Kebaya, Seragam dalam Keberagaman
Kebaya melalui berbagai proses adaptasi hingga mencapai bentuknya yang sekarang.
Dari waktu ke waktu, kebaya membawa makna berbeda-beda. Dengan ditetapkannya 24 Juli sebagai Hari Kebaya Nasional, negara seolah meresmikan kebaya sebagai busana nasional.
Peringatan pertama Hari Kebaya Nasional berlangsung pada Rabu (24/7/2024) di Istana Olahraga Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Kowani menjadi koordinator acara yang dihadiri Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana. Laman Sekretariat Negara menyebutkan, acara dihadiri sekitar 7.000 orang dari berbagai organisasi, termasuk organisasi istri di bawah TNI.
Seluruh kursi tribune dan tambahan di bagian tengah Istora terisi penuh. Di luar Istora masih ada perempuan berkebaya, berkain panjang, lengkap dengan sanggul.
Simak juga: Puncak Peringatan Hari Kebaya Nasional 2024
Para perempuan dari yang berusia 20-an tahun hingga di atas 70 tahun, yang berkerudung dan berkonde berbaur membentuk kolase aneka corak dan warna kebaya.
Riasan para perempuan berkebaya hari itu tidak kalah menyala. Rambut disasak dan disanggul lalu disemprot hairspray hingga kaku supaya tidak berubah sepanjang hari. Aneka tusuk konde, bunga asli, atau buatan menghias rambut.
Riasan wajah juga istimewa. Itu masih ditambah dengan selop dan tas kecil meski juga ada yang memakai sepatu sport mengingat peserta harus berjalan cukup jauh dari tempat turun kendaraan menuju Istora. Di kursi VIP, para ajudan duduk manis menjaga jangan sampai kursi diisi orang lain selain bos.
Jika diperiksa lebih teliti, ada bermacam variasi kebaya. Selain pilihan jenis kain untuk kebaya (polos, renda, bercorak), juga ada bermacam kutubaru, yaitu potongan kain yang menyatukan belahan depan kanan dan kiri kebaya. Beragam variasi tersebut tetap menghadirkan satu ciri khas kebaya Indonesia: pas di badan dan memakai bukaan depan.
Terus bergerak
Kebaya melalui berbagai proses adaptasi hingga mencapai bentuknya yang sekarang. Beberapa sejarawan dan sejumlah laporan mengenai wilayah Asia Tenggara sepakat bahwa agama memberi pengaruh pada busana masyarakat Asia Tenggara.
Relief di berbagai candi, terutama Candi Borobudur, menggambarkan busana orang Jawa pada abad ke-8 adalah kain yang dililitkan ke tubuh bagian bawah.
Pendatang dari barat Samudra Hindia memberi pengaruh besar pada busana masyarakat Asia Tenggara. Ahli sejarah Asia Tenggara, Anthony Reid, menulis dalam buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (Jilid 1, terjemahan), busana masyarakat Asia Tenggara, termasuk Nusantara, pada abad ke-17 mendapat pengaruh kuat dari agama Islam dan Kristen.
”Masuk Islam atau Kristen hampir selalu ditandai dengan perubahan gaya berpakaian,” tulis Reid (hal 101).
Baca juga: Film ”Kebaya Kala Kini” untuk Hari Kebaya Nasional 2024
Reid menulis, ”Bagi banyak bangsa di Asia Tenggara (kecuali orang Jawa), kompromi budaya Melayu diterima menjadi pakaian Islam. Baju atau kebaya melengkapkan sarung dasar kaum wanita.”
Jika pada 1607 budak perempuan masih membiarkan dadanya terbuka, 40 tahun kemudian catatan Alexander de Rhodes dari tahun 1653 menyebut, di kota kosmopolitan Makassar, ”kaum perempuan sepenuhnya dililit pakaian dari kepala hingga kaki sedemikian rupa sehingga wajahnya sekalipun tak tampak”. Pengaruh agama dan kebudayaan Barat terhadap cara berpakaian perempuan dengan menutup tubuh juga terjadi di Filipina.
