi.
”Perbandingan itu akan hadir tidak hanya sebagai dialog, tetapi juga sebagai sebuah aliansi perjuangan nilai-nilai kemanusiaan, keberadaban, dan keadaban serta keyakinan akan peran seni dan pekerja seni dalam perubahan sosial,” kata Supartono.
Pameran karya Dolorosa dan Budi adalah perbincangan untuk mengalami patung sekaligus perbincangan untuk mengajak kita semua berjuang serta meyakini nilai-nilai progresif dan demokratis.
Ambang batas
Karya lama Dolorosa di dalam pameran ini juga turut disertakan, di antaranya karya patung yang berjudul ”Di Ambang Batas” yang dibuat tahun 1994 dengan media fiberglass berukuran 73 cm x 25 cm x 65 cm.
Dolorosa mewujudkan patung tubuh seorang perempuan yang berada di tengah garis pintu. Tubuh itu seperti di ambang batas antara ruang dalam dan ruang luar. Namun, ada makna simbolis yang diwujudkan Dolorosa. Kedua kaki perempuan itu salah satu sudah melangkah melewati batas garis pintu, sedangkan satu kaki lainnya masih berada di belakang garis pintu.
Salah satu tangan juga memegang kusen pintu. Dolorosa ingin menyampaikan ada perubahan bagi perempuan yang menempuh modernitas. Namun, ketika menempuh modernitas itu tidak diikuti perubahan-perubahan nilai. Perempuan masih berpegangan dengan nilai tradisional.
Patung lama berikutnya diberi judul ”Berdiri Tanpa Kepala” yang dibuat pada 1992. Patung ini menggambarkan lima tubuh manusia yang berdiri tegak, tetapi tidak memiliki kepala. Dolorosa mengajak penikmatnya untuk merefleksikan kebebasan pikiran dan sikap yang terpangkas.
Jejak karya lama patung Dolorosa terasa pula pada sebagian patung karya Budi, misalnya dalam penggunaan bentuk seperti kusen pintu atau jendela dan gestur tubuh perempuannya. Karya Budi yang diberi judul ”Historical Moment” (2024) menunjukkan seorang perempuan yang duduk di kusen jendela sedang membaca buku. ”Patung ini terinspirasi dari pengalaman istri yang setiap malam membacakan buku untuk anak kami yang berusia enam tahun,” ujar Budi.
Ada beberapa karya Budi yang sangat berbeda dengan karya Dolorosa. Ini dipengaruhi perbedaan pilihan material. Seperti karya Budi yang diberi judul ”Ibu dan Anak” (2006), yang dikoleksi oleh Dolorosa, memiliki bentuk patung perempuan yang gemuk sedang memeluk anaknya yang terlihat tidak kurus pula. Dolorosa termasuk jarang membuat patung perempuan yang terlihat gemuk.
Ada lagi patung Budi yang terbuat dari batu marmer diberi judul ”Muka Lapar” (2022). Budi menceritakan tentang proses membuat patung marmer itu dengan sesedikit mungkin mengurangi pahatan pada batunya.
Mungkin juga perbedaan karya akan ditemukan pada patung-patung seri burung karya Budi. Budi membuatnya dengan material logam. Kepala burung dibentuk dari gunting-gunting.
Baca juga: Tetesan Air di Buku Biografi Soeharto
Di antara karya patung Dolorosa yang baru terasa begitu kuat emosinya dan menggetarkan, misalnya, karya patung tubuh perempuan yang diberi judul ”Mengapa Kau Culik Anak Kami?”. Dolorosa membuat patung tubuh perempuan yang bolong-bolong atau berongga. Ini melukiskan betapa berat bagi seorang ibu yang harus menanggung anak yang hilang karena diculik di saat tragedi 1998.
Ada lagi karya yang diberi judul ”I, The Witness”. Ini sebuah patung perempuan dengan tubuh yang meninggi dan kurus memakai kebaya encim keemasan. Dolorosa ingin mengisahkan sosok Ita Martadinata (1980-1998), salah satu korban pemerkosaan massal saat kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Kemudian pada 8 Oktober 1998, Ita dibunuh dengan brutal di kamar tidurnya. Pembunuhan itu terjadi seminggu sebelum Ita diminta bersaksi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, tentang kerusuhan massal 1998 di Jakarta. Pembunuhan Ita tidak pernah terpecahkan sampai sekarang.