Memprovokasi Jakarta
Memprovokasi Jakarta menuju perubahan lewat sebuah pameran karya seni rupa.
Rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta bakal membawa perubahan tersendiri bagi kota itu. Banyak kemungkinan bisa dituju supaya Jakarta tetap menjadi metropolitan global. Memprovokasi Jakarta menuju perubahan bisa lewat apa saja, termasuk lewat sebuah pameran seni rupa.
Inilah yang terjadi di Pos Bloc, Pasar Baru, Jakarta. Pos Bloc adalah sebuah gedung tua peninggalan masa Hindia Belanda yang sekarang disulap menjadi ruang kreatif dan ruang pamer yang dilengkapi beraneka macam kafe. Pameran seni rupa untuk memprovokasi Jakarta bertajuk Jakarta Provoke! digelar di sini, berlangsung 14 hingga 23 Juni 2024.
Pameran ini menampilkan 19 seniman yang bermukim di Jakarta. Istimewanya, setiap seniman didampingi satu kurator. Seperti seniman Aidil Usman didampingi kurator Damhuri Muhammad, Bibiana Lee didampingi kurator Evelyn Huang, dan Dolorosa Sinaga didampingi kurator Riwanto Tirtosudarmo.
Kurator Agung Hujatnikajennong menjadi koordinator pameran. Menurut Agung, fungsi para kurator lebih pada menjalankan tugas menulis dan mengelaborasi karya para seniman.
Di hari pembukaan, pameran terlihat cukup ramai. Ada sesuatu yang berbeda, menguar aroma dari ruang pamer. Dari situ tercium bau biota laut yang membusuk. Masih terasa amis dan beraroma garam. Ternyata aroma itu datang dari sebuah karya instalasi seni yang ditampilkan peserta Indah Arsyad dengan kurator Bagus Purwoadi.
Karya seni instalasi itu diberi judul ”Bumerang” (2024). Medianya menggunakan bambu dirakit, tali, dan bibit-bibit kerang hijau. Rakitan bambu memiliki dimensi 600 cm x 700 cm x 600 cm. Cukup gigantik.
“Ini rakitan bambu untuk ternak kerang hijau. Bersama para nelayan, saya mengambilnya dari Teluk Jakarta, di dekat Pulau Kelor, Kepulauan Seribu,” ujar Indah, Jumat (14/6/2024).
Baca juga: Karya dari Penjelajahan Ruang Terdekat
Karya Indah Arsyad memprovokasi pengunjung. Beberapa hari setelah pembukaan, aroma busuk itu makin menguat. Pihak pengelola meminta agar aroma busuk itu dikurangi. Indah akhirnya melepas beberapa bibit kerang hijau yang memang sudah mati dan membusuk di bagian bawah menempel pada bambu-bambu tersebut.
Di lokasi asalnya, rakitan bambu itu ukurannya dua kali dari yang dipajang di ruang pamer. Tinggi aslinya mencapai 12 meter untuk kedalaman laut sekitar enam meter. Indah sudah menanam rakitan bambu itu selama sekitar empat bulan. Benih kerang sudah banyak menempel dan selalu mati jika bambu diangkat ke darat.
Judul ”Bumerang” dipilih karena sifat kerang hijau yang diternak selain mendatangkan nafkah bagi nelayan pesisir, juga bisa mengganggu kesehatan ketika dimakan penikmatnya. Kerang hijau tumbuh subur di wilayah perairan Teluk Jakarta yang tercemar berat oleh berbagai macam kandungan logam berat.
“Rakitan bambu untuk ternak kerang hijau dalam jumlah yang banyak juga memiliki fungsi sebagai pemecah ombak. Ini berpotensi mengurangi abrasi pantai,” ujar Indah.
Mendatangkan nelayan
Di hari pembukaan pameran itu, Indah mendatangkan nelayan kerang hijau. Yulmaini (45), salah satu nelayan yang sudah 12 tahun beternak kerang hijau, mengungkapkan rasa senang bisa terlibat di dalam pameran seperti itu.
Nelayan yang akrab disapa Ayu, itu, lahir di Padang, Sumatera Barat. Pada 1998 ia pindah ke Jakarta, dan menikah dengan nelayan di Teluk Jakarta. Mereka menetap di Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara.