Dalam waktu ratusan tahun kemudian, kebaya tetap menjaga bentuk dasarnya sebagai baju atas dengan bukaan depan. Variasi terjadi pada panjang baju, bentuk lengan, kerah, dan hiasan kebaya.
Muncul jenis kebaya Kartini, mengacu pada model kebaya bukaan depan dengan lipatan ke arah luar di bagian kiri dan kanannya serta tertutup tinggi di dekat pangkal leher. Lahir juga kebaya bordir terawang yang banyak dikenakan perempuan peranakan Tionghoa sehingga mendapat sebutan kebaya encim atau kebaya peranakan.
Kaum perempuan sepenuhnya dililit pakaian dari kepala hingga kaki sedemikian rupa sehingga wajahnya sekalipun tak tampak.
Kebaya, seperti juga pakaian secara umum, menandakan status sosial. Pada masa penjajahan Belanda, perempuan berdarah Barat (Belanda) mengenakan kebaya dan kain sarung batik untuk di rumah. Iklim tropis membuat kebaya dan sarung katun lebih cocok daripada pakaian bergaya Barat yang panjang dan bertumpuk. Ada periode kebaya dan sarung boleh dikenakan oleh perempuan keturunan Barat untuk acara resmi.
Kebaya dan kain batik yang umum dikenakan perempuan elite Jawa pada masa Orde Baru dianggap sebagai bentuk pengekangan pada perempuan. Meskipun kenyataannya perempuan yang ikut mengibarkan bendera Merah-Putih saat Proklamasi, SK Trimurti, memakai kebaya dan kain batik. Begitu juga Ibu Fatmawati yang menjahit bendera Merah-Putih itu.
Sejumlah feminis mengkritik penggunaan kain dengan wiru yang membungkus erat tubuh bagian bawah membuat perempuan sulit bergerak lincah. Begitu pun pemakaian korset untuk menjaga agar kain panjang tetap pada posisinya dipandang sebagai simbol pengekangan perempuan. Beruntung berkat teknik jahit-menjahit, kaki dapat melangkah bebas dengan penambahan karet pada kain berwiru.
Pada periode Orde Baru, kebaya dan kain panjang menjadi pakaian nasional meskipun tidak dinyatakan resmi. Tien Soeharto sebagai istri Presiden Soeharto yang selalu memakai kebaya dan kain dengan sanggul Jawa menjadi model ideal perempuan Indonesia berbusana.
Kebaya dan kain dipakai dalam berbagai acara resmi kenegaraan. Upaya memunculkan pakaian dari daerah lain belum berhasil hingga kini. Pakaian selain kebaya umumnya hanya muncul sebagai kostum pada hari-hari peringatan kemerdekaan dan sebagai upaya menunjukkan kekayaan budaya Indonesia.
Seragam tetapi berbeda
Setelah 26 tahun pemerintahan Orde Baru berganti, kebaya dikukuhkan sebagai busana pemersatu Indonesia. Tanggal 24 Juli pun ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2023 sebagai Hari Kebaya Nasional.
Namun, kebaya juga diklaim sebagai busana khas perempuan di Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Bersama Indonesia, keempat negara itu mengajukan kebaya sebagai warisan budaya dunia ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Rupanya mengajukan bersama-sama lebih mudah daripada setiap negara mengklaim sebagai pemilik asli kebaya. Kesamaan pengalaman sejarah menjadi pemersatu alasan praktis, salah satunya manfaat ekonomi pengakuan itu.
Para pegiat perempuan berkebaya terus mengupayakan generasi milenial dan Z untuk mau berkebaya dalam kehidupan sehari-hari. Pengusaha busana berlomba mengembangkan desain yang bisa diterima setiap segmen masyarakat. Generasi Z pun ”diizinkan” memakai kebaya dengan padanan celana panjang atau rok mini. Sementara para penjaga tradisi bersikukuh kebaya harus dipadankan dengan kain panjang, kalau bisa yang memakai wiru.
Tarik-menarik makna kebaya akan terus terjadi dalam masyarakat Indonesia yang plural.
Baca juga: Indonesia Diusulkan Ikut Daftarkan Kebaya sebagai Warisan Budaya Bersama 4 Negara Anggota ASEAN