Panenan ternak kerang hijau dari rakitan kayu dengan ukuran lebar tujuh meter kali panjang delapan meter bisa mencapai 100 ember. Bobot satu ember berkisar 12 kilogram, sehingga total bisa diperoleh 1,2 ton kerang hijau. Panen bisa dilakukan setelah berkisar enam bulan benih kerang hijau tumbuh.
Pameran instalasi ”Bumerang” karya Indah menjadi provokasi berbau ekologis. Jakarta memiliki 13 sungai yang "mengangkut" polutan air menuju Teluk Jakarta. Selama ini pencemaran laut di Teluk Jakarta tidak pernah menjadi perhatian serius.
Nelayan-nelayan peternak kerang hijau tanpa disengaja turut mengurangi pencemaran itu karena sifat kerang hijau yang menyerap logam berat. Meski dampak bumerang dirasakan, ketika kerang hijau dengan kandungan pencemar logam berat menjadi komoditas yang diperjualbelikan untuk dikonsumsi masyarakat.
Makanan sehat
Peserta lain, Syakieb Sungkar menampilkan instalasi karya yang berjudul ”Tribute to Junk Food”. Syakieb membuat dua lukisan dan patung parodi orang kegemukan dan meleleh dari jenama produk makanan cepat saji multinasional Amerika Serikat.
Syakieb juga membaringkan kerangka manusia di sebuah ranjang. Ia membuat provokasi agar masyarakat meninggalkan makanan cepat saji dan mengonsumsi makanan yang lebih menyehatkan.
“Masa depan manusia ditentukan oleh apa yang mereka makan,” ujar Anna Sungkar, kurator pendamping Syakieb.
Baca juga: Dua Sisi Menggoda Imajinasi
Makanan cepat saji yang tidak menyehatkan akan memperpendek usia harapan hidup manusia. Syakieb secara lugas menyampaikan pesan tersebut lewat kerangka manusia yang terkubur dan terbaring di ranjang. “Mari, kita duduk di sini,” ajak Syakieb, ketika ditemui di saat pembukaan pameran itu.
Syakieb mengajak siapa saja yang mengunjungi karyanya itu untuk duduk di pinggir ranjang kerangka manusia tadi. Ia pun mengajak berpose dan berfoto di situ. Syakieb kemudian mengunggah foto-foto itu ke media sosial.
Ada ironi diungkap Anna Sungkar tentang cara hidup sehat yang makin mudah didapat dari internet. Dari situ makin banyak pula masyarakat menyadari pentingnya hidup sehat dengan mengonsumsi makanan sehat.
“Ironinya, kenyataan di lapangan masih menunjukkan konsumsi makanan siap saji ini meningkat 20 persen tiap tahun,” kata Anna.
Karya ”Tribute to Junk Food” menjadi sindiran atas kegandrungan masyarakat terhadap makanan cepat saji yang kurang menyehatkan. Gambaran kematian melalui kerangka manusia di ranjang tidur menjadi provokasi paling mengerikan akibat konsumsi “junk food” makanan cepat saji yang oleh sebagian orang dianggap sebagai makanan sampah.
Para seniman peserta berikutnya juga tak kalah menarik dalam menuangkan gagasan memprovokasi kebaikan untuk masyakarat dan Jakarta. Akankah provokasi-provokasi yang diciptakan melalui pameran seni rupa itu bisa berdampak luas?
Agung Hujatnikajennong mengemukakan, pameran Jakarta Provoke! memiliki model “bottom up” atau kehendak dari bawah oleh seniman. Semestinya, konsep atau gagasan yang dituangkan para seniman itu ditangkap oleh para pemangku kepentingan.
”Pameran Jakarta Provoke! diinisiasi oleh seniman, didanai sendiri oleh seniman. Karya mereka menjadi murni dan lebih bebas dari berbagai kepentingan,” kata Agung.
Baca juga: Arsip Manusia Toeti Heraty
Agung menyoroti ekosistem seni rupa yang sudah menjadi gaya hidup masyarakat. Pameran pun dijejali pengunjung. Akan tetapi, esensi seni rupa sebagai kanal ekspresi seniman sering dilupakan.
Pameran kerap dimanfaatkan sebagai subordinat agenda politik dan ekonomi. Pameran sering pula bergantung inisiatif “top down” dari para pemangku kepentingan, termasuk kepentingan komersialisasi oleh galeri-galeri